Mongabay.co.id

Masa Depan Gajah Sumatera di Lampung: Permanenkan Tanggul Batas TNWK

 

 

Sunandar [38], Warga Dusun Margahayu, Desa Labuhan Ratu VII, Lampung Timur, Provinsi Lampung, berjalan lambat melewati tanggul tua. Matanya awas, memperhatikan sesuatu di balik pepohonan yang tumbuh rapat.

“Di seberang kanal itu adalah Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. Dari hutan inilah gajah sumatera sering masuk kebun warga, melewati kanal dan tanggul,” tenangnya kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.

Dusun Margahayu dengan TNWK memang bersebelahan. Kawasan konservasi ini luasnya sekitar 125,631.31 hektar. Merupakan rumah alami bagi sejumlah satwa liar dilindungi seperti tapir [Tapirus indicus], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], badak sumatera [Dicherohinus sumatrensis], dan beruang madu [Helarctos malayanus].

Perkebunan warga dan tanam nasional ini hanya dipisahkan tanggul dan kanal yang lebarnya tiga meter dengan kedalaman tiga meter. Tanggul tersebut berasal dari gundukan tanah pembuatan kanal, yang panjangnya sekitar 13 kilometer, melewati hutan rawa dan hutan dataran rendah.

Pembuatan kanal ini inisiatif warga tahun 1994/1995. Mereka urunan uang untuk menyewa alat berat. Setiap kepala keluarga yang dibuat kanal, menyetor uang 25 ribu per seperempat hektar.

“Kanal dan tanggul inilah pembatas kawasan sekaligus penghalau gajah,” lanjutnya.

Tempat favorit gajah liar masuk kebun warga melalui kawasan hutan rawa. Tanggul di daerah ini tanahnya lembek, sehingga cepat melandai, bahkan di beberapa tempat sudah longsor sehingga mudah dibuat pijakan oleh gajah.

Interaksi negatif manusia dengan gajah liar di Lampung Timur sudah berlangsung lama. Warga melakukan berbagai cara untuk menghalau gajah agar tidak bisa masuk ke permukiman dan perkebunan.

Pada 1992 misalnya, masyarakat memasang setrum tenaga surya. Namun gajah tak kehabisan cara, mereka merobohkan pohon untuk merusak kawat setrum itu lalu masuk ke kebun warga.

Pemasangan sirine juga pernah dicoba. Sistem kerja alat ini adalah jika gajah menabrak kawat, sirine berbunyi.

“Ketika awal-awal pemasangan saja gajah takut, setelah cukup lama, gajah sudah terbiasa. Mereka cuek saja,” teang Sunandar.

Warga juga memasang sebuah drum putar berduri di kanal-kanal yang bobol, yang paling di rawa. Namun sekali lagi, gajah tak habis cara. Hewan pintar ini justru membuat jalur baru.

Baca: Kapan Manusia Berdamai dengan Gajah Sumatera?

 

Kelompok kecil gajah liar dari TNWK yang terpantau masuk kebun warga. Foto: Dok. KTH Wana Karya Muda

 

Cerita yang sama disampaikan Dapa, warga Desa Labuhan Ratu IX. Tanggul dan kanal di desa mereka juga sering dibobol rombongan gajah. Berbagai cara menghalau dilakukan, tapi tetap bisa diterobos.

Bahkan cara menakuti dengan membakar karung goni tak mempan, mereka seakan tahu itu hanya strategi mengusir.

“Kalau gajah sudah membobol kanal dan masuk kebun, kami mengusirnya dengan menyalakan petasan dan membuat kehebohan,” jelasnya.

Bahkan anak muda di Kampung Dua, Desa Labuhan Ratu IX, ikut serta. Mereka membuat grup sendiri, yaitu Kelompok Tani Hutan Wana Karya Muda.

Kelompok ini diketuai Dodi Septian. Sudah dua tahun kelompok tersebut aktif dalam upaya mitigasi saat terjadi interaksi gajah liar dengan manusia.

“Setiap ada gajah mendekati kanal, kami dikabari Tim Penanggulangan Gajah Liar atau ERU [Elephant Respon Unit] TNWK,” jelas Dodi.

Tidak peduli siang atau malam, panas atau hujan, rombongan pemuda usia antara 17-25 tahun itu langsung ke lapangan. Mereka turut serta mengusir gajah.

“Kuncinya pada tanggul, kalau tanggul ini permanen berdiri tegak, maka gajah sulit melewatinya. Mereka juga tak bisa membuat pijakan kaki.”

