Mongabay.co.id

Hendrik Hermawan: Jaga Lingkungan, Tak Cukup Hanya Advokasi

 

 

 

 

Satu per satu pohon-pohon mangrove itu roboh, rata dengan tanah. Hendrik Hermawan menyaksikan alat berat beraksi di Piayu Laut, Batam, Kepulauan Riau, dari kejauhan, 17 Juli lalu.  Dia sedang pemantauan dan akan melaporkan kasus itu kepada instansi terkait di Batam. Hendrik pun memperlihatkan peta lewat layar telepon genggamnya. Area itu masuk hutan lindung.

“Mangrove tetap dilindungi Undang-undang, ini perlu dilihat izin pembangunannya,” kata pria kelahiran 21 Juni 1974 itu.

Hendrik tak lelah berupaya memantau  keterancaman hutan mangrove di Batam. Meski harus turun naik bukit dia lakukan demi menjaga agar kerusakan hutan mangrove tak makin parah.

Dia bersama  rekan-rekan di organisasi lingkungan yang didirikannya, Akar Bhumi, tak hanya menjaga tetapi ikut melaporkan ke pihak berwenang. Seperti kasus perusakan hutan mangrove beberapa bulan lalu, aktivitas pun berhenti. Sayangnya, karena pengawasan lemah dari pihak berwenang,  belakangan pelaku beraksi lagi.

“Inilah bentuk advokasi kami. Tidak cukup hanya rehabilitasi dan edukasi, kami akan melaporkan kejadian kepada dinas terkait,” katanya.

Lebih 10 tahun, Hendrik berjuang menjaga lingkungan, terutama hutan mangrove di Kota Batam. Ribuan bibit mangrove Akan Bhumi tanam. Ribuan siswa dan masyarakat sudah mendapatkan edukasi. Puluhan kasus kejahatan lingkungan Hendrik laporkan dalam dua tahun terakhir.

“Lingkungan adalah agama baru bagi saya,” ucap pria kelahiran Kota Jember ini.

Tak hanya beraksi di level daerah, perjuangan Hendrik sampai ke Komisi IV DPR. Dia diundang memberikan pendapat dan temuan soal kerusakan lingkungan di Batam. DPR sudah empat kali sidak kejahatan lingkungan di Kota Batam.

Lulusan Universitas Gunadarma Jakarta dengan latar belakang pendidikan akuntansi ini tidak pernah membayangkan menjadi aktivis lingkungan.

Yogi Eka Sahputra, jurnalis Mongabay, berkesempatan berbincang-bincang khusus dengan Hendrik. Dia bercerita panjang lebar soal debutnya sebagai pegiat lingkungan, berikut petikannya.

 

Berlian,  pantai dengan tutupan mangrove rapat direklamasi tanpa izin di pesisir Kota batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana ceritanya Anda bisa terjun dalam penyelamatan lingkungan?

Saya harus flashback, tidak ada yang merencanakan ini semua, tidak ada yang bercita-cita menjadi penyelamat lingkungan. Sepuluh tahun lalu, saya bergabung dengan teman-teman lingkungan hidup dan mulai belajar tentang lingkungan. Di situlah saya banyak belajar. Beban ini makin berat, tetapi lebih berat lagi jika kita tahu tetapi tidak melakukan apa pun. Akhirnya,  saya membentuk NGO lingkungan, Akar Bhumi untuk memperkuat pergerakan ini.

Kami melihat rendahnya kesadaran lingkungan, kami melawannya melalui edukasi. Lingkungan rusak, kami menanam. Ketika terjadi penimbunan, kami berupaya menghentikannya secara hukum.

 

Kampanye dan advokasi lingkungan Anda maupun Akar Bhumi fokus mangrove?

Mangrove jadi salah satu fokus kami.  Lebih 55% dari advokasi Akar Bhumi berbicara tentang mangrove pesisir yang rusak. Mangrove bagi kami sangat penting.

 

Mengapa mangrove penting pulau seperti Batam?

Pulau-pulau kecil, menurut standar United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), adalah daratan sekitar 2.000 kilometer persegi. Karena itu, keluarkanlah Undang-undang No. 27/2007 dan Undang-undang No. 21/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini menunjukkan,  negara menyadari pentingnya peran mangrove pulau-pulau kecil.

