Mongabay.co.id

KKP Targetkan PP Sedimentasi Laut Berjalan Tahun ini, Bagaimana Nasib Nelayan dan Dampak Lingkungan?

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang membuat aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sosialisasi dan konsultasi publik sudah dilakukan di berbagai daerah Semarang, Makassar hingga Kepulauan Riau.

Baru-baru ini sosialisasi menyasar pengusaha tambang pasir laut, akademisi, hingga stakeholder di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa, 25 Juli 2023. “Hari ini KKP sosialisasi dan konsultasi publik untuk membahas bagaimana penerapan teknis PP 26 tentang Pengelolaan Sedimentasi Pasir di Laut,” ujar Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi usai acara sosialisasi.

Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) dari PP No.26/2023 yang dipaparkan KKP dalam sosialisasi, membahas teknis penerapan PP 26. “Acara ini juga menampung semua masukan, kekhawatiran, kelemahan PP 26 ini dari pengusaha, NGO dan pihak lainnya,” katanya.

Wahyu menegaskan, tahun 2023 ini diharapkan perusahaan sudah mulai beraktivitas menggunakan PP No.26/2023 tersebut. “Kalau Pak Menteri (Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono) pokoknya, maunya secepatnya, ya tahun ini,” ujarnya saat ditanya target realisasi PP No.26/2023 itu.

Sosialisasi menghadirkan narasumber Biro Hukum KKP, Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, akademisi Prof. Jatna Supriatna dari Universitas Indonesia, Sri Mariati dari Universitas Trisakti, Dietriech G Bengen dari IPB. Masing-masing mereka memaparkan materi yang berbeda.

Prof. Jatna Supriatna menilai ambisi KKP merealisasikan PP No.26/2023 dalam tahun ini terlalu cepat. Menurutnya masih banyak tahapan kajian yang harus dilakukan dengan hati-hati.

“Terlalu cepat (tahun 2023), jangan buru-buru lah, ini tahun politik, jadi susah,” katanya usai acara sosialisasi.

baca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang

 

Sosialisasi PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang digelar KKP di Kota Batam, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dampak Lingkungan 

Berbagai pihak banyak menolak rencana aktivitas PP No.26/2023 itu. Pasalnya aktivitas kapal isap pasir disinyalir akan merusak ekosistem laut.

Namun, KKP menegaskan aktivitas kapal isap sedimentasi tetap menjaga lingkungan. Tidak hanya memastikan kapal ramah lingkungan, KKP juga akan menghadirkan satu orang petugas pengawas di kapal isap tersebut.

Kapal isap juga diwajibkan menggunakan transmitter yang akan terhubung ke command center di kantor pusat KKP. “Jadi kita bisa pantau yang melanggar, kalau tidak pasang transmitter tidak akan kita izinkan,” kata Kepala Biro Hukum Setjen KKP Effin Martiana.

Ahli zoologi dan biologi konservasi Indonesia Jatna Supriatna juga menegaskan untuk pemerintah harus memperhatikan dampak lingkungan jika PP No.26/2023 ini berjalan. Tidak hanya di pengawasan tetapi juga saat pemetaan lokasi potensi sedimentasi laut.

“Ini yang paling utama soal dampak, (pemerintah) harus mengukur seberapa dampak pembersihan sedimentasi laut tersebut, harus dilakukan pemetaan menggunakan teknologi yang sudah canggih saat ini. Libatkan juga universitas lokal,” katanya.

Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Kepri Irsafwin Chaniago mengatakan, dampak lingkungan yang terjadi selama ini akibat tambang pasir laut karena tidak ada pengawasan ketat. Irsafwin meminta perwakilan asosiasi dimasukan dalam tim kajian, agar ikut mengawasi pembersihan sedimentasi laut tersebut.

baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Ilustrasi. Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

 

Nasib Nelayan 

Dalam sosialisasi tidak nampak perwakilan nelayan-melayan di Kepulauan Riau. Sosialisasi kebanyakan dihadiri oleh pengusaha tambang pasir laut.

Akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Muhammad Syazuari mengkritisi persoalan itu. Menurutnya sosialisasi harus kepada nelayan langsung. “Meskipun asosiasi nelayan hadir, belum tentu mereka paham, seharusnya langsung kepada nelayan itu sendiri,” kata Syazuari.

Wahyu Muryadi mengaku belum mengundang sepenuhnya nelayan di Kepri atau Batam pada acara sosialisasi. Alasannya keterbatasan ruangan. “Sebenarnya kita undang, tetapi ruangan terbatas,” katanya.