Hal ini telah terbukti di Desa Labuhan Ratu VII dan beberapa desa lainnya. Ada beberapa tanggul permanen pada rawa-rawa. Gajah tidak bisa membobol bagian itu.

“Tanggul permanen harus segera dibuat.”

Baca: Seperti Manusia, Gajah Ingin Diperhatikan Kesehatannya

 

Warga memasang drum putar berduri di kanal-kanal bobol yang dijadikan jalur perlintasan gajah menuju permukiman warga. Namun, gajah justru membuat jalur baru. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay-Indonesia

 

Gajah pindahan

Alfan Junaidi, tokoh masyarakat Desa Labuhan Ratu IX, menceritakan di kawasan TNWK ada sekitar 6-7 kelompok besar gajah. Selain itu, ada beberapa kelompok kecil dan gajah soliter atau sendiri.

Adapun gajah yang sering memasuki kebun warga merupakan kelompok pendatang.

“Gajah liar asli Way Kambas terbiasa mencari makan dalam hutan, sedangkan gajah luar yang dipindahkan ke Way Kambas seperti berasal dari Mesuji, Gunung Madu, Gedung Aji, hingga Tulang Bawang, sering masuk ladang.”

Alfan maklum, sebelum pindah ke Way Kambas, mereka pernah makan padi, jagung, hingga singkong.

“Jadi ketika dipindah ke Way Kambas, mereka tergiur memakan tanaman warga.”

Pemindahan gajah liar dari penjuru Lampung ke Way Kambas karena pembangunan massive, di antaranya pembukaan hutan untuk kebun tebu yang saat ini menjadi tiga perusahaan besar BUMN, yaitu Gunung Madu, Bunga Mayang, dan Indo Lampung. Kemudian, alih fungsi hutan menjadi tambak udang di Dipasena. Lalu, alih fungsi hutan menjadi areal transmigrasi di Mesuji.

Pemindahan ini bagian dari program pemerintah yang bernama Tata Liman, yaitu kegiatan menata populasi gajah yang terpecah akibat kegiatan pembangunan dengan cara mentranslokasi dari areal sekitar kegiatan pembangunan ke arah kawasan yang disediakan.

Pelaksanaan tata liman di Lampung yang pertama tahun 1984. Ketika itu, pemindahan gajah liar dari Gunung Madu, Lampung Tengah. Selanjutnya, pada 1986 di Gunung Betung, Pesawaran; tahun 1991 di Padang Cermin, Pesawaran; 1992 di Mesuji; 1993 di Gedung Aji, Lampung Tengah; 1994 di Tulang Bawang; dan 1997 di Way Kanan.

Alfan memperkirakan, ada pertimbangan yang terlewat kala itu terkait pemindahan massal kelompok gajah dari seluruh Provinsi Lampung ke hutan Way Kambas. Hutan sekitar Way Kambas juga sudah beralih fungsi menjadi APL, berupa permukiman dan pertanian.

“Sehingga, ketika gajah dari hutan Way Kambas keluar mencari pakan ke hutan sekitarnya menjadi masalah.”

Sebab, ketika mereka masuk ke wilayah areal penggunaan lain [APL] berupa pertanian dan pemukiman, maka mulai ada interaksi. Masalahnya berlanjut hingga saat ini.

Catatan pertama interaksi gajah liar dan manusia di Way Kambas adalah tahun 1953, ketika itu terjadi pembukaan lahan hutan sekitar Way Kambas untuk areal transmigrasi di Kecamatan Purbolinggo dan Way Bungur.

Permukiman dan pertanian di sekitar Way Kambas terus berkembang. Hingga saat ini ada 38 desa definitif [berbatasan langsung] dengan kawasan TNWK tanpa ada zona penyangga.

“Kami berharap dalam waktu bertahap tanggul dan kanal tersebut bisa dibuat permanen oleh pemerintah.”

Selain itu, bisa juga melalui kontribusi dari BUMN dan swasta, terutama yang saat ini menikmati usahanya dari bekas habitat gajah yang sudah ditranslokasi ke hutan TNWK.

“Atau juga, kontribusi dari lembaga konservasi yang menggunakan gajah dalam peragaannya.”

Baca: Erin, Kisah Gajah Belalai Buntung yang Viral

 

Kebun warga dan wilayah Taman Nasional Way Kambas hanya dipisahkan tanggul dan kanal sementara. Tanggul di hutan rawa ini sering diterobos gajah. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Terbantu GPS Collar

Koordinator Elephant Response Unit [ERU] Way Kambas, Nazaruddin membenarkan, warga desa penyangga kini aktif menghalau gajah liar.

