Mongabay.co.id

Riset WALHI Sulsel Ungkap Dampak Buruk PLTU Jeneponto untuk Warga dan Lingkungan

 

Dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang beroperasi di Desa Punagaya, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan berdampak pada lingkungan, kesehatan, ekonomi dan ketenagakerjaan, serta lahan pertanian warga.

Demikian hasil simpulan riset yang dilakukan WALHI Sulawesi Selatan, yang disampaikan melalui laporan ‘Dampak Energi Kotor di Jeneponto’ pada diskusi yang diselenggarakan di Makassar (24/7/2023).

Koordinator peneliti, Nurul Fadli Gaffar, menyebut dengan berbagai masalah dan dampak buruk yang ditimbulkannya, seharusnya sudah waktunya pemerintah mencabut izin atau melakukan pemensiunan dini terhadap kedua PLTU tersebut.

“Pemerintah perlu menjalankan komitmennya dalam COP 26 di Glasgow pada 2021 dengan melakukan ‘pensiun dini’ PLTU Punagaya. Pemerintah juga harus melakukan pemulihan lingkungan dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi aktivitas nelayan dan petani budidaya, termasuk pemulihan atas polusi udara yang ditimbulkan selama ini, serta memberi ganti rugi,” ungkap Fadli.

Dalam Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia masih akan menggunakan batubara, paralel dengan phase out hingga tahun 2056. Pembangunan PLTU baru sebesar 13.8 GW–atau sekitar 42 persen dari kapasitas PLTU terpasang–masih akan terus berlangsung.

Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh PLTU Punagaya diantaranya bisa dilihat dari kehadiran dermaga bongkar muat batubara (coal unloading jetty) yang menjadi penyebab menurunnya kualitas air di perairan sekitar PLTU.

“Aktivitas dermaga bongkar batubara saat ini telah sering terjadi tumpahan batubara di area dermaga bongkar muat batubara PLTU,” ungkap Fadli.

Dalam investigasinya, WALHI Sulsel menemukan material batubara di pesisir dan laut Punagaya, yang mengindikasikan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Batubara yang masuk di perairan menjadi sumber pencemaran logam berat dengan potensi kandungan Hg, Cr, Cu, dan Fe.

Hasil riset juga menemukan aktivitas kedua PLTU yang menyalahi komitmen pengurangan potensi dampak lingkungan yang telah dibuat dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL), seperti aktivitas kapal tongkang batubara yang tidak menggunakan penutup terpal.

“PLTU memiliki reputasi sebagai silent killer, tidak ada peringatan yang dilakukan pihak perusahaan saat udara di sekitarnya tercemar. Secara perlahan ini meracuni orang-orang di Desa Punagaya.”

 

Paparan hasil riset WALHI Sulsel terkait dampak energi kotor PLTU batubara di Desa Punagaya, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulsel, di Makassar, Senin (24/7/2023). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Menyoal Daya Rusak PLTU Batubara dalam Kawasan Industri, Apa Temuan Aliansi?

 

Dampak Cemaran PLTU

Selain dampak lingkungan, pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh PLTU juga berdampak pada berkurang atau hilangnya akses lahan masyarakat untuk mencari sumber ekonomi seperti petambak, nelayan, maupun petani.

Para petani rumput laut misalnya, mengalami gagal panen akibat rumput laut yang rusak. Rusaknya rumput laut itu berasal dari laut yang telah tercemar limbah hasil pembakaran batubara PLTU di Desa Punagaya.

“Aktivitas pembakaran batubara PLTU juga membuat suhu air laut di wilayah tersebut meningkat, ini membuat rumput laut milik warga mengalami proses pemutihan atau bleaching, hingga mati dan gagal panen,” jelas Fadli.

Proses pembuangan air panas PLTU ini bisa berlangsung 2-3 kali dalam sebulan. Saat penumpahan air berlangsung, rumput laut menjadi putih dan  terpaksa harus dipanen dini.

“Selain air panas, penyebab lain rusaknya rumput laut adalah aktivitas bongkar muat yang secara tidak sengaja menjatuhkan debu batubara di laut, ditambah dengan limbah debu hasil pembakaran yang berdampak pada rusaknya rumput laut.”

Keberadaan PLTU Punagaya juga telah merubah lanskap dan fungsi ekologi. Di dua dusun, Bungung Labuang dan Kawaka, warga lokal mengeluhkan persoalan air hujan yang terhalang akibat pagar dan bangunan PLTU.

Akibatnya, petani yang menanam di sisi selatan PLTU dengan jarak radius 2 km, harus menyesuaikan jenis tanaman saat musim hujan datang.

“Banjir yang sering terjadi membuat warga sulit bertani, meski lahan yang ada cukup luas dan cocok untuk tanam bawang. Mereka pada akhirnya kehilangan kesempatan itu.”

Dampak lain adalah pada kesehatan warga. Sejak kehadiran PLTU, muncul gejala batuk-batuk dan gangguan pernapasan, alergi, gatal-gatal yang dirasakan warga.

“Tren gangguan kesehatan yang muncul adalah alergi dan gatal-gatal,  yang terbanyak adalah batuk-batuk. Ini paling banyak terjadi di Dusun Bungung Labuang, karena dusun itu paling dekat dengan PLTU.”

Debu batubara dari hasil pembakaran beterbangan menjadi polutan udara beracun dan dapat berdampak pada kesehatan pernapasan, dan dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian.

 

Aktivitas pembakaran batubara PLTU membuat suhu air laut meningkat sehingga mengganggu pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan warga. Dok: WALHI Sulsel.

 

Dampak PLTU terhadap Ekosistem Perairan

Khusnul Yaqin, ahli ekotoksikologi dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, -mengutip hasil sebuah riset, menyatakan PLTU berdampak pada ekosistem laut dan pesisir, khususnya rumput laut.

Ketika suhu perairan meningkat, maka toksisitas bahan pencemar yang ada juga akan meningkat.

“Polutan terbesar dari pembakaran bahan bakar batubara adalah emisi CO2, SO2, partikel dan debu pengotor, merkuri dan beberapa logam beracun yang lainnya serta radioaktif,” katanya.

Paparan radiasi beta yang dihasilkan dari Pb-210 pada kandungan batubara merupakan bahaya radiasi eksternal dan internal terhadap tubuh manusia. Sedangkan radiasi alfa yang dihasilkan Po-210 dan U-238 merupakan bahaya radiasi internal.

Dengan berbagai bahaya tersebut, Yaqin berharap pemerintah bisa menutup seluruh PLTU batubara yang ada dan menggantinya dengan energi yang lebih ramah lingkungan, seperti sumber energi surya atau gas yang banyak tersedia di Sulawesi.

Inspektur Ketenagalistrikan Muda, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Sulsel, Andi Sri Radiastuti,  menyatakan penutupan PLTU batubara yang ada di Sulsel tidak bisa dilakukan serta merta saat ini. Perlu waktu untuk dapat digantikan dengan energi yang lebih bersih.

“Perlu evaluasi, pelan-pelan dipikirkan bagaimana caranya untuk penggantian itu menjadi energi baru terbarukan,” pungkasnya.

 

***

Foto utama: Asap dari cerobong sebagai sumber polutan hasil pembakaran batubara, mengeluarkan emisi bahan-bahan pencemar udara. Dok: WALHI Sulsel.

 

Exit mobile version