Mongabay.co.id

Kisah Pilu Suku Laut Batam: Kalah di Lautan, Dirundung di Daratan

 

Menemukan segerombolan pemilik motor Harley Davidson di sudut Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) itu sudah hal biasa. Tetapi, tidak dengan kita menemukan sekelompok suku laut yang sedang menepi di sebuah pulau di Kepri. Selama ini banyak cerita tentang mereka, tetapi keberadaannya tidak sebanyak yang dikisahkan.

Hari Senin (15/5/2023) siang itu, saya mendapatkan kesempatan berharga itu. Bersama Manager Program Mongabay Indonesia Ridzki R. Sigit, kami diajak Pengelola Desa Pengudang Iwan Winarto berkunjung ke tempat suku laut itu berada yang sedang menepi di teluk Pulau Sumbat, di pesisir utara Kabupaten Bintan.

Setidaknya ada sekitar 10 sampan suku laut menepi. Sampan-sampan itu masih menggunakan atap khas suku laut yaitu kajang. Dari kejauhan tidak banyak aktivitas yang mencolok. Hanya terlihat sampan-sampan beratap kajang bergoyang mengikuti ayunan gelombang yang teduh siang itu.

Setelah kami mendekat, nampak jelas aktivitas mereka di atas sampan. Ada yang sedang membakar gamat (hewan laut), tidur, memasak atau hanya sekedar melamun menunggu petang. Kami sempat berbincang singkat dengan keluarga ibu Saikim, salah satu dari mereka.

Duduk di ujung sampan beratap kajang yang dipancang ke dasar laut, Saikim (30 tahun) bercerita nasib keluarganya. Hidup diatas sampan bagi mereka adalah hobi, seperti halnya yang dirasakan komunitas pemotor Harley Davidson di kota-kota metropolitan.

Di dalam sampannya nampak siluet tubuh seseorang. Dia adalah suami Saikim. Saat berbincang dengan Mongabay, suaminya tidak banyak bicara. “Bapak baru pulang melaut,” katanya.

baca : Ketika Suku Laut Tidak Lagi di Laut. Mengapa?

 

Beberapa sampan suku laut yang beratapkan kajang dilapisi spanduk bekas sedang menepi di pesisir Pulau Bintan, Kepulauan Riau, 15 Mei 2023. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Terlihat dua sampan kecil terikat pada sampan utama keluarga Saikim. Satu sampan digunakan suaminya memancing dan mencari udang pada siang hari. Sampan kecil lainnya dipakai anaknya yang berumur 14 tahun untuk melaut. “Dia sedang menjual ikan ke darat,” kata Saikim.

Di samping sampan Saikim, ada sampan lain milik keluarganya yaitu milik ibunya. Nampak ibunya duduk bersila didalam sampan dengan ikan asin yang sedang dijemur di ujung sampan untuk nanti dijual. Ibunya sudah 100 tahun lebih dan mengalami gangguan pendengaran.

Begitulah suasana keluarga Kim, sama seperti keluarga-keluarga lainnya yang hidup dalam sampan yang sedang ditambatkan di pesisir. Jarak antar sampan hanya selemparan batu. Mereka masih berkerabat dengan keluarga Saikim yang berasal dari Batam.

Secara administratif suku laut ini merupakan warga Pulau Air Mas, Kota Batam. Mereka datang ke perairan ini untuk mencari ikan, udang, gamat ataupun sesuatu yang bisa dijual dari laut.

Tidak hanya di pesisir Pulau Sumbat, ada beberapa titik lainnya yang menjadi tujuan persinggahan keluarga Saikim dan kerabatnya. Diantaranya Pulau Mantang Kijang Bintan, Lagoi Bintan dan pesisir lainnya yang mereka rasa masih memiliki ikan. “Pokoknya dimana perairan yang ada ikanlah, kami kesana,” katanya.

Setelah mendapat ikan, ia kembali ke Pulau Air Mas. Dari sejak kecil Pulau Air Mas menjadi tempat suku laut ini singgah. Dalam satu tahun mereka bisa tiga kali melaut, satu kali melaut bisa dua sampai tiga bulan di atas sampan.

baca juga : Ketika Laut Tak lagi Ramah Bagi Suku Duano

 

Saikim seorang wanita suku laut yang berasal dari Pulau Air Mas, Batam saat berada di pesisir Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, 15 Mei 2023. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Saikim sudah memiliki rumah kecil di Air Mas, bantuan dari pemerintah pada tujuh tahun yang lalu. Namun, sekarang kondisi rumah tersebut tidak bisa dihuni lagi. “Atapnya bocor, sudah tidak bisa ditempati,” katanya yang tidak ingat instansi mana yang memberinya bantuan itu.

Kondisi itu memaksa Saikim, membawa semua barangnya ke atas sampan. Nampak jelas di atas sampannya, ada ayam peliharaan, alat memasak hingga Saikim menunjukan surat-surat keluarganya di dalam map putih. “Barang kami sudah disini semua, kalau surat ini takut basah atau hilang di sana (Air Mas),” katanya sambil menunjukan kartu keluarga (KK) mereka yang beralamat di Pulau Air Mas.

Pemerintah daerah sudah beberapa kali janji memberikan bantuan kepada Kim, tetapi tidak pernah ditepati. Termasuk bantuan memperbaiki rumah dan memberikan alat tangkap melaut yang layak. “Kalau berharap pemerintah tidak bisa, usaha sendiri lah pokoknya,” katanya.

Jika pemerintah menyediakan itu, mungkin saja hobi menetap di laut tidak dilanjutkan Kim. Bukan tanpa sebab, tetapi karena laut yang mereka anggap sebagai sumber kehidupan telah mulai memberikan tantangan yang sulit, yaitu hilangnya ikan-ikan.

 

Ikan Menghilang

Berkurangnya hasil tangkapan membuat suku laut harus melaut siang dan malam. Tidak hanya ikan, ia mencari udang hingga gamat atau teripang (Holothuroidea) untuk dimakan dan dijual. “Kalau pagi kami cari ikan dan udang, malam cari gamat, umpama tidak berhenti, bahkan sampai tidak tidur,” kata Saikim.

Seperti tidak ada pilihan bagi Saikim dan suku laut lainnya. Jika di darat mereka tidak punya kemampuan yang cukup untuk bekerja. “Kerja darat tidak bisa, kami tak sekolah,” katanya.

Apalagi beberapa tahun belakangan laut yang biru seolah tidak memiliki ikan lagi. Pendapatan keluarga suku laut ini berkurang drastis, biasanya satu hari Saikim bisa mendapat pendapatan Rp200 ribu, sekarang hanya Rp40 ribu. “Itu tidak cukup untuk kami beli kopi, gula, belum beli beras,” katanya.

Yang tersisa di laut hanya ikan-ikan yang nilai jual rendah, satu kilo hanya Rp10 ribu. Sedangkan ikan harga tinggi seperti kerapu merah yang mencapai Rp100 ribu satu kilo sudah jarang dijumpai. “Ini disini biasanya banyak, sekarang tidak pernah dapat kerapu merah lagi,” katanya.

baca juga : Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Beberapa orang anak suku laut sedang berpindah sampan di Perairan Bintan, Kepulauan Riau, 15 Mei 2023. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya Saikim, dua anaknya yang masih bujang juga ikut membantu melaut. Selain untuk mereka sendiri, hasil melaut juga membantu neneknya yang sudah tua. “Itu sekarang anak saya pergi ke darat jual ikan, hanya dapat dua kilo, harga satu kilo Rp10 ribu, dapat buat apa itu,” katanya.

Saikim hanya berpikir baik, kemungkinan belum rejekinya. Tetapi faktanya ia menemukan semakin banyak orang melaut yang menggunakan alat tangkap modern, sedangkan suku laut hanya menggunakan pancing biasa. “Makin susah, orang banyak cari ikan,” katanya.

Setidaknya suku laut di Air Mas mencapai 30 KK lebih, sebagian dari mereka lebih banyak menetap di sampan dan melaut.

Tidak hanya alasan melaut menjadi hobi, tetapi menetap di sampan juga menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak suku laut lari dari perundungan. Badai di laut lebih baik bagi mereka dari pada masuk sekolah pendidikan di darat.

“Anak saya tidak sekolah, sampai TK saja, habis itu dia tidak mau sekolah lagi, dia bilang orang pada jahat di sekolah, bilang dia hitamlah, mending ikut bapak melaut, kata anak saya,” ujar Saikim.

Hal itu hampir terjadi kepada semua anak-anak yang suku laut. Paling lama mereka bertahan hingga jenjang SMP. Setelah itu akhirnya keluar juga, karena tidak tahan dengan perundungan itu.

Saikim dan puluhan orang suku laut lainya berada di ambang nasib yang tidak menentu. Di laut mereka tidak menemukan ikan lagi, di darat rumah bantuan pemerintah sudah tak layak huni.

Saikim hanya pasrah dan bertahan dengan meneruskan tradisi nenek moyang mereka, hidup di atas sampan beratapkan kajang, berlayar dari pesisir satu ke pesisir lainnya dan menikmati yang ada. “Sesekali adalah, orang seperti kamu, datang ngasih duit atau makanan seperti ini,” pungkasnya.

baca juga : Melihat dari Dekat Nasib Suku Laut Pulau Kojong Lingga

 

 

Exit mobile version