Mongabay.co.id

Warga Desa Mukti Sari Manfaatkan Tinja Sapi jadi Sumber Energi

 

 

 

 

Suranti menyajikan ubi goreng saat menyambut kedatangan awak media di rumahnya, Juli lalu. Ubi goreng seperti biasa, bedanya, energi memasaknya gunakan kompor gas dua tungku dengan sumber api dari kotoran sapi. Energi terbarukan itu tercipta berkat kegigihan suaminya, Sudarman, satu tahun belakangan.

Sekitar 100 meter di belakang rumah sepasang suami istri ini di Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau, ada kandang dengan Sembilan sapi—dua punya Kelompok Bhina Mukti Sari yang dipimpin Sudarman. Di sebelahnya, terpasang beberapa instalasi dan terhubung satu sama lain.

“Motivasi kami, beternak sapi itu bukan hanya hasilkan kotoran. Harus diubah jadi biogas,” kata Sudarman, beberapa waktu lalu.

Dia mulanya petani sawit. Ketika dapat kesempatan mengikuti sekolah pertanian yang ditaja Pemerintah Kampar, dia memilih fokus belajar ilmu peternakan sapi.

Pulang sekolah, dia langsung beli dua sapi. Lama kelamaan beranak pinak menjadi 17. Kini, jadi sumber ekonomi baru menopang rumah tangganya.

Saban hari—kalau tidak kelelahan setelah pekerjaan utama sebagai petani—Sudarman, menimba 70-80 kilogram kotoran sapi dari kandang lalu memasukkan ke dalam inlet.  Ia semacam wadah untuk mengaduk tinja sapi dengan tangkai besi putar di tengahnya. Kotoran sapi dicampur air dengan takaran satu banding satu. Kalau 80 kilogram kotoran sapi, perlu 80 liter air.

Lama pengadukan sekitar lima menit. Makin lembut bentuk kotoran, proses fermentasi makin bagus. Kalau masih banyak gumpalan, gas metan yang dihasilkan akan sedikit berkurang.

Setelah kotoran sapi jadi seperti bubur, selanjutnya dialirkan melalui lubang kecil bawah inlet ke biodigester. Ini, sumur kedalaman dua meter dengan keliling sekitar tiga meter. Bisa menampung delapan kubik kotoran sapi. Dalam ruang tanah itu berlangsung pembusukan tanpa udara, tujuh sampai 15 hari, guna menghasilkan gas metan.

 

Suramti tidak pernah beli LPG lagi setelah suaminya mengolah kotoran sapi jadi biogas. Kini, tabung gas hanya jadi cadangan bahkan dipinjamkan ke tetangga. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Irpan, Supervisor Yayasan Rumah Energi (YRE), mengatakan, kondisi cuaca cukup berperan dan menentukan rentang waktu peragian kotoran sapi menghasilkan biogas.

Kalau suhu terlalu dingin, proses bisa lebih lama dibanding suhu rata-rata di atas 23 derajat. Bahkan,  ketika musim hujan bisa sampai satu bulan. Satu contoh, pengalaman mereka di Pengalengan, Bandung, Jawa Barat, dengan suhu di bawah 18 derajat.

Berdasarkan hasil selama ini, pasokan 80 kilogram kotoran sapi yang diaduk dengan 80 liter air, dapat menghasilkan nol koma sekian gas metan. Atau, delapan kubik kotoran sapi yang difermentasi dalam biodigester mampu memproduksi 2,4 kubik gas metan.

Inlet dan biodigester berjarak sekitar satu meter, terhubung dengan pipa empat inci dalam tanah kemiringan 60 derajat. Di atas biodigester dibangun kubah kecil untuk mengontrol aliran gas yang dilengkapi keran buka tutup dan pipa utama.

Dari sinilah gas metan dialirkan ke kompor Suramti, menggunakan instalasi pemipaan setengah inci yang juga tertanam lebih 15 centimeter dalam tanah.

Meski keran pipa gas ditutup, tak perlu khawati. Sebab ada saluran pembuangan gas sebagai titik pengaman berupa kotak kecil 60 centimeter.

Menurut Irpan, pembiasaan buka dan tutup keran pipa gas, salah satu cara antisipasi perawatan instalasi supaya lebih awet. Kalau keran dibuka, tekanan gas dalam instalasi otomatis kencang, jika ditutup tekanan berkurang.

“Lebih bagus keran ditutup setelah selesai masak. Rata-rata masyarakat dibuka terus. Karena di rumah ada manometer untuk kontrol kondisi gas,” kata Irpan yang mendampingi pembangunan dan perawatan reaktor biogas di Mukti Sari.

Dia tak merekomendasikan gas metan dari fermentasi kotoran sapi diisi ke tabung, seperti kemasan LPG yang diproduksi pemerintah. Sebab gas metan sangat cepat menimbulkan keropos pada logam dan khawatir dengan tekanan tinggi bocor dan bisa meledak.

 

Sudarman mengisi jeriken dengan pupuk cair hasil olahan kotoran sapi setelah jadi biogas. Pupuk ini sudah menyuburkan tanaman sawit, cabai hingga kebun pepaya. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Memasak, penerangan dan pupuk

Tiap hari, tanpa kekurangan pasokan gas, Suramti dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dia pun bisa menghemat dan meringankan pengeluaran bulanan. Kalau harga LPG 3 kilogram Rp25.000 per tabung, bisa hemat Rp75.000 per bulan.

“Biasa beli gas melon (LPG 3 kilogram), jadi gak beli. Malahan tabung gas dipinjamkan ke tetangga. Biasa masak dirit-irit, sekarang tidak. Gak ada beda kualitas biogas dengan LPG. Apinya sama-sama cantik. Biru. Malahan biogas dayanya tidak terlalu tinggi. Memasak gak ada habisnya. Yang penting di sana (reaktor) diisi,” kata Suramti.

