Mongabay.co.id

Perempuan Adat Desak Tindak Tegas Penimbun Hutan Mangrove Teluk Youtefa

 

 

 

 

Para perempuan adat di Kampung Tobati dan Enggros, Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua,  protes aksi penimbunan hutan mangrove sekitar satu lapangan sepak bola di sana. Mereka mendesak aparat penegak hukum menindak tegas dan proses hukum para pelaku.

“Harap ditindaklanjuti, dihukum sesuai aturan berlaku supaya jangan masyarakat menertawakan hukum di negara ini,” kata Petronela Merauje, perwakilan perempuan adat, penerima penghargaan Kalpataru 2023,  Juli lalu.

Para perempuan adat bersama Tim Gabungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua (BBKSDA) Papua, Polda Papua, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua, Dinas Lingkungan Hidup Kota Jayapura, Sekretaris Daerah Kota Jayapura, mengamankan lokasi penimbunan pada 11 Juli lalu.

Para pelaku menebang pohon-pohon bakau terlebih dahulu sebelum menimbun. Sisa-sisa batang bakau yang dipotong tampak tergeletak di lokasi.  Tim gabungan mengamankan para sopir beserta truk berisi material timbunan, juga eskavator.

Ada sekitar 11 truk dan satu eskavator di lokasi penimbunan. Jumlah diperkirakan lebih banyak, namun tidak berada di lokasi saat diamankan.

Petronela mengatakan, para perempuan adat sudah memberikan peringatan kepada para pelaku dalam bentuk baliho sampai pemberitahuan langsung.  Mereka juga sudah melaporkan ke BBKSDA Papua. BBKSDA Papua menindaklanjuti dengan melayangkan surat teguran. Namun mereka tetap meneruskan penimbunan.

“Kalau tidak proses ini sampai selesai, orang-orang liar ini akan tetap merasa bahwa UU tidak berlaku. Kalau masih berlaku, berlakukan sekarang,” kata Ema Hamadi, Emma Hamadi, perempuan adat lainnya juga Lurah Argapura, Kota Jayapura.

 

Truk-truk yang digunakan untuk mengangkut material penimbun hutan bakau. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dari pengamatannya, dengan teguran dari BBKSDA dan kelompok perempuan adat, para pelaku menyembunyikan aktivitas dengan menimbun dari arah dalam hutan. Mereka membongar tembok pembatas. Penimbunan melibatkan banyak sopir truk hingga berlangsung cepat.

Mereka mendesak  orang-orang yang terlibat, dari para penebang sampai kepala suku yang ikut menyetujui harus dipanggil.

Ema menyayangkan aparat kepolisian malah terlihat melakukan penjagaan di lokasi penimbunan ini. Instansi kepolisian, katanya,  harus menindak tegas anggota mereka yang terlibat.

 

Aksi pemerintah?

A.G Martana, Kepala BKSDA Papua, menyatakan, sudah melakukan upaya pencegahan, namun tidak diindahkan para pelaku. “Selanjutnya untuk penegakan hukum, ada instansi yang berwenang untuk melakukan proses itu.”

Adapun wewenang penegakan hukum akan dilakukan Balai Penegakan Hukum, KLHK wilayah Maluku dan Papua dan atau Polda Papua.

Iptu Irian Jaya, Kasi Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Papua, siap mendukung Dinas Kehutanan Papua dan Gakkum KLHK. Menurut dia, wilayah ditetapkan sebagai kawasan konservasi tak bisa ada sertifikat tanah sebagaimana klaim para pelaku.

“Kita akan lihat dalam proses penyidikannya.”

Pemerintah sudah lama menetapkan Tobati, Enggros dan Nafri sebagai Kawasan Wisata Alam Teluk Youtefa. Penetapan ini melalui Keputusan Menteri Pertanian No.372/kpts/Um/1976. Luas KWA ini mencapai 1.650 hektar. Perda Kota Jayapura No 1/2014 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Jayapura menempatkan wilayah ini sebagai kawasan konservasi.

Robby K Awi, Pejabat Sekda Kota Jayapura menyatakan.  aktivitas penimbunan harus berhenti. “Pemerintah Kota Jayapura juga tidak mengizinkan kegiatan ini lanjut.”

 

Petronela Meraudje saat berada lokasi hutan bakau yang sudah ditimbun. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Awi juga mengimbau orang perorang maupun badan usaha sudah harus mentaati aturan. Menurut dia, ini wilayah hutan tersisa di teluk, setelah sebagian besar sudah mengalami alihfungsi ke berbagai peruntukan.

Jan Jap Ormuseray,  Kepala Dinas Kehutanan mengatakan, penimbunan ini melanggar Undang-undang Konservasi dan UU Lingkungan Hidup.

“Hari ini BBKSDA Papua, Gakkum KLHK, Pemerintah Papua, sepakat harus dihentikan. Harus dihentikan.”

Penegakan hukum harus jadi sebagai bukti kehadiran negara dalam kasus ini.

“Kalau dibiarkan terus, mereka menertawakan negara. Ini negara. Bukan masalah orang perorang.”

Adapun barang bukti langsung dibawa ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas I Jayapura di Waena.

Aktivis lingkungan di Kota Jayapura sudah lama mengingatkan pemerintah dampak pembangunan di Teluk Yotefa ini.

Pembangunan jalan layang dan jembatan penghubung di teluk ini, mendorong perambahan dan penimbunan ekosistem mangrove, yang mengubah landscape kawasan. Belum lagi persoalan pencemaran dampak sampah dan limbanh dari wilayah kota padat penduduk yang dibuang lewat beberapa sungai yang bermuara ke teluk ini.

Penimbunan ekosistem mangrove bukan pertama kali terjadi. Pemerintah bahkan ikut menimbun untuk keperluan pembangunan jalan dan jembatan, serta venue pada PON lalu. Terbukanya kawasan ini mendorong orang perorang maupun badan usaha menguasai lahan-lahan di pinggir jalan utama, termasuk lahan yang kini ditimbun.

Karena itu, meski pemerintah menetapkan sebagai kawasan konservasi, bangunan-bangunan baru tampak tak terbendung.

Plang peringatan status kawasan konservasi dengan logo BBKSDA, Dinas Kehutanan dan Kepolisian, berdiri berdampingan dengan plang milik warga yang mengklaim sebagai pemilik.

Plang dengan peringatan sama juga tampak sangat lama dan tenggelam di antara bangunan, menandakan kalau bangunan lama di kawasan ini juga sudah melakukan pelanggaran serupa.

 

Hutan bakau yang sudah ditimbun di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Tanah adat

TWA juga merupakan hak ulayat berapa marga penghuni kampung-kampung di dalam wilayah teluk.

Petronela Merauje mengatakan, peran ondoafi dan kepala suku sebagai pimpinan adat yang melepas kawasan ini kepada pengusaha, juga ikut mendorong perubahan fungsi kawasan.

“Ketika ondoafi dan kepala suku menandatangani surat pelepasan itu, terjadilah transaksi jual beli dan pengalihan fungsi lahan. Mereka dua inilah orang kunci di kampung, di masyarakat adat.”

Hukum adat, katanya,  belum mengatur tentang jual beli tanah. Namun, katanya, dalam adat, hutan mangrove adalah wilayah mencari makan khusus untuk perempuan. Hutan mangrove juga disebut hutan perempuan, karena turun temurun menjadi ruang sosialisasi maupun pemanfaatan bagi perempuan. Itu pula, katanya, yang jadi dasar para menyuarakan penolakan alih fungsi hutan ini.

Ondoafi dan kepala suku yang melakukan pelepasan hak ulayat, katanya,  harus terus menerus diberi pencerahan terkait status dan fungsi kawasan ini.

“Bakau ini bukan tanah, ini laut. Masa sih ko harus timbun laut seluas ini. Ko manusia punya hati. Harusnya berpikir kalau saya timbun ini pasti akan terjadi sesuatu di laut ini.”

Untuk lahan yang berstatus tanah adat di Papua, pelepasan hak ulayat merupakan satu syarat penerbitan sertifikat hak tanah. Hal ini kadang berbenturan dengan status kawasan yang sudah ditetapkan pemerintah. Persoalan ini terus menerus terjadi.

Meski berstatus tanah adat, Jan Jap Ormuseray mengatakan, teluk ini  tetap merupakan kawasan konservasi. Kalau ada sertifikat hak, penerbit juga akan diproses hukum.

“UU sudah mengatur di kawasan konservasi tidak dapat diterbitkan sertifikat. Jika ada sertifikat, itu salah. Orang BPN juga akan diproses.”

Dinas Kehutanan bersama BBKSDA Papua sudah membangun sarana wisata di lokasi ini diberi nama Taman Wisata Adjahfuk. Dari pantauan terakhir, taman wisata ini belum beroperasi.

 

Perempuan adat pasang plang di kawasan Teluk Yoteva. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Penting bagi ekosistem

Selvi Tebay, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Papua mengatakan, ekosistem mangrove berperan penting baik secara ekologis, ekonomi, maupun sosial budaya.

Secara ekologis, ekosistem mangrove rumah bagi keanekaragaman hayati mulai dari berbagai jenis bakau, hingga ikan, kepiting, kerang dan biota lain. Ekosistem mangrove berperan penting menjaga garis pantai.

“Ketika terjadi gelombang tinggi, terjadi abrasi. Air laut masuk sampai ke jalan raya. Kalau tidak ada hutan mangrove, peranan melindungi garis pantai itu tidak ada. Bencana banjir bisa terjadi, air laut sampai ke arah kampung.”

Di pesisir Jayapura, masyarakat masih tergantung ekosistem mangrove. Tempat ini turun-temurun jadi sumber pangan. Bahkan secara budaya, hutan ini jadi hutan khusus bagi perempuan untuk mendapatkan hasil alam.

“Ketika hutan dirambah, tidak ada lagi tempat di mana masyarakat mempraktikkan kearifan lokalnya.”

Upaya pemerintah jadikan kawasan ekowisata, katanya, sudah baik guna menjaga dari kerusakan. Perlu analisis stakeholder, katanya, guna mengetahui siapa saja pihak-pihak yang harus dilibatkan, tanggungjawab dan manfaat yang mereka dapat jadi jelas.

Petronela bilang, dampak kerusakan mangrove sudah dirasakan warga kampung di Teluk Youtefa. Dia berharap, ketegasan aparat hingga kasus perusakan dan alih fungsi tidak terjadi lagi.

Baginya, hutan bakau adalah lahan hidup terbesar masyarakat Tobati dan Enggros. Kalau terus-menerus ditimbun, katanya, masyarakat akan kesulitan sumber penghidupan.

Teluk ini, katanya,  terbentuk karena ada mangrove. Kalau tidak ada mangrove, tidak ada Teluk Youtefa, dan tidak ada juga kampung-kampung di situ.

“Jika, terjadi abrasi besar-besaran, Kampung Enggros dan Tobati 10 atau 20 tahun ke depan, kami tidak tahu akan hidup di mana.”

Plang peringatan dari BBKSDA Papua di depan lokasi hutan bakau yang sudah ditimbun di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa Jayapura.Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version