Mongabay.co.id

Potensi Besar Transisi ke Energi Surya, Pemerintah Masih Setengah Hati?

 

 

 

 

Indonesia memiliki potensi besar pengembangan energi surya hingga bisa jadi jalan mewujudkan transisi energi sebagai upaya capai nett zero emission pada 2060. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), cadangan energi surya negeri ini mencapai 32,5 giga watt.  Sayangnya, kebijakan belum sepenuhnya mendukung hingga terkesan komitmen pemerintah masih setengah hati.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, transisi energi fosil ke terbarukan seperti ke PLTS sejatinya cukup tinggi. Namun, katanya, pembatasan pemerintah pada akhirnya menjadi ganjalan.

Saat Mongabay kunjungan ke beberapa site pengguna PLTS, salah satu PT Vinilon Group di Kecamatan Kemlagi, Mojokerto, belum lama ini.

Perusahaan ini satu dari sedikit yang mulai beralih ke energi surya sebagai sumber energi. Kapasitas hampir setengah megawatt.

Antonius Prakoso,  Plant Manager Vinilon Group di Mojokerto mengatakan, listrik itu sebenarnya sangat kecil bila dibanding keperluan tetapi regulasi pemerintah yang membatasi konversi energi dari listrik PLN ke PLTS hanya 15% hingga tak bisa berbuat banyak.

“Kalau kebutuhan kami lebih dari 2800 KWp. Karena ada pembatasan 15%, kami tidak bisa menambah kapasitas,” katanya belum lama ini.

Penggunaan PLTS itu merupakan bagian dari komitmen perusahaan ini dalam mewujudkan industri hijau. Melalui pemanfaatan energi Surya itu, dia berharap dapat memberi kontribusi guna mengurangi pemanasan global.

“Langkah itu selaras dengan gerakan pemerintah untuk menjalankan standar industri hijau, sekaligus berkontribusi pengurangan gas rumah kaca katanya di sela kunjungan media ini.

Antonius menyadari, peningkatan suhu global memicu perubahan iklim ekstrem yang akhirnya berdampak di berbagai sektor, seperti krisis air, banjir dan juga badai. Kondisi ini, salah satu dipicu penggunaan energi fosil.

“Kalau PLTS ini kan lebih ramah. Tidak ada emisi atau limbah apa pun,” katanya.

Selain itu, PLTS juga dinilai mampu menekan biaya operasional pembayaran listrik hingga 15%.

Dia bilang, ada dua pabrik milik Vinilon Group yang mulai menerapkan energi surya sebagai sebagai sumber energinya.

Satu perusahaan berlokasi dii Mojokerto, Jawa Timur  dan satunya lagi di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Di Mojokerto, instalasi panel PLTS yang memakan waktu hingga dua bulan itu telah selesai dengan 600 panel terpasang di atap warehouse untuk menangkap radiasi dari matahari. Masing-masing panel berukuran 1×2 meter dengan total energi yang mampu dihasilkan mencapai 350 kWh.

“Untuk yang di Cileungsi, karena kapasitas yang direncanakan lebih besar, masa pengerjaan kami perkirakan setahun. Schedule-nya tahun depan sudah selesai,” katanya,

Pemasangan PLTS atap itu juga sejalan dengan semangat perusahaan mewujudkan industri hijau. Value itu juga menjadi nilai yang layak ditawarkan kepada konsumen bahwa produk yang dihasilkannya dibuat dengan energi ramah lingkungan.

 

Baca juga: Revisi Aturan PLTS Atap Rawan Lemahkan Minat Pasar

Insalasi panel surya atap di Vinilon Group di Mojokerto. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Selama ini,  perusahaannya banyak pakai listrik PLN sebagai sumber energi utama, kendati dalam praktik listrik yang mengalir acapkali tak stabil. Bahkan, sepanjang satu semester tahun ini saja tercatat 27 kali down.

“Kalau sudah begitu proses produksi kami akan mengalami banyak masalah. Mesin akan gampang rusak karena listrik naik turun. Waste produk kami juga pasti akan jadi lebih tinggi,” katanya.

Dion Jefferson, Chief Commercial Officer SUN Energy, selaku perusahaan pengembang energi surya mengapresiasi komitmen Vinilon Group untuk menggunakan energi surya. Menurut dia, apa yang dilakukan perusahaan ini menjadi bagian dari upaya pengurangan emisi di Indonesia oleh kalangan industri.

“Harapannya ini bisa diikuti perusahaan-perusahaan lain hingga upaya pengurangan emisi bisa berjalan efektif,” katanya.

Dia menyebut, hasil perhitungan SUN Energy, instalasi dua pabrik Vinilon berkapasitas 1,4 MWp itu mampu mereduksi 1.684 ton emisi karbon per tahun dari kegiatan produksi.  Ia juga sekaligus jadikan sebagai produsen pipa pertama yang memanfaatkan sistem energi surya.

Sun Energy merupakan satu perusahaan pengembang energi surya di Indonesia.  Berdiri sejak 2016,  dengan kapasitas terpasang mencapai 218 MWp tersebar di 25 kota dari lima negara dj Asia Pasific.

Dion optimistis, prospek PLTS di Indonesia ke depan masih cukup baik, terutama dari sektor industri dan komersial yang terus menunjukkan tren peningkatan.

Berdasar data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga per Mei lalu, pelanggan PLTS mencapai 7.075 dengan kapasitas terpasang 32,5 GW. Sektor rumahan menyumbang paling besar sebesar 72%, sisanya, sektor industri dan bisnis.

“Makin beragam jenis pelanggan akan menunjukkan sistem energi surya mampu menjadi sumber energi yang reliabel dan efisien untuk kegiatan operasional industri,” kata Dion.

Secara rinci, pabrik Vinilon di Mojokerto, memiliki kapasitas PLTS terpasang 398,65 KWp dengan estimasi energi mencapai 534.514 KWh per tahun. Potensi reduksi emisi karbon diperkirakan 481 ton per tahun, esmitasi pohon tertanam 14.966 pohon.

Untuk menghasilkan energi ini, solar PV yang dipasang sebanyak 604 Pcs dengan luas bidang 1.208 meter persegi. Ada tujuh panel inverter dipasang dengan masing-masing berkapasitas 50 kw AC.

Di pabrik Vinilon Cileungsi, Jawa Barat, kapasitas PLTS terpasang diproyeksikan mencapai 1 MWp. Dengan begitu, total energi sebesar 1.337.079,03 KWh per tahun.

Estimasi emisi karbon yang akan direduksi mencapai 1.203,37 ton per tahun dengan jumlah pohon tertanam 37.438 pohon.

Antonius mengatakan, perubahan iklim dan degradasi lingkungan saat ini menuntut semua pihak ambil peran termasuk kalangan industri yang dinilai dapat berkontribusi dengan mengurangi penggunaan energi berbahan fosil.

Salah satu, katanya, dengan memasang PLTS sebagai satu pasokan sumber energi. Menurut Prakoso, selain lebih ramah karena tidak menghasilkan emisi, PLTS juga membantu perusahaan menghemat pengeluaran.

Antonius tidak ingat pasti berapa angka efisiensi yang didapatkan dari penggunaan PLTS tetapi persentase mencapai 10-15%.

“Yang lebih penting ini menjadi bagian menyelamatkan generasi mendatang karena perubahan iklim.”

 

Baca juga: Pelanggan PLTS Atap Lesu, Bagaimana Pembiayaan?

Beralih dari energi fosil (PLTU batubara) ke energi terbarukan, salah satu surya. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Perlu komitmen politik

Daniel Kurniawan,  peneliti Kebijakan Energy Surya IESR, menilai, sejauh ini progres penggunaan PLTS masih lambat. Hingga kini, berdasar catatan KESDM, baru sekitar 300 MW terpasang (laporan ISEO 2023 atau laporan kinerja ESDM 2022). Padahal, peluang energi surya sebagai pengganti energi fosil sangat besar.

Menurut Daniel, berdasar studi IESR, Agora Energiewende & LUT University, PLTS dapat menyumbang pasokan energi primer terbesar untuk skenario (least cost) zero-emission sektor energi 2050.

Ada dua hal yang menurut IESR menjadi tantangan pengembangan PLTS di Indonesia. Pertama, masih kuat paradigma perencanaan sistem ketenagalistrikan yang cenderung tradisional.

Kedua, legacy projects (PLTU) yang menyebabkan overkapasitas terutama di Jawa dan Sumatera dan fleksibilitas sistem rendah atau rigid.

Daniel berpendapat, sektor komersial dan industri sejatinya bisa digenjot mengejar pertumbuhan PLTS di Indonesia karena kapasitas berpotensi lebih besar ketimbang rumahan.

Sebagai gambaran, pada satu proyek PLTS  industri berkapasitas 1 megawat saja, misal, setara 250-500 PLTS atap berkapasitas 200 KwP per rumah. Lebih menarik lagi,  katanya, pada proyek skala besar, biaya investasi bisa lebih ditekan. Bahkan,  dapat didukung opsi financing lebih menarik dibanding proyek rumahan.

Peluang itu pun sejatinya terbaca dengan baik dan dibuktikan terus meningkatnya PLTS terpasang oleh kalangan industri. Justru yang menjadi masalah, katanya, banyak kalangan industri susah terlanjur memasang tetapi belum juga beroperasi karena terganjal perizinan.

Daniel pun mendesak pemerintah dan PLN perlu segera menyelesaikan isu ini. Kalau tidak, itu akan menghambat minat investasi industri ke PLTS atap.

Usaha korporat untuk memenuhi target-target perusahaan akan terganggu. Begitu juga masyarakat, tidak bisa berpartisipasi dalam investasi energi terbarukan. “Yang pasti juga akan banyak investor pull out dari Indonesia,” kata Daniel.

Dia menyebut arah kebijakan pemerintah sebenarnya sudah tepat tetapi ada beberapa hal jadi catatan.  Pertama, terkait reformasi pengembangan project pipeline di rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL). Kedua, terkait proses procurement/auction PLN yang dinilai masih sporadis dan tak terjadwal.

Terkait potensi penurunan omzet PLN imbas kehadiran PLTS, katanya, dapat disiasati dengan rasionalisasi tarif, subsidi atau insentif kepada PLN.

Pemerintah, kata Daniel,  sudah revisi Permen 26/2021 dan polemik pembatasan kapasitas oleh PLN sejak 2022. Saat ini,  dokumen masih proses harmonisasi di Kemenkunham.

Pemerintah, katanya,  tengah menyiapkan comprehensive investment and policy plan (CIPP) untuk Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan rilis 16 Agustus ini.

Menurut dia, itu sebagai momen tepat reformasi iklim kebijakan dan investasi untuk pengembangan PLTS. Termasuk,  juga perencanaan membangun industri rantai pasok panel surya domestik.

“Yang lebih penting pemerintah, khusus PLN perlu mengambil komitmen politik agar ini bisa terjadi untuk mencapai target pengembangan PLTS, energi terbarukan, dan most importantly, target iklim (penurunan emisi).”

 

Insalasi panel surya atap di Vinilon Group di Mojokerto. Perlu dorong makin banyak industri beralih dari penggunaan energi ke terbarukan, salah satu lewat sdurya atap. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version