Bahkan, katanya, satu tabung LPG terkadang tak habis dia pakai. “Hanya buat cadangan dan jaga-jaga kalau ada kerusakan instalasi biogas,” sambung Sudarman.

Pada dinding dekat kompor Suramti memasak, sehari-hari, dipasang dua alat kontrol. Pertama, water drain, untuk menampung embun air yang mengalir pada instalasi biogas. Pemasangan pada titik terendah antara pipa gas utama dan kompor.

Kedua, manometer, berupa selang bening berisi air warna, sebagai indikator ada atau tidaknya tekanan gas pada instalasi pipa dan biodigester. Juga untuk mendeteksi kebocoran.

Ukuran biodigester yang mampu menampung delapan kubik kotoran sapi hasil olahan, sebenarnya dapat memasok untuk keperluan dua rumah tangga. Hanya saja, saat ini, Sudarman dan Suramti masih memungsikan untuk di rumah sendiri alias belum ke tetangga. Dia bilang, masih ada warga belum percaya.

Pada dinding dapur Sudarman, juga menempel dua pipa saluran biogas. Selain terhubung ke kompor, satu pipa lagi buat menyalurkan gas ke lampu petromax yang menggantung di teras rumah. Lampu ini jadi andalan ketika terjadi pemadaman listrik di Desa Mukti Sari.

Kala rumah warga gelap, kediaman Sudarman tetap terang.

Sudarman, belum sepenuhnya pakai lampu petromax dari biogas. Dia baru memanfaatkan kala situasi darurat. Menurut Irpan, uji coba pada satu tempat, selama satu bulan, penggunaan petromax biogas dari magrib sampai subuh, berhasil menghemat 15% biaya pemakaian listrik. Bahkan,  meski tetap menggunakan kompor untuk memasak, tiap hari, tidak pernah kekurangan pasokan biogas. Dengan catatan rutin pengisian kotoran sapi dalam inlet.

Tinja tak hanya jadi biogas. Ampas tinja sapi untuk pupuk cair. Ini turunan dari hasil fermentasi kotoran dalam biodigester yang kadar metan sudah berkurang.

Pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk masih satu kesatuan dengan proses fermentasi tinja menjadi biogas, pakai satu instalasi. Gas metan yang terkumpul dalam biodigester otomatis akan menekan kotoran sapi—terutama kalau keran pipa gas ditutup—keluar dan disalurkan ke outlet, bak penampungan ampas kotoran sapi. Di ujung outlet ada lubang atau overflow menuju slurry pit. Ini bagian akhir instalasi pengolahan kotoran sapi yang menampung ampas untuk dijadikan pupuk.

 

Kubah di atas biodigester. Di sini gas metan ditampung dan dialirkan ke rumah untuk memasak dan penerangan lewat instalasi pemipaan dalam tanah. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pupuk cair hasil olahan kotoran sapi milik Sudarman praktis jadi ‘gizi’ bagi tanaman warga Mukti Sari juga sumber ekonomi baru.

Dia menjual pupuk cair Rp1.000 untuk satu  jeriken ukuran lima liter. Pembeli menimba pupuk itu dari slurry pit. Pupuk organik ini telah difungsikan pada tanaman sawit, sayuran, cabai dan pepaya.

“Dapat tambahan penghasilan dari penjualan pupuk. Sebulan bisa 1.000 liter. Cukup beli beras. Satu tahun ini, juga tidak pernah beli pupuk kimia. Lumayan menghemat pengeluaran.”  Duit pun bisa dialokasikan untuk biaya kuliah anak dan beli minyak kendaraan buat nyari rumput pakan sapi.

Sudarman berharap, masyarakat di desanya beralih ke energi ini. Dia masih meyakinkan tetangganya bahwa kotoran sapi tidak melulu jorok. Saat ini, baru anggota Kelompok Bhina Mukti Sari, terutama yang berternak sapi, punya instalasi biogas untuk menyuplai energi di rumah masing-masing.

 

 

Energi berdikari

Kemandirian energi Sudarman bagian dari program tanggung jawab sosial dan lingkungan Pertamina Hulu Rokan (PHR). PHR telah membangun delapan reaktor biogas di Mukti Sari hingga jadi Desa Energi Berdikari.

“Sebelumnya sudah intervensi desa ini untuk program budidaya sapi kelompok setempat. Berdasarkan kajian internal, memang harus ada suplai reaktor biogas yang bisa disumbangkan secara berkesinambungan,” kata Delly Paramita, Senior Analyst CSR PHR, beberapa waktu lalu.

Hasil penghitungan PHR bekerjasama dengan Yayasan Rumah Energi (YRE), sementara ini, setidaknya dari delapan reaktor biogas terpasang, mampu mengelola 20 ton CO2 ekuivalen gas metan untuk kebutuhan masak sehari-hari para penerima manfaat.

Mukti Sari, berdekatan dengan fasilitas utama PHR. Bisa dikatakan ring satu operasi Pertamina. Sebab itu, akhir tahun ini, PHR akan menambah 12 reaktor biogas lagi, sebagai program unggulan Pertamina Grup mendorong kemandirian energi daerah operasi mereka.

Waryono, Kepala Desa Mukti Sari, mendukung program pengembangan biogas ini.

“Sekarang, ibu-ibu rumah tangga pelaku UMKM di Mukti Sari, bergairah dengan biogas sendiri.”

 

Sudarman mengaduk kotoran sapi yang telah dicampur air dalam inlet. Takaran kotoran sapi dan air, satu banding satu. Alias 80 kg kotoran ditambah 80 liter air. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version