“Setelah banyak diadakan sosialisasi oleh pihak Balai TNWK dan mitra, warga tidak menganggap gajah sebagai hewan ancaman yang harus diusir dengan kekerasan bahkan dibunuh,” terngnya, bebrapa waktu lalu.

Tim ERU semakin mudah mendeteksi keberadaan kelompok gajah liar yang akan masuk kebun warga. Sebab, hampir semua kelompok gajah di TNWK, sekitar 6-7 kelompok, sudah dipasang GPS Collar.

Namun demikian, dia mengingatkan gajah tetaplah hewan liar. Tim ERU dan masyarakat harus waspada dan hati-hati ketika menanggulangi interaksi gajah liar.

“Apalagi gajah soliter atau yang berjalan sendiri. Ia lebih agresif. Terlebih, gajah liar jantan ketika musim kawin.”

Bukti bahayanya interaksi negatif gajah liar dan manusia adalah peristiwa Rabu malam, 9 November 2022 lalu. Ketika itu Zarkoni, warga Desa Tambah Dadi, Kecamatan Purbolinggo, Lampung Timur, meninggal setelah diserang gajah liar.

Kejadian berawal ketika Zarkoni bersama dua rekannya berangkat ke ladang untuk mencegah gangguan gajah yang merusak tanaman. Malam itu hujan. Zarkoni berjaga di gubuk dan satu rekannya memantau dari bawah.

Sekitar pukul 02.30 WIB, Kamis 10 November 2022, seekor gajah mendekat lalu merusak tiang gubuk. Dua rekan Zarkowi menyelamatkan diri, namun Zarkoni tidak sempat lari ketika gajah liar itu merobohkan gubuk tersebut.

Dia jatuh dan diserang gajah liar. Tulang rusuk kanan dan kaki kiri patah. Zarkoni sempat ditolong warga dan dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak bisa diselamatkan.

Baca juga: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

 

Tim ERU [Elephant Response Unit] TNWK memantau kanal perbatasan antara kebun warga dengan wilayah TNWK. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Tanggul sementara

Kepala Balai TNWK, Kuswandono, tak menepis interaksi negatif manusia dengan gajah liar masih terjadi di Lampung. Bahkan, tak hanya merugikan secara material, juga mengancam nyawa salah satu pihak, bisa manusia atau gajah itu sendiri.

Dia menjelaskan, untuk mengatasi konflik gajah dengan manusia di daerah penyangga TNWK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] mengalokasikan anggaran sebesar Rp6,7 miliar.

“Anggaran itu diperuntukkan membangun tanggul sepanjang 5 kilometer dari 10 kilometer yang belum terbangun,” ujarnya, saat rapat dengan mitra kerja di Lampung, akhir Feruari 2023 lalu.

Dari pantauan Mongabay Indonesia, pembatas TNWK dengan APL terbagi dua,. Pertama, pembatas alami berupa sungai. Bagian utara, daerah ini dibatasi Sungai Pegadungan, di wilayah Cabang, Umbul Salam, hingga Rantau Jaya Ilir.

Kedua, pembatas buatan. Hampir semuanya kanal sementara yang dibuat warga secara swadaya. Di daerah Margahayu dan Rawa Bandar, sudah dibangun kanal sementara sejauh 40 kilometer, dibuat tahun 1990 dan 2015. Sementara di Toto Projo, tanggul dibangun sepanjang sepanjang 12 kilometer, dibuat tahun 2010.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terang Kuswandono, turut membiayai pembangunan kanal non-permanen tahun 2022 sepanjang 5 kilometer di Desa Tegal Yoso, yang akan dilanjutkan 5 kilometer berikutnya tahun 2023 di Desa Taman Fajar, Taman Endah, dan Tambah Dadi.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Lampung Timur, mendukung upaya penanganan interaksi negatif gajah liar dengan manusia, dengan memfasilitasi pertemuan antara Balai TNWK dengan masyarakat penyangga, Kamis, 9 Juni 2022.

Ketua DPRD Lampung Timur, Ali Johan Arif didampingi Ketua Komisi II dan anggotanya, dikutip dari Kompas Lampung, mengatakan konflik masyarakat perbatasan taman nasional dengan gajah telah berlangsung lama dan belum ada penyelesaian.

“Salah satu penyebab, belum selesainya pembangunan tanggul dan kanal di perbatasan TNWK. Kami berharap, pembangunan ini dilanjutkan,” tegasnya.

 

Exit mobile version