Mongabay.co.id

Perubahan Iklim Memukul Nelayan Rajungan Lampung Timur

 

Sejak setahun terakhir, nelayan rajungan di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, harus melaut lebih jauh. Sebelumnya hanya sejam, sekarang nelayan harus melaut selama empat jam dari bibir pantai. Terjadi fenomena perubahan iklim, titik tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) semakin jauh dan populasi rajungan semakin menyusut.

Ketua Forum Nelayan Rajungan Provinsi Lampung Miswan menjelaskan nelayan rajungan menggunakan perahu bermesin dengan bobot kurang dari tiga Gross Ton (GT). Setiap kapal berawak tiga sampai empat nelayan. “Berangkat jam 12 siang, lego jangkar. Kita pasang jaring dan setelah subuh jaring diangkat,” katanya saat dihubungi Mongabay Indonesia, awal Agustus.

Hasil tangkapan terus menyusut, kini sekali melaut dapat 3-5 kilogram. Musim rajungan berlangsung empat sampai lima bulan mulai Desember sampai Mei. Sedangkan saat puncak panen berlangsung sebulan, hasil tangkapan berkisar 15-30 kilogram. “Harga rajungan tidak bagus Rp45 ribu, dulu bisa sampai Rp100 ribu lebih,” katanya.

Padahal lima tahun lalu, nelayan bisa dapat 50-70 kilogram sekali melaut. Bahkan, jika puncak panen mendapatkan hingga 100 kilogram. Sedangkan harga rajungan pernah anjlok sampai Rp22 ribu. Nelayan tak kuasa menentukan harga, harga dikendalikan tengkulak yang memasok ke pabrik pengalengan rajungan yang mengekspor ke Amerika. Alasan tengkulak, harga anjlok lantaran ekspor rajungan menurun.

Jarak melaut semakin jauh, sehingga biaya produksi membengkak. Untuk sekali melaut dibutuhkan BBM jenis solar sampai 30 liter. Sedangkan sebelumnya, sekali melaut hanya membutuhkan 10 liter solar. Antara biaya produksi dengan hasil tangkapan dan harga rajungan tak sepadan.

Selain itu, nelayan juga terdampak abrasi, banjir rob, cuaca buruk, angin kencang, ombak besar. Terjadi cuaca ekstrem, cuaca tidak menentu dan musim tangkap semakin pendek. Musim rajungan bergeser, biasa pada bulan November sampai Mei. Ia mendapat pemberitahuan BMKG yang menyebutkan cuaca ekstrem terjadi karena El Nino.

baca : Dampak Perubahan Cuaca, Pendapatan Nelayan Rajungan Menurun

 

Dampak perubahan iklim, nelayan Lampung Timur harus melaut lebih jauh ditempuh selama empat jam dari bibir pantai. Foto: Forum Komunikasi Nelayan Rajungan

 

Nelayan Terancam

Sebanyak 2000-an nelayan mengalami dampak perubahan iklim. Pada dua bulan terakhir, terjadi lima perahu nelayan tenggelam. Sebanyak empat nyawa nelayan melayang. Kondisi ini mengerikