Mongabay.co.id

Supinah, Penjaga Tradisi Balian itu Telah Tiada

 

 

 

 

Siang yang mendung, di bawah tenda biru di depan gereja yang berhadapan dengan rumah duka dipenuhi pelayat mayoritas dari Masyarakat Benuaq.   Balian Supinah  meninggal dunia 16 Juli 2023  di Rumah Sakit Moes Samarinda.

“Kami sekeluarga menyerahkan ke bapak soal bagaimana tradisi agama apa,  mama akan dikebumikan,” ujar Lili, anak almarhum Supinah,  sesekali menyeka matanya yang basah. Balian Supinah pun anak 10,  yang masih ada tinggal tujuh orang.

Semasa hidup Balian Supinah dan Lili tinggal di Kampung Kuntap, Desa Sungai Payan, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Kalimantan Timur. Kedua orangtua Lili mengajarkan hidup multikultur.

Sebagai balian, yang memimpin spritual dan ritual di masyarakatnya, Supinah tak pernah membedakan suku dan agama serta latar belakang sosial. Setiap orang yang datang ke rumahnya dia berupaya mengobati dengan tradisi baliannya.

Dia adalah salah seorang pemimpin spritual Komunitas Benuaq di kampungnya. Dia  membantu sebagai  “penyembuh” tak hanya bagi komunitas juga orang lain.

Balian Supinah lahir di Kecamatan Muara Pahu Kutai Barat 63 tahun silam. Umur sembilan tahun mereka berpindah ke Kecamatan Loa Kulu. Di sana, mulai sekolah tetapi tak sampai kelas dua berhenti.

Semasa hidup Supinah tak mengenal lelah kalau diundang upacara baik dalam Masyarakat Benuaq maupun untuk balian khusus untuk mengobati orang lain yang jauh dari rumahnya.

 

 

***

Selain menyayangi sesama manusia, Balian Supinah juga sangat mencintai satwa dan tumbuhan. Dia gunakan tumbuhan-tumbuhan obat dari lahan maupun hutan sekitar.  Semasa hidup, dia pernah berencana mengumpulkan semua tanaman hutan yang dia identifikasi sebagai obat.

Dia khawatir tanaman obat dan seluruh perangkat upacaranya hilang  karena ruang hidup tergerus industri ektraktif seperti tambang batubara yang kian masif.

Demikian juga ketidaksetujuannya dengan kehadiran Ibu Kota Nusantara yang dianggap akan mengambil tanah dan hutan yang sudah dia peruntukkan buat cucu- cucunya.

Saat pandemi Corona, Supinah pun punya pandangan khusus terhadap virus, seperti Corona ini.

Begitu Supinah mendengar kabar puluhan warga di desa tetangga terinveksi wabah COVID-19 dia segera membuat sesajen dan dipasang di perbatasan kampung. “Sesejaen itu untuk mencegah virus tidak masuk ke kampung,” katanya, semasa hidup.

 

Ilustrasi Belian Dayak Banuaq. Foto: Wikimedia

 

Awal Agustus 2021 ,  Dusun Kuntap tempat Supinah tinggal tak ada laporan warga terinveksi COVID-19.  Saat itu puncaknya orang menyebut sebagai serangan gelombang kedua. Berbeda dengan kampung tetagganya Desa Lung Anai, dilaporkan ada sekitar 38 orang terinveksi.  Kampung Supinah berjarak sekitar 30 km dari Tenggarong,  ibu kota kabupaten.

Saat Supinah mendengar wabah menular ini mengganas dia tak tinggal diam. Dia berupaya berbagai pengetahuan dan tradisi mereka dalam menghadapi wabah.

Bagi Supinah virus mestilah diperlakukan sebagai mahluk yang bisa diajak berdialog. Virus merupakan slah satu mahluk yang memilki habitat tersendiri. Tugasnya adalah mengajak virus itu kembali ke tempatnya. Cara dia berkomunikasi dengan virus melalui ritual.

“Kita manusia membuat upacara agar bisa ia pulang. Kalau ia dimatikan terus merembet tidak bisa hilang tidak bisa mati. ”

Upacara ritual dengan memasang kain ukuran sejengkel yang berwarna warni di depan rumah. Bisa juga dengan dimasukkan dalam botol dan digantung di depan rumah.

Maknanya, memberi tanda kepada virus bahwa ia hanya bisa sampai ke depan rumah tidak bisa masuk. “Tolak bala menyiapkan 40 macam sesajen dan harus dibantu oleh warga lain. Tidak bisa saya sendiri,” katanya.

 

 

Balian pembelajar

Balian Supinah adalah sosok pembelajar khusus pengetahuan yang berkaitan dengan penyembuhan. Dia tak pernah membedakan kepada siapa dia belajar, baik kepada sesama balian Dayak maupun warga lain.

Dia juga tidak mempertentangkan kaku relasi medis tradisional seperti balian dengan medis konvensional. Bagi dia,  balian adalah salah satu usaha. Tak ada sesuatu yang pasti, sama dengan upaya medis konvensional.

November 2022, dia ke Kutai Barat membawa anak perempuannya untuk diobati di sana sekalian dia minta diobati. “Kalau balian sakit bisa diobati balian lainnya. Tidak bisa obati diri sendiri.”

 

Supinah dan suaminya. Foto: Abdallah Naem

 

Sepulang dari Kutai Barat dia empat kali bolak balik ke rumah sakit di Tengarong dan Samarinda. Dokter mendiaknosa dia punya peyakit jantung.

Di masa sakit,  anaknya tertuanya diminta bersiap meneruskan tradisi balian ini. Namun, kata Lili, tidak mungkin karena kondisinya saat ini juga sakit. Lili sedang berjuang melawan kanker payudara selama dua tahun ini. Tetapi , kata Lili, beberapa warisan tradisi obat diberikan kepada masing masing anaknya.

Suaminya juga tidak ada pesan khusus siapa yang menjadi penerus. “Cuman ada sedikit ditinggal sama anak, cuman tidak semua, sebagian saja. Kalau sama saya tidak ada.”

Usai pemakaman kami duduk di teras rumah Supinah. Sebelum beranjak pulang ke Samarinda, pesan ‘surat’ masuk  dari Hendro Sangkoyo, pengurus Sekolah Ekonomika Demokratika.

 

“Mengenang Supinah”

 

Supinah memberikan semua yang terbaik

yang dia punyai untuk mereka yang menderita

Dari anjing yang remuk tertindas truk proyek

Sampai orang biasa yang baru dia kenal seperti saya

 

Apa-apa yang Supinah paham dan lihat

Jauh lebih besar dari pegetahuan Barat dan modern

Pada masa hidup dia ,,,Hak dan suara yang bukan manusia

sampai kritiknya pada sikap pikir “perang membasmi corona”

 

Dunia kehilangan juru bicara pengetahuan asli,

salah satu yang paling cerdas, paling rendah hati,

perempuan baik hati itu sudah pulang sekarang,

tapi dia ada melawan dan menyembuhkan trauma bersama kita   

 

Selamat jalan Balian Supinah, selamat jalan penjaga tradisi Banuaq…

 

*****

Exit mobile version