- Pada tahun 2022, di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan program penanaman mangrove telah dilakukan lokasi seluas 1000 hektar.
- Pada peringatan Hari Mangrove Sedunia atau International Mangrove Day, di kawasan ekowisata Lantebung, Makassar, terungkap sejumlah tantanganrehabilitasi mangrove di Sulsel.
- Selain alihfungsi lahan, tantangan terbesar yang dihadapi adalah penebangan mangroveilegal hingga sampah plastik.
- Program konservasi mangrove di Lantebung bertujuan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan kegiatan rehabilitasi mangrovedi Lantebung.
Mangrove di Sulawesi Selatan masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari alihfungsi lahan, penebangan secara liar, hingga gangguan pertumbuhan akibat terpapar sampah plastik. Di tengah tantangan yang ada, program penanaman mangrove tetap dilakukan sebagai upaya penyerap karbon dan mitigasi bencana.
Jika dalam program penanaman mangrove nasional dicanangkan seluas 600 ribu hektar, maka di Sulawesi Selatan, selama tahun 2022, telah ditanami mangrove di lokasi seluas 1.000 hektar.
“Sebagaimana kita tahu bahwa luasan mangrove di Sulsel, dari tahun ke tahun semakin menurun. Kepedulian masyarakat dan berbagai pihak, NGO dan swasta, dalam rehabilitasi dan konservasi sangat penting untuk memperbaiki berbagai kerusakan yang ada,” jelas Sayyid Zainal Abidin, Kepala Cabang Dinas Kelautan Mamminasata (26/7/2023).
Adapun aksi penanaman mangrove yang merupakan bagian dari Hari Mangrove Sedunia ini difokuskan di kawasan ekowisata Lantebung, Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar
Dia juga berharap berbagai upaya penanaman mangrove yang telah dilakukan akan semakin menguatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga mangrove sebagai benteng pesisir.
“Dari 86 ribu pohon yang kita tanam hari ini, sebanyak 36 ribu bibit ditanam di Lantebung, 50 ribu bibit di Pajukukang. Sebelumnya di bulan Mei juga sudah di tanam di Pulau Satangnga, Kabupaten Takalar sebanyak 30 ribu bibit. Kita harap ni dapat memberikan kontribusi perubahan bagi ekosistem dan pendapatan ekonomi bagi masyarakat sekitar,” lanjutnya
Baca juga: Ade Saskia Ramadina, Perempuan Muda Penjaga Mangrove di Lantebung
Menjaga Lantebung
Kawasan ekowisata mangrove Lantebung semakin eksis sebagai kawasan wisata berbasis komunitas yang penting di Sulsel. Wilayah ini termasuk 75 besar dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, dalam kunjungannya pada 12 Juli 2023 lalu mengatakan apresiasinya. Sandi menyebut kawasan mangrove Lantebung harus dijaga.
“Saya melihat selain (mangrove) menjadi destinasi dari segi pariwisata, juga berperan dalam hal keberlanjutan. Mangrove sangat efektif untuk menyerap karbon dan carbon offsetting,” jelas Sandiaga, sebagaimana disampaikan melalui rilis Kemenparekraf.
Selain sebagai lokasi wisata alam, Lantebung juga didorong sebagai tempat pembelajaran mangrove. Termasuk mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan rehabilitasi mangrove yang telah dilakukan.
Program restorasi mangrove Lantebung diawali melalui riset langsung ke warga, lewat evaluasi kegiatan rehabilitasi yang dilakukan 10 tahun terakhir ini.
“Selama 10 tahun ini kami dokumentasikan, juga identifikasikan faktor gangguan yang memengaruhi mengapa mangrove tidak bisa tumbuh,” jelas Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI), lembaga non pemerintah yang mendorong program konservasi di Lantebung.
Salah satu tantangan mangrove di Lantebung jelas Nirwan adalah faktor sedimentasi. Mangrove tak boleh di tanam terlalu jauh ke arah laut karena tinggi sedimentasi yang ada tidak sesuai dengan mangrove alami yang tumbuh.
Upaya ini ditangani dengan membangun guldan, sebuah bangunan persegi seluas 4×2 meter yang dikelilingi bambu sebagai penghalang. Di dalam guldan sedimen ditinggikan setinggi mangrove alami yang tumbuh di sekitar lokasi tersebut.
Tantangan lain adalah adanya sampah yang kemudian diatasi dengan menggunakan waring sebagai penghalang di sekeliling wilayah rehabilitasi, sehingga mangrove bisa tumbuh dan berfotosintesis dengan baik.
Kegiatan ini melibatkan beberapa pemuda sekitar untuk monitoring selama 8 bulan, di mana setiap bulan mereka melaporkan tingkat pertumbuhan mangrove, tinggi sedimen dan apa pembelajaran yang mereka dapatkan dari aktivitas tersebut.
Pihak YKLI juga turut membangun bangunan pemecah ombak untuk mengatasi gangguan ombak tinggi, yang biasa terjadi diantara bulan Oktober – Januari.
“Kita harus optimis mangrove yang ada bisa dipertahankan dengan kepedulian bersama. Secara regulasi, pesisir Sulsel sudah ditetapkan sebagai green belt atau sabuk hijau. Wilayah 100 meter dari pasang tertinggi adalah kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai ruang terbuka hijau,” lanjut Nirwan.
Prof. Hilal Anshary, anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Sulsel, menyatakan melestarikan pesisir dengan menanam mangrove sebagai pelindung dari abrasi menjadi penting.
“Selain mencegah abrasi, manfaat lain mangrove, adalah tempat biota laut berlindung mencari makanan, yang kemudian bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar. Fungsi lainnya bisa mengurangi emisi karbon,” katanya.
Terkait masih adanya aktivitas penebangan mangrove yang dilakukan di berbagai daerah, dia menilai aktivitas tersebut mulai berkurang seiring munculnya kesadaran akan pentingnya mangrove, baik secara ekologi maupun ekonomi.
***
Foto utama: Kawasan ekowisata Lantebung, yang merupakan ‘kawasan mangrove terakhir di Kota Makassar, banyak dikunjungi wisatawan di akhir pekan dan hai libur. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.