Mongabay.co.id

B35 Sawit, Rawan Picu Kompetisi Pangan vs Energi

 

 

 

 

 

 

Pemerintah memberlakukan program bauran bahan bakar minyak dengan 35% dari biodiesel sawit (B35) secara penuh awal Agustus lalu. Koalisi Transisi Bersih khwatir, program itu akan memicu kompetisi antara pemenuhan pangan dan energi ke depan.

Koalisi Transisi Bersih adalah gabungan lembaga non pemerintah yang beranggotakan Sawit Watch, Satya Bumi, Green Peace Indonesia, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi menilai, program B35 dapat memicu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Dalam jangka panjang, katanya, program biodiesel ini diperkirakan menyerap pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) lebih banyak ketimbang kebutuhan industri pangan.

“Jika dihadapkan pada pilihan antara pangan dan energi, setok akan condong untuk kebutuhan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih, dalam hal biodiesel. Maka catatan-catatan soal alternatif sumber, isi dan lain sebagainya menjadi penting,” katanya kepada Mongabay.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI), pada 2022, konsumsi CPO dalam negeri 20.968 juta ton. Dari besaran itu, 9.941 juta ton untuk pangan, 2.185 juta ton oleokimia (bahan kimia dari lemak dan minyak) dan 8.842 juta ton untuk biodiesel.

Meski penggunaan CPO untuk pangan masih tertinggi, namun tren kebutuhan CPO untuk biodiesel diperkirakan terus meningkat signifikan.

Andi menyebut, insentif pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS), menjadi faktor pendorong pengusaha lebih tertarik memasok CPO untuk biodiesel.

“Sejak program biodiesel wajib pada 2015, insentif yang dikucurkan pemerintah mencapai Rp109,96 triliun sampai 2021,” katanya.

 

Pembukaan hutan di Rawa Singkil untuk dijadikan kebun sawit. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, kompetisi antara kebutuhan pemenuhan pangan dan energi menjadi makin rentan karena belum ada peraturan jelas.  Ketika harga CPO naik, pengusaha akan mencari peluang yang lebih menguntungkan, yakni, investasi di sektor energi.

“(Investasi energi) lebih untung, dapat subsidi lagi, jadi tidak akan rugi. Kalau industri pangan diserahkan pada pasar, kecuali minyak kita.”

Karena itu, dia mendesak ada aturan jelas, transparan dan akuntabel terkait skema ekspor maupun pemenuhan kebutuhan pangan dan energi dalam negeri. Catatannya, pengaturan ini harus memperhatikan keberlanjutan hutan, dan melibatkan petani sebagai pelaku utama.

Iqbal Damanik, pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia menilai, selain mengancam ketahanan pangan, program B35 khawatir memicu deforestasi lebih luas di Indonesia. Makin tinggi kebutuhan CPO biodiesel, lahan yang diperlukan akan makin besar.

Dia mengutip laporan berjudul “Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” yang dalam simulasinya menyebut, B20 berkontribusi defisit lahan 338 hektar, B30 sebesar 5,25 juta hektar dari (akumluasi tahunan hingga 2025.  Sedangkan B50 mencapai 9,29 juta hektar atau setara 70% luas lahan sawit yang tersedia pada 2019.

Bagi Iqbal, B35 bukan solusi mengatasi krisis iklim dan memenuhi bauran energi terbarukan. Kandungan minyak sawit dalam bahan bakar itu disebut berpotensi menambah luasan deforestasi di Indonesia, dan memiliki risiko tak selaras dengan upaya penurunan emisi.

“Kalau pakai B35, masih berbasis sawit, itu butuh lahan besar. Makin tinggi ketergantungan biodiesel, makin butuh lahan baru.”

Paulus Tjakrawan, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) pernah membantah penilaian itu ketika menjadi pembicara dalam workshop Pangan vs Energi yang diselenggarakan Mongabay dan Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

HUtan gambut di Riau, yang dibuka perusahaan untuk bikin kebun sawit. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, pengembangan program B50 memerlukan 13,29 juta ton minyak sawit. Rata-rata kebun sawit menghasilkan 3,25 juta ton per hektar pertahun. Secara keseluruhan,  B50 perlu lahan 4,28 juta hektar.

“Dari B30 ke B50 diperlukan tambahan biodiesel 5,9 juta ton dan membutuhkan 1,6 juta hektar,” terang Paulus di penghujung 2021. “Namun saat ini tidak bisa dan tidak perlu menambah lahan, karena program intensifikasi dan dapat mengurangi ekspor.”

Pada sektor pangan, dia contohkan, tahun 2020,  Indonesia produksi 51,584 juta ton minyak sawit. Di level domestik, pemanfaatan hanya 17,349 juta ton atau 34% dari produksi, dengan konsumsi pangan 8,428 juta ton dan biodiesel 7,226 juta ton. Untuk ekspor 34,007 juta ton atau 66%.

“Kalau kita mau ke B40, B50, bisa enggak? Bisa. Perlu tambahan lahan enggak? Tidak perlu, karena kita bisa ambil dari sini (ekspor). Kalau terpaksa, kita akan mengurangi. Karena ini harus dahulukan keperluan (pangan dan energi) dalam negeri,” katanya.

Program mandatori B35 telah ditetapkan sejak 1 Februari 2023 dengan alokasi 13,15 juta kiloliter. Hingga 6 Juli 2023, realisasi penyaluran B35 berbasis minyak sawit mencapai 5,6 juta kiloliter.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut penyaluran B35 dapat menghemat belanja negara hingga Rp161 triliun, dan menyerap 1,65 juta tenaga kerja. Juga, mengurangi emisi gas rumah kaca sektor transportasi 34,9 juta ton CO2e, serta mendorong ketahanan energi nasional melalui energi hijau.

*********

Exit mobile version