Namun ia menegaskan akan mensosialisasikan PP No.26/2023 ini kepada nelayan secara khusus nantinya. “Nanti bisa kita laksanakan, undang seluruh organisasi nelayan, nanti akan kita sampaikan untuk khusus event sosialisasi kepada nelayan,” kata Wahyu.

Meskipun tidak terlihat perwakilan nelayan, pembahasan kompensasi nelayan juga disinggung dalam sosialisasi. Berbagai pihak meminta ada kejelasan tanggung jawab pemerintah dan perusahaan kepada nelayan sekitar ketika aktivitas perusahaan pembersihan sendimentasi laut ini berjalan.

Kurniawan, pengusaha yang menampung hasil tangkapan nelayan di Pulau Kasu mengatakan, kompensasi nelayan harus ada aturan yang mengikat.

Mayoritas pekerjaan masyakarat Kepri, kata Kurnia, adalah sebagai nelayan. Ketika pengambilan sendimentasi pasir di laut ini tetap berjalan yang merasakan dampaknya adalah nelayan.

“Kalau PP 26 ini sudah jalan otomatis pendapatan nelayan berkurang, misalnya biasa nelayan dapat ikan 10 kilogram, setelah itu dapat hasil laut hanya 5 kilogram,” katanya.

baca juga : Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi

 

Penampakan tambang pasir kuarsa yang terdapat di seberang Pulau Kojong, Lingga. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Kompensasi Nelayan

Sedangkan Anggota DPRD Kepri Onward Siahaan mengatakan dalam sosialisasi tidak ada satupun menyebutkan komitmen pemerintah terhadap nelayan atau masyarakat terdampak. “Pemerintah pusat harus perhatikan kepentingan daerah dalam aturan PP 26 ini,” katanya.

Kepala Biro Hukum KKP Effin Martiana menjawab terkait komitmen KKP untuk kompensasi nelayan jika PP No.26/2023 ini berjalan nanti. Pada pasal 11 PP No.26/2023 sebenarnya, sudah ditegaskan pelaku usaha wajib menjamin dan memperhatikan keberlanjutan penghidupan di lokasi aktivitas pembersihan sendimentasi laut. “Ini menurut saya lebih dari kompensasi,” katanya.

Selain itu, jika aktivitas tersebut kemudian merusak lingkungan dan menganggu, nelayan diminta melapor kepada KKP. “Pembersihan hasil sedimentasi laut ini, wajib mempertimbangkan kelestarian lingkungan,” katanya.

Pengusaha Tambang Pasir Laur Alek Sugiono mengatakan, selama ini berdasarkan pengalamannya, nelayan selalu mendapat kompensasi dalam bentuk uang tunai ketika ada tambang. “Besaran kompensasinya tergantung berapa kubik pasir yang diambil,” kata Alek.

Selama ini dirinya sudah melakukan tambang pasir laut di tiga titik di Kepri salah satunya di kawasan Pulau Putri Kota Batam. “Saya kira kompensasi seperti itu tidak ada masalah selama ini,” katanya.

baca juga : Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut

 

Ilustrasi. Aksi nelayan Pulau Kodingareng Makassar mendatangi lokasi pembangunan Makassar Newport (MNP) yang menjadi ‘biang’ penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang Makassar, Sulawesi Selatan. Foto: Walhi Sulsel

 

Sedangan Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) sudah mempersiapkan kompensasi terbaik untuk nelayan. Bahkan rancangan rencana kompensasi untuk nelayan ini sudah mereka laporkan ke Presiden.

Ketua Harian APPL Kepri Irsafwin Chaniago mengatakan, kompensasi selama ini yang diberikan perusahaan tambang bersifat jangka pendek kepada nelayan, dalam bentuk uang tunai Rp1-3 juta untuk masing-masing nelayan.

APPL menawarkan konsep kompensasi baru yaitu sistem koperasi yang berlanjut. Sistemnya CSR perusahaan dikumpulkan BUMD kemudian disalurkan dalam bentuk bantuan berlanjut. Seperti bantuan alat tangkap, bantuan pelabuhan hingga beasiswa untuk anak-anak nelayan. “Kita sudah buatkan koperasi induk di Karimun,” katanya.

Kompensasi seperti ini manfaatnya lebih besar. Setelah itu manager koperasi akan dipegang oleh anak-anak nelayan sekitar. “Selamat 7 tahun belakangan kita sudah siapkan aturan ini,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version