Di Kota Batam, 60% lautan, Kepulauan Riau memiliki 96% lautan. Ini menjelaskan bahwa mangrove bukan hanya memiliki kearifan lokal, juga sebagai benteng alami Sang Pencipta. Keberadaan mangrove sangat penting untuk pulau-pulau kecil dan masyarakat nelayan.

 

Bagaimana kondisi mangrove di Batam?

Selama tiga tahun terakhir Akar Bhumi Indonesia, melaporkan 26 kasus kejahatan lingkungan, mulai dari deforestasi hutan, perusakan mangrove, pembuangan limbah dan lain-lain. Akhirnya kami tetapkan sebuah isu tentang keadaan Batam, bahwa Batam darurat lingkungan. Di dalamnya ada Batam darurat pesisir, pesisir Batam terancam pembangunan, tanpa peduli dampak lingkungan. Sebanyak 60% kasus itu terjadi kerusakan pesisir, baik reklamasi atau penutupan sungai dan mangrove. Pembangunan mengubah bentang alam di Kota Batam termasuk mangrove. Tahun 70-an luas mangrove 25% dari luasan Pulau Batam, pada 90-an tinggal 4,8% dari luas Pulau Batam.

 

Hasil sidak DPR RI di Batam awal Juli 2023 lalu. Infografis : Yogi Eka Sahputra

 

Apa saja ancaman mangrove di Kota Batam?

Ancaman besar mangrove di Kota Batam adalah manusia itu sendiri, lewat pembangunan yang tidak pro lingkungan. Berbagai aktivitas pembangunan, mulai dari reklamasi, tambak udang, pembangunan waduk, hingga deforestasi hutan mangrove untuk arang bakau. Banyak sekali yang mengurangi luasan mangrove di Kota Batam.

 

Mengapa kerusakan hutan mangrove begitu massif?

Karena  pengawasan pemerintah lemah. Itu juga karena keterbatasan mereka, contoh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya bagian penengakan hukum tetapi tidak ada penyidik. Sedangkan pemerintah pusat juga keterbatasan dana, hingga kerusakan meluas. Dua tahun lalu Gakkum memutuskan membuat Pos Gakkum di Batam, bentuk atensi pusat, tetapi masih kurang sumber dayanya..

Selain itu, penyebab kerusakan ini kita juga harus bicara masyarakat. Kurang kepedulian masyarakat terhadap lingkungan juga memperluas kerusakan. Kawasan pesisir Kota Batam memiliki kompleksitas, banyak kewenangan di pesisir, ada BP Batam, Kementerian Kelautan dan Perikanan, KLHK, Menko Marves. Jadi kompleks perlindungan kita di pesisir ini.

 

Tantangan Akar Bhumi dalam upaya kampanye dan advokasi?

Tantangan cukup besar, kita harus melakukan manuver-manuver, pemerintah daerah perlu diperkuat. Kami sampai harus ke komisi IV DPR khusus laporkan Batam darurat lingkungan. Ini dorongan untuk isu ini dikelola dengan baik, jangan diberangus hingga Komisi IV intens ke Batam.

 

Apakah selama advokasi pernah alami intimidasi atau kekerasan?

Ada banyak hal, ada yang lucu-lucu juga, menegangkan dan menggiurkan. Ada anggota ditelepon. ‘Tolong keluarlah dari NGO itu, kalau tidak kamu akan sengsara tujuh turunan.” Ada yang rumah lempar batu, ada yang ditelepon lewat WhatsApp. Saya pikir sejauh kita melakukan yang benar, mudah-mudahan kita masih bisa dilindungi, meskipun dalam kenyataan banyak riskan memilih bidang ini.

Yang menggiurkan banyak sekali, bahkan ada ketika kita tertibkan institusi pendidikan (menimbun mangrove), kita ditawarkan jadi guru. Itu upaya agar kita menarik tuntutan itu. Itu agak lucu, ada yang tawarkan kavling, ruko, villa. Taulah, Itu kan miliaran, ada yang tawarkan pekerjaan proyek. Ya kita senyum saja. NGO ini pilar keempat menguatkan negara.

 

 

 

Ada stigma negatif terhadap LSM, bagaimana respon masyarakat terhadap Akar Bhumi?

Sebelumnya kami berkumpul bersama sepakat untuk serius dan sama-sama membesarkan Akar Bhumi. Kami sepakat harus kuat secara ekonomi, ya, kita tidak boleh lapar dan harus makan. Kita harus lakukan ini dengan benar, bahwa lingkungan hidup bukan tempat kami mencari hidup. Lingkungan adalah untuk memberi kehidupan agar lebih hidup lagi, dalam upaya-upaya itu banyak cara memang harus kita lakukan. Ini adalah satu masa kita harus kembali mendudukkan kata LSM sesuai dengan fungsinya, sesuai dengan artinya,  yang memang berorientasi kepada masyarakat.

Sama ketika Akar Bhumi menjadi NGO, sebagai NGO orientasi pertama adalah lingkungan lebih baik. Stigma negative soal LSM itu memang susah diluruskan. Memang banyak LSM yang melenceng dari tujuan awal, tetapi Akar Bhumi harus membuktikan, Akar Bhumi adalah NGO lingkungan memiliki dedikasi kepada lingkungan. Tetap pada ruh gerakan.

 

Sebagian orang menyebut Akar Bhumi sebagai penegak hukum swasta?

Kalau yang bilang seperti itu teman-teman sih mungkin kami masih anggap sebagai lucu-lucuan. Kalau yang bilang sudah institusi, pernah waktu itu yang bilang pegawai BP Batam. Ya itu satu penghargaan buat kita, swasta gaji lebih besar daripada negeri, kenyataan swasta ini tidak bergaji he he…

 

Dari mana pendanaan Akar Bhumi?

Selama ini,  kami disini memberikan kontribusi sosial terutama dalam upaya penyelamatan lingkungan, rehabilitasi, edukasi dan advokasi. Semua itu butuh biaya. Kalau rehabilitasi,  kita kadang dapat dukungan perusahaan, meskipun tidak menutup penuh. Tetapi kita lebih mengutamakan sumber daya kita sendiri, karena memang rata-rata perusahaan hanya fokus penanaman, mereka tidak tahu seberapa besar biaya yang kami keluarkan untuk menghentikan perusakan mangrove. Dalam hal ini Akar Bhumi harus mengupayakan dana. Dana ini dari internal kami sendiri. Selama kami masih mampu akan lakukan. Dana ini dari kantong kami masing-masing.

Kami tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia, tetapi juga sumber daya keuangan. Kami berharap, Akar Bhumi bisa dipercaya hingga pihak lain ingin ikut serta dalam perjuangan ini. Kami berharap ada pihak yang dapat membantu perjuangan ini, karena setiap orang dapat memberikan kontribusi dalam berbagai cara untuk lingkungan hidup.

 

Kampanye dan advokasi seperti apa yang Akar Bhumi lakukan?

Perilaku manusia mengalami kemunduran peradaban. Ini bukanlah hal baru. Ayat suci telah membicarakan tentang lingkungan. Kenyataan, masyarakat memiliki pengetahuan dan wawasan lingkungan terbatas. Karena itu, Akar Bhumi tidak hanya advokasi dan rehabilitasi, juga edukasi. Kami tidak hanya melibatkan anak sekolah dan masyarakat dalam edukasi, juga menggunakan seni sebagai sarana kampanye.

 

Mengapa pakai sarana seni?

Akar Bhumi bukan satu, tetapi banyak orang yang punya keterikatan dengan lingkungan. Kebanyakan mereka berasal dari seni. Kenapa kita upaya kampanye lewat seni, karena seni lebih menyentuh dasar hati, tanpa mengenal usia. Kahkan dengan melodi saja bisa mempengaruhi mereka. Itu cara kita edukasi dengan segala strategi.

 

Hendrik Hermawan saat menyaksikan penimbunan mangrove di Desa Panglong, Kota Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

 

Seperti apa edukasi yang berhasil dilakukan?

Contohnya,  tempat ini (Kampung Pancur, Tanjung Piayu Batam), kalau kita disini empat tahun lalu kawasan ini menjadi tempat pekat (rawan kriminalisasi). Di sini,  tempat menggunakan narkotika, mesum. Kita datang kesini. Kita punya strategi hingga bisa mempengaruhi masyarakat, dengan melibatkan mereka langsung rehabilitasi dan gerakan hijau ini.

Akhirnya,  kawasan ini jadi pusat rehabilitasi mangrove, edukasi, pusat kegiatan teman-teman aktivis, aktivitas seni sifat lingkungan hidup. Disini kami laksanakan nonton film dan diskusi lingkungan, banyak perubahanlah.

 

Bagaimana upaya rehabilitasi mangrovenya?

Saya bersama kawan-kawan Akar Bhumi sudah menanam sekitar 60 hektar mangrove di Batam, antara lain, 50 hektar bersama pemerintah, lima hektar swadaya kami, lima hektar lagi di kawasan resapan air. Fokus rehabilitasi kita di catchment area, waduk Batam, hutan lindung, pesisir. Saat ini kami juga berkolaborasi dengan Montigo Resort dan organisasi Singapura dalam penanaman mangrove.

 

Dalam beberapa kasus, penanaman mangrove hanya sebagai seremonial, menurut anda?

Bagi kami kalau ada perusahaan yang hanya untuk seremonial tetapi tidak bertanggung jawab dalam maintenance tanaman kami tidak bisa bekerjasama dengan mereka. Menanam itu gampang, memastikan tumbuh itu sulit.

Apalagi dengan kondisi lingkungan tidak bagus. Pemerintah sudah melakukan upaya seperti ini (tidak hanya menanam juga merawat) maka kita minta perusahaan juga adopsi, bahkan perusahaan harus lebih hebat dari pemerintah. Jika pemerintah hanya bisa maintenance bibit tiga tahun, perusahaan harus lebih dari tiga tahun. Ini pembelajaran kepada swasta, setelah ditanam tidak ditinggal gitu saja.

Sekarang perusahaan sudah mengerti, tetapi belum banyak. Biaya penanaman mangrove satu hektar butuh Rp20 juta, idealnya Rp50 juta. Memperbaiki lingkungan itu mahal, kalau bisa deforestasi itu berhenti.

 

Bagaimana upaya melibatkan pihak lain dalam pelestarian mangrove?

Pelestarian mangrove harus melibatkan para pihak, kerjasama dengan pemerintah seperti BP Batam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Satu sisi kita juga kerjasama dengan NGO lokal. Karena lokal NGO perlu didampingi. Kami saling berjuang bersama.

 

Bagaimana keterlibatan anak muda?

Di bidang edukasi, Akar Bhumi Indonesia tak hanya memiliki program “Akar Bhumi Goes to School“, juga konsep “green class” untuk pelajar. Melalui program ini, mereka meluangkan waktu untuk menanam mangrove dan membersihkan lingkungan dengan mengumpulkan sampah.

Kami berusaha mendidik generasi muda agar mereka memahami lingkungan sejak dini, memiliki kesadaran, pengetahuan, dan kepedulian terhadap lingkungan.

 

Harapan ke depan?

Harapan kami,  banyak muncul organisasi lingkungan lain di Batam. Anak muda yang peduli lingkungan. Ada ide besar di Akar Bhumi, organisasi ini didirikan bukan setahun dua tahun, tetapi longterm. Kita pikir jauh bahwa harus selalu ada yang mengawal lingkungan.

Kita membutuhkan banyak pihak untuk memperbaiki lingkungan ini, baik saat ini maupun masa depan. Ada sebuah kutipan yang mengatakan, ‘salah satu kejahatan lingkungan adalah ketika kita merusaknya, dan kejahatan lainnya adalah ketika kita tidak peduli padanya.’

Karena itu, kita harus memperkuat pengetahuan dan kepedulian. Mari beraksi dengan potensi dan cara kita masing-masing untuk menciptakan masa depan lebih baik. Karena alam, hutan, dan laut milik generasi penerus kita.

 

*********

Exit mobile version