Mongabay.co.id

Kisah Rampogan Macan dan Menghilangnya Harimau Jawa

 

Hubungan manusia Jawa dengan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) seperti cinta dan benci. Di satu sisi orang Jawa menghormati dengan menyebutnya simbah, panggilan bagi mereka yang dituakan. Di sisi lain, dia pernah diburu dan ditangkap. Bahkan kematiannya menjadi bagian dari pertunjukkan seperti yang terlihat dalam tradisi rampogan macan.

Bersama dengan macan kumbang dan macan tutul Jawa (Phantera pardus melas), orang Jawa menyebut ketiga kucing besar ini sebagai macan.

Padahal pada zaman dulu satwa karnivora ini dianggap sebagai sahabat oleh petani atau peladang yang lahan garapannya berbatasan dengan hutan. Macan membantu mengurangi keberadaan hewan yang merugikan seperti babi hutan, rusa, maupun kawanan monyet. Memang sesekali makhluk ini memangsa ternak. Hal ini disebabkan karena masing-masing tinggal dalam wilayah yang berimpitan.

Mengutip pendapat Robert Wessing, seorang antropolog dan peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, hubungan manusia Jawa dan macan terlihat ambigu. Kadang bersekutu, di waktu lain menjadi sumber bencana. Gangguan yang tidak disengaja di antara keduanya pun dengan mudah bisa merusak hubungan harmonis yang terjalin.

Tentrem kemudian terganggu dan alam semesta keluar dari keteraturan,” tulis Wessing dalam artikel berjudul A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan, yang terbit dalam sebuah jurnal di Belanda, 1992.

baca : Viral Penampakan Harimau Jawa di Media Sosial, Mengapa Masih Percaya Ada Meski Dinyatakan Punah? 

 

Perburuan harimau jawa pada jaman kolonial Belanda. Foto: Profauna.

 

Tradisi rampogan macan, pertarungan antara harimau dengan manusia di Jawa itu menjadi simbol bagaimana keteraturan ditata kembali. Meski harus dicatat bahwa makna tradisi rampogan sendiri berubah dari waktu ke waktu. Awalnya memang merupakan upacara yang sakral, namun setelahnya berubah menjadi hiburan semata.

Dalam artikelnya, Wessing memberikan informasi berharga tentang bagaimana rampogan macan itu dilangsungkan sejak abad 17 yang berakhir pada dekade-dekade awal abad 19 itu. Selain itu Wessing juga mengurai makna tradisi rampogan yang dituding turut mendorong lenyapnya harimau Jawa dari hutan yang tersisa di Pulau Jawa itu.

Versi lain menyebut rampogan macan ada sejak 1605 dan berakhir pada 1906, seperti yang ditulis Peter Boomgard, peneliti sejarah Asia Tenggara khususnya Indonesia dari Universitas Amsterdam, Belanda.

 

Dua Babak

Upacara rampogan macan terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah perkelahian antara harimau dengan kerbau (Bubalus bubalis) dan banteng (Bos sundaicus). Bagian kedua adalah pertarungan antara harimau dengan ribuan manusia bersenjatakan tombak. Pada perkembangannya, saat upacara ini mulai menyebar ke beberapa daerah, prosesi bagian pertama ini dibuang.

Wessing pun mengumpulkan keterangan dari berbagai sumber berlandaskan tradisi rampogan macan yang diselenggarakan di keraton kasunanan Surakarta. Ada kemungkinan pelaksanaan di Surakarta punya kemiripan dengan yang digelar oleh keraton kasultanan Yogyakarta.

Disebutkan bahwa sebelum acara berlangsung, ditengah-tengah alun-alun telah disiapkan kerangkeng yang terbuat dari kayu yang diikat memakai bambu. Kerangkeng berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 3 m hingga 5 m. Sementara tingginya sekitar 5 meter dengan sebagian memiliki atap. Di dalamnya terdapat kerbau yang sudah dihias. Ada untaian bunga yang dikalungkan di tanduk dan leher kerbau.

baca juga : Ekspedisi Harimau Jawa, Pencarian Tanpa Lelah Karnivora yang Dinyatakan Punah

 

Seekor harimau tutul yang dikeluarkan dari kandang kecilnya, dalam arena rampokan di sebuah tempat di Jawa. Foto diambil antara 1870-1892. Foto : Tropenmuseum/wikimedia commons

 

Harimau berada dikandang persegi empat yang lebih kecil yang diletakkan di sekeliling kandang besar. Atas perintah Susuhunan (Raja), harimau pun dipertemukan dengan sang kerbau.

“Saya menyaksikan sendiri, pada kesempatan pertama, kerbau berhasil mematahkan rusuk harimau di dalam kandang. Dia (harimau) pun mati. Namun kerbau tidak selalu beruntung,” tulis John Crawfurd, yang dikutip oleh Wessing. Crawfurd menuliskannya dalam History of the Indian Archipelago, 1967.

Untuk memancing kemarahan, harimau akan disundut memakai kayu yang terbakar dan disiram air panas. Sementara bagi kerbau di atas kulitnya ditebari cabai dan daun jelatang. Daun ini diketahui bisa membuat gatal dan iritasi.

Katanya, dalam 20 kali pertarungan, 19 kali diantaranya selalu dimenangkan kerbau. Jika kalah, maka kerbau akan ditarik keluar dan diganti. Dalam laporan lain, jika penampilan harimau dalam bertarung kurang bagus, juga akan diganti.

Prosesi kedua, yaitu rampog macan. Ini adalah pertarungan yang tidak seimbang antara harimau dan ribuan manusia bersenjata. Alun-alun telah dipenuhi sekitar dua ribu hingga tiga ribu orang bersenjatakan tombak, sebagian ujungnya diberi racun. Mereka berbaris dari tiga hingga empat lapis. Terdapat laporan sebagian di antara mereka adalah orang Belanda juga China. Barisan paling depan akan menghunus tombaknya menghadap ke depan. Sementara barisan paling belakang memposisikan tombaknya berdiri.

Beberapa orang menuju kandang dan melepas harimau setelah mendapat perintah Raja. Agar harimau mau keluar, mereka menakut-nakuti menggunakan alang-alang yang dibakar atau menyodoknya dengan bambu. Sementara itu gamelan dimainkan bertalu-talu yang membuat prosesi rampogan semakin dramatis. Harimau yang panik berusaha menyelamatkan diri dengan menerjang atau melompat. Namun tombak yang terhunus sudah menantinya dari berbagai arah.

Dalam artikelnya itu, Wessing menulis, ada kalanya harimau berhasil lolos dari kepungan. Terdapat catatan jika lolos, maka dia akan dibiarkan bebas.

perlu dibaca : Ijen dan Eksistensi Harimau Jawa yang Dinyatakan Punah

 

Rampokan macan di Kediri, Jawa Timur (1890-1925). Foto : Tropenmuseum/wikipedia

 

Simbol

Ada bukti bagaimana kedekatan harimau dan manusia sudah terjalin lama. Keduanya bahkan kerap berbagi ruang hidup layaknya bertetangga. Wessing menginterpretasikan hubungan harimau dengan manusia tidak sekadar tetangga. Lebih dari itu, harimau adalah saudara bahkan leluhur. Hal itu ditunjukkan dengan sebutan kepada harimau seperti nenek, datuk, atau guda (bahasa Sansekerta).

Harimau juga menjadi simbol kebangsawanan di mata orang Jawa, meski hal ini juga terus berubah. Dalam konteks tradisi rampogan, harimau dilambangkan sebagai anasir kejahatan yang harus singkirkan. Pelaksanaan rampogan yang dilakukan usai bulan ramadhan atau permulaan tahun baru Islam menunjukkan adanya tambahan dimensi keagamaan pada tradisi ini. Wessing mengutip Lizi Hope dalam Rampok Matjan (1958), bahwa harimau adalah hewan yang ditakuti dan dibenci. Meski demikian hanya dizinkan dibunuh pada saat lebaran Idul Fitri.

Ada masa saat rampogan macan juga melambangkan pertikaian antara orang Jawa melawan Belanda. Kerbau atau banteng melambangkan orang Jawa, sementara harimau melambangkan orang Belanda. Kerbau adalah hewan yang dekat dengan petani, pekerjaan yang banyak dilakukan orang Jawa pada masa itu. Sementara harimau dianggap intrusive atau pendatang, seperti orang Belanda. Mereka datang dari luar yang hendak menguasai Jawa.

Sebenarnya pertarungan menggunakan harimau bukan monopoli tradisi Jawa. Wessing menemukan di beberapa literatur perkelahian antara harimau dengan satwa lain juga terjadi di beberapa tempat di Asia Tenggara beberapa abad lalu. Misalnya yang terjadi di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Di Thailand dan Laos ada tradisi perkelahian antara harimau dan gajah. Juga di Vietnam dan Malaysia.

menarik dibaca : Wawancara Profesor Gono Semiadi: Harimau Jawa Sudah Punah Secara Ilmiah

 

Harimau Jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/H.Bartels

 

Punah

Dalam sebuah foto hitam putih yang menggambarkan tradisi rampogan macan, terlihat ada sembilan kandang harimau dan seekor harimau Jawa yang disebut macan loreng berjalan gontai di tengah alun-alun. Sementara di foto lain memperlihat seekor harimau Jawa dan enam macan tutul mati. Foto-foto tersebut bisa bercerita berapa banyak harimau yang dikorbankan dalam tradisi rampogan.

Tradisi rampogan macan tidak lagi hanya dilakukan di keraton kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta. Namun menyebar ke beberapa wilayah seperti Semarang, Kediri, Blitar. Beberapa penelitian mengkonfirmasi hal itu. Pelaksanaannya pun tak lagi dilakukan setahun sekali. Sebagai hiburan, tradisi ini tak jarang disuguhkan untuk menyambut tamu.

Namun bagaimana harimau Jawa punah, sangat mungkin terjadi karena banyak faktor. Pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan secara besar-besaran pada masa kolonial Belanda merupakan salah satu penyebabnya.

Wessing dalam artikel lain berjudul The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change, 1995, menyebut pembukaan hutan untuk perkebunan pada pertengahan abad 19 melahirkan perpindahan penduduk dan dampak ekologi. Penggunaan senjata untuk membunuh harimau dan mangsanya semakin mempercepat hilangnya harimau dari hutan Jawa yang tersisa. Laporan harimau yang memangsa ternak bahkan sampai membunuh manusia juga meningkat.

Pada 1822 pemerintah kolonial terpaksa mempekerjakan orang-orang untuk memburu harimau. Pada kurun 1940-an diperkirakan harimau Jawa tinggal 200 hingga 300 ekor. Namun beberapa dekade selanjutnya harimau Jawa seolah bersembunyi entah di mana.

Harimau Jawa dinyatakan punah oleh International Union for Conservation Nature (IUCN) pada 2003, menyusul harimau Bali (Panthera tigris balica) yang sudah dinyatakan punah lebih dulu. Harimau Jawa merupakan satu dari sembilan subspesies harimau yang ada di dunia. Bersama harimau Bali dan Sumatera, harimau Jawa merupakan 3 subspesies harimau asli Indonesia.

Foto terakhir dari harimau Jawa yang diterima sebagai bukti bahwa satwa ini telah punah berasal dari Andreas Hoogerwerf pada 1938. Foto hitam putih itu memperlihatkan harimau Jawa yang tengah berjalan di habitatnya di Ujung Kulon.

baca juga : Didik Raharyono: Harimau Jawa, Punah yang Masih Terus Terbunuh?

 

Harimau jawa yang terpantau di Ujung Kulon tahun 1938. Sumber: Wikimedia Commons/Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977)/Public domain

 

Sementara itu, penemuan bukti keberadaan harimau Jawa secara resmi dilaporkan pada 1980 oleh John Seidenstiker dan Suyono dari penelitian mereka di Taman Nasional Meru Betiri, yang masuk wilayah Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur. Penelitian dilakukan pada Juni hingga September 1976. Sayangnya tak ada bukti foto yang bisa dilampirkan.

Dalam laporan berjudul The Javan Tiger and The Meru Betiri Reserve itu mereka berpendapat di Meru Betiri harimau Jawa berjumlah 3 dan tak lebih dari 5 individu. Mereka menyimpulkan keberadaan harimau Jawa antara lain dari jejak dan kotoran yang ditinggalkan.

Berdasarkan analisa kotoran, diketahui sebelumnya mereka makan landak, kera ekor panjang, monyet, burung, dan tupai. Hasil ini memperlihatkan bahwa mereka makan hewan kecil dan merupakan situasi yang tidak ideal bagi keberlangsungan sang predator ini.

Laporan itu juga menyebut, meski diperkirakan terdapat individu betina dan jantan yang bisa diidentifikasi dari jejak, namun belum ada laporan penambahan individu baru sejak seekor harimau Jawa betina dewasa ditembak mati pada 1971 di Sukamade, Banyuwangi.***

 

Exit mobile version