Mongabay.co.id

Upaya Para Pemuda Batu Lanteh Jaga Kantong Air Sumbawa Tetap Lestari

 

 

 

 

Hasanuddin memeriksa bibit alpukat dalam wadah polybag di depan halaman rumah di Dusun Semparu, Desa Batu Dulang, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa,  Nusa Tenggara Barat, 17 Juli lalu. Di halaman seluas dua meter itu berderet bibit alpukat sambung.

Bibit alpukat berbagi ruang dengan tiang jemuran. Rumah-rumah warga berbaris mengikuti kontur lahan miring di atas bukit ketinggian 750 mdpl itu. Bibit sehat segera dia pindah ke ladang-ladang.

“Dulu,  pernah saya tanam 500 bibit, sebagian besar rusak,’’ kata pria 33 tahun ini. Hasanuddin adalah Ketua Kelompok Tani Lestari Harapan.

Kini, dia pun berupaya memilih bibit-bibit siap tanam baru pindah ke ladang.

Dia berupaya meyakinkan petani kalau bibit alpukat itu sehat dan bisa tumbuh subur. Tak perlu perawatan ribet. Kegagalan tanam,  katanya, bisa menurunkan kepercayaan petani.

Hasanuddin khawatir kalau awal gagal, petani kapok menanam alpukat. Pilihan membersihkan lahan, kemudian berganti dengan ladang jagung menjadi kekhawatiran Hasanuddin.

Desa Batu Dulang bagian dari desa-desa yang berada di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batu Lanteh. Luas KPH Batu Lanteh 32.776 hektar mencakup empat kecamatan, yakni Batulanteh, Moyo Hulu, Moyo Hilir dan Moyo Utara. Luasan itu terbagi atas hutan lindung (14.303 hektar), hutan produksi (14.842) dan hutan produksi terbatas (3.631 hektar).

Desa Batu Dulang, dikenal sebagai penghasil kopi dan kemiri. Desa ini juga jadi ekowisata, penghasil madu, rempah, dan berbagai produk perkebunan. Salah satu fungsi penting Batu Dulang sebagai resapan air.

 

Bukit di Batu Dulang, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa yang dulu lebat oleh tanaman kebun perlahan jadi ladang jagung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Di bawah Desa Batu Dulang ada TWA Semongkat yang jadi sumber air bersih untuk daerah perkotaan Sumbawa. Hasanuddin sadar dengan posisi strategis desanya.

Kalau kondisi lingkungan Desa Batu Dulang rusak, sumber air bersih akan terganggu. Iklim mikro bisa terganggu.

“Lihat kemiringan bukit-bukit di sini, ini rawan longsor. Kalau habis pohon penyangga, mudah sekali jatuh,’’ katanya menunjukkan bukit yang terlihat baru dibersihkan.

“Kami akan tanam alpukat di sana.’’

Batu Dulang dikenal sebagai penghasil kopi dan kemiri. Kopi perlu tanaman peneduh. Dulu,  warga menanam dadap sebagai tanaman peneduh. Lama kelamaan pohon dadap dianggap tak produktif. Warga menebang dadap,  membiarkan kopi tanpa pelindung.

Satu sisi, usia tanaman kopi petani di Batu Dulang sudah cukup tua, 20 tahun lebih, bahkan usia 50 tahun. Pohon tinggi menjulang sampai tujuh meter.

Ketika musim panen, petani harus memanjat atau menarik dahan. Dulu, ketika masih sangat produktif, kopi di kebun keluarga Hasanuddin mencapai 5-6 ton. Sejak 2014, dia merasakan hasil berkurang. Sekarang maksimal tiga ton. Kondisi sama dirasakan juga petani lain.

Karena kopi dirasakan mulai kurang produktif, petani mulai menebang kopi. Menanam tanaman semusim, seperti rempah-rempah. Seiring kebutuhan jagung tinggi sejak 2014, petani mulai menanam jagung.

Tanaman jagung lebih cepat panen dan hasil penjualan lebih besar dibandingkan kopi. Petani mulai tergoda, kopi mulai berganti jagung. Saat itulah Hasanuddin mulai resah ketika makin banyak petani mengganti tanaman di kebun dengan jagung.

“Harus kita kasi alternatif tanaman yang menguntungkan. Maka alpukat ini pilihan, sambil menjaga lahan agar tidak kering,’’ katanya.

Untuk satu kebun kopi, Hasanuddin contohkan dengan menanam alpukat, rempah-rempah seperti lengkuas, kunyit, dan jahe. Dengan sistem seperti ini, katanya, kebun bisa menghasilkan setiap tahun.

Di Batu Dulang, panen kopi berkisar bulan Juni–Agustus. Saat panen kopi, alpukat sedang berbunga. Setelah panen kopi akan lanjut panen alpukat. Untuk tanaman rempah bisa disesuaikan musim tanamnya.

 

Heri Fitrawansyah, petani muda di Desa Batu Dulang mengecek lengkuas di kebunnya. Rempah-rempah menjadi tanaman sela di antara kopi dan tanaman buah. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Dengan model penganekaragaman jenis tanaman di dalam satu kebun kopi ini, petani mendapatkan hasil lebih besar. Beda kasus kalau tanaman peneduh hanya mengandalkan dadap atau tanaman non buah.

“Sekarang, alhamdulillah,  banyak permintaan bibit alpukat,’’ katanya.

Masalah lain yang dihadapi petani ketika panen alpukat adalah harga rendah. Di tingkat petani, satu kg alpukat dibeli oleh pengepul Rp10.000. Hasanuddin survei ke pasar, harga Rp 35.000.

Bersama kelompoknya, dia merancang agar alpukat bisa dibeli koperasi. Mereka juga melatih petani cara panen yang tepat. Bisa memilah alpukat kelas premium dan yang dijual di pasar tradisional.

Dia meyakinkan petani dengan lebih tekun merawat, saat panen, dan memilah hasil penjualan alpukat petani bisa lebih besar.

“Kerja sama dengan hotel, petani belum paham standar. Jadi itu yang kami latih juga,’’ katanya.

 

Hasanuddin menunjukkan pohon alpukat yang menjadi tanaman peneduh kebun kopi. Selain jadi peneduh, hasil alpukat menjadi tambahan penghasilan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ekowisata buah

Hasanuddin dan Kelompok Tani Lestari Harapan belajar membibitkan alpukat secara otodidak. Mereka membaca di internet, menonton YouTube. Mereka menanam, menyambung, mencari formula pupuk yang tepat. Beberapa kali mencoba gagal, berhasil setelah mencoba belasan kali.

Dia sadar merintis pembibitan alpukat ini bukan pekerjaan mudah. Setiap ada pelatihan, penyuluhan, maupun kegiatan terkait tanaman buah Hasanuddin ikut. Kelompok juga bermitra dengan KPH.

Sebagai daerah yang berhawa sejuk, dia membayangkan Batu Dulang bisa menjadi ekowisata buah. Saat ini, katanya,  memang sudah dipromosikan sebagai ekowisata kopi. Pengunjung bisa melihat kebun kopi, ikut saat panen, dan terlibat langsung saat pengolahan. Waktunya hanya berkisar Juni–Agustus.

Potensi ekowisata buah, kata Hasanuddin, menjadi potensi besar ke depannya. Tanaman alpukat yang mulai banyak di kebun warga ke depannya bisa bertambah dengan pohon buah-buahan lainnya. Durian, nangka, kelengkeng, duku, mangga, jeruk, apel, bisa ditanam di kebun. Bukan semata menjadi tanaman peneduh kopi, tapi menjadi kebun khusus buah-buahan.

Selain kebun buah, Batu Dulang bisa jadi sentra bibit buah di Kabupaten Sumbawa. Bahkan bisa menjadi sentra bibit buah untuk Pulau Sumbawa. Selama ini, katanya,  bibit buah-buahan didatangkan dari Lombok bahkan Jawa.

“Bukan hanya untuk petani, juga seluruh masyarakat. Kalau Batu Dulang tetap terjaga, sumber air bersih akan tetap ada.”

 

Perempuan mengupas kemiri di Dusun Punik, Desa Batu Dulang, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa. Kemiri menjadi tanaman peneduh untuk kebun kopi. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Selain sentra buah-buahan, Batu Dulang juga bisa jadi sentra rempah seperti jahe, lengkuas, kunyit mulai banyak ditanam di kebun warga. Hasilnya tidak sebesar kopi tetapi bisa menambah penghasilan.

Apalagi,  ini hanya menjadi tanaman sela di kebun.

“Rata-rata sekarang sudah mulai banyak yang tanam rempah,’’ kata Heri Fitrawansyah, anggota Kelompok Tani Rokam Bangkit.

Kebun keluarga Heri sebagian besar tanam kopi. Mertuanya pendiri Rokam Bangkit. Dia meneruskan usaha mengolah kopi.

Heri melihat kopi mulai kurang produktif. Bukan semata karena kesuburan tanah, juga usia pohon tua. Dia menunjukkan contoh beberapa tanaman kopi tua tinggi sampai tujuh meter dengan kopi teknik sambung, hanya 1.5–2 meter. Pohon lebih rendah, buah lebih lebat. Selain itu,  dengan tanaman kopi pendek, tidak akan bersaing dengan tanaman peneduh seperti alpukat.

“Kalau tanaman kopi lama, sama tingginya dengan tanaman peneduhnya.”

 

Hasanuddin menunjukkan pohon kopi berbuah lebat di Dusun Punik, Desa Batu Dulang. Kopi ini dibudidayakan dengan teknik sambung dengan pohon alpukat sebagai peneduh. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version