Mongabay.co.id

Pentingnya Konservasi Harimau di Alam Liar, Bukan Sebagai Satwa Domestikasi

 

 

Upaya konservasi harimau memberi peluang luar biasa dalam penyelamatan keanekaragaman hayati global. Sebagai spesies payung, melindungi harimau sama dengan melindungi hutan yang merupakan habitatnya.

Menurut penelitian terbaru di India oleh Lamba et al. [2023], dengan meningkatkan tutupan hutan, upaya konservasi harimau di sejumlah wilayah juga dapat membantu mencegah pelepasan sekitar 1 juta metrik ton karbon dioksida rentang tahun 2007-2020. Selama periode ini, 5.802 hektar hutan juga terhindar dari deforestasi.

“Emisi yang dihindari setara dengan gas rumah kaca yang dilepaskan dari gas untuk memasak oleh 4,1 juta rumah tangga India per tahun,” dikutip dari nature.com.

Masih jurnal yang sama, pencegahan deforestasi ini juga sama dengan US$93 juta dalam bentuk jasa ekosistem dari biaya sosial emisi yang dapat dihindari dan pendapatan potensial sebesar US$6 juta dalam penggantian kerugian karbon.

“Temuan kami melacak manfaat tambahan penyerapan karbon dari strategi konservasi spesies dan dengan demikian membantu menyelaraskan tujuan aksi iklim dan konservasi keanekaragaman hayati,” tulis penelitian itu dalam jurnal Nature Ecology and Evolution berjudul Climate co-benefit of tiger conservation.

Baca juga: Sungai dan Harimau Sumatera

 

Harimau sumatera, penguasa hutan yang semakin terganggu di habitatnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ancaman harimau sumatera

Saat ini, hanya tersisa 6 sub-spesies harimau di dunia. Salah satunya adalah harimau sumatera [Pantera tigris sumatrae], endemik Pulau Sumatera.

“Sumatera adalah salah satu dari tiga wilayah [termasuk India dan Rusia] yang memiliki sekitar 80 persen habitat harimau tersisa. Ini juga merupakan populasi harimau terakhir yang tersisa sejak subspesies Jawa dan Bali punah,” tulis Smith, Wang dan Carbone [2018], dalam jurnal Biological Conservation.

Status konservasi harimau sumatera adalah Kritis, atau selangkah lagi menuju kepunahan. Dalam analisis Forum HarimauKita [FHK], populasi harimau sumatera di alam berkisar 400-500 individu. Ini tersebar dalam 23 lanskap habitat dengan luas sekitar 9 juta hektar, sementara luas total Pulau Sumatera sekitar 47 juta hektar.

“Lanskap habitat ini sudah mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir, awalnya ada 29 lanskap. Ancaman terbesar yakni deforestasi habitat, perburuan, serta konflik manusia dengan harimau,” terang Drh. Erni Suyanti, Ketua Forum HarimauKita, dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia: Petaka Dari Domestikasi Satwa Liar, Kamis [3/8/2023].

Degradasi hutan yang terus mempersempit habitat harimau sumatera juga berpotensi menyebabkan konflik. Tahun 2023 saja, FHK mencatat 24 kasus konflik yang 9 kejadian berujung kematian harimau sumatera.

Ini juga diperparah dengan angka perburuan serta perdagangan harimau yang masih tinggi. Berdasarkan data 20 tahun terakhir, ada sekitar 3.000-an harimau yang disita dalam kasus perdagangan secara global.  Indonesia ada di urutan ketiga. Artinya, minat terhadap kepemilikan satwa liar atau harimau secara global sangat besar.

“Jika ada banyak kasus kepemilikan satwa liar [harimau], dikhawatirkan akan memicu banyak pihak untuk meniru, sehingga angka perburuan dan perdagangannya bisa naik. Apalagi jika pemelihara ini punya pengaruh yang sangat luas terhadap publik,” lanjutnya.

Selain itu, motif edukasi dalam kasus kepemilikan satwa tidak bisa dilegitimasi, karena edukasi ada pada ranah konservasi.

“Edukasi terkait satwa liar harus menyeluruh dan menggambarkan kondisi alami satwa di alam liar, bukannya show atau pertunjukan semata. Banyak alternatif yang bisa digunakan untuk edukasi, tidak harus melibatkan kontak langsung dengan harimau,” lanjutnya.

Sebelumnya, mengutip detik.com, meskipun sudah memiliki izin penangkaran, kematian anak harimau benggala di kandang penangkaran milik YouTuber Alshad Ahmad memantik diskusi publik. Diketahui, BBKSDA Jabar sudah menerjunkan tim untuk mengetahui penyebab kematian satwa yang menurut IUCN berstatus terancam punah.

Baca juga: Nasib Harimau Sumatera Masih Berkutat Konflik dan Perburuan

 

Harimau sumatera yang hidupnya masih dalam bayang-bayang konflik dengan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Domestikasi bukan konservasi

Di sejumlah negara seperti China, untuk mengatasi tingginya angka perburuan harimau, mereka mempertimbangkan pelonggaran aturan, misalnya memungkinkan produk dari peternakan atau penangkaran harimau dijual secara legal.

“Bangkai harimau yang mati di penangkaran saat ini dibekukan dan disimpan karena pemilik berspekulasi bahwa larangan perdagangan dalam negeri akan dilonggarkan, meskipun ada kekhawatiran bahwa peternakan harimau sudah menjadi sumber signifikan produk yang diperdagangkan secara ilegal yang mengandung tulang harimau,” tulis Abbott and Kooten, Van Cornelis [2011], dalam jurnal Economy Ecology.

Namun, para penentang penjualan harimau penangkaran menganggap, bahwa pelemahan larangan perdagangan akan meligitimasi konsumsi, sehingga meningkatkan permintaan bagian tubuh harimau.

“Para peneliti telah mensurvei populasi harimau dan luas habitatnya, ketersediaan produk harimau di pasar China dan internasional, keadaan penangkaran harimau di China, serta penyitaan harimau yang diburu, menyimpulkan bahwa harimau liar kemungkinan besar akan punah jika status quo dipertahankan,” lanjut jurnal tersebut.

Dengan kata lain, proses penangkaran harimau diperkirakan sama sekali belum berdampak terhadap populasi harimau.

Ini juga dipertegas oleh Drh. Nur Purba Priambada dari Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, bahwa kegiatan penangkaran identik dengan hal komersil bukannya konservasi.

“Di satu sisi, domestikasi satwa liar bisa mendatangkan rasa senang atau kesehatan fisik dan mental. Namun di sisi lain, domestikasi ini bisa berpotensi mendukung kejahatan satwa liar, belum lagi potensi penyebaran patogen penyakit ke satwa lain atau manusia,” lanjutnya.

Para penangkar harimau juga seringkali menggunakan jastifikasi khawatir dengan keadaan populasi harimau di alam. Namun sebaliknya, dalam penangkaran, fungsi ekosistem satwa liar tidak akan berfungsi. Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah pemenuhan kesejahteraan satwa liar itu sendiri, mulai dari nutrisi, kepuasan saat makan, interaksi, insting liar dan sebagainya.

“Karenanya, penting untuk tetap mejaga satwa liar tetap di alam liar. Sehingga, fungsi positif mereka dalam ekosistem bisa dirasakan oleh semua makhluk hidup di bumi,” tegasnya.

 

Referensi:

Abbott, B. and Kooten, Van Cornelis, G. (2011). Can domestication of wildlife lead to conservation? The economics of tiger farming in China. Ecological Economics, 70(4), pp. 721–728.

Lamba, A. et al. (2023). Climate co-benefits of tiger conservation. Nature Ecology and Evolution, 7(7), pp. 1104–1113. Available at: https://doi.org/10.1038/s41559-023-02069-x.

Smith, O., Wang, J. and Carbone, C. (2018). Evaluating the effect of forest loss and agricultural expansion on Sumatran tigers from scat surveys. Biological Conservation, 221, pp. 270–278.

 

Exit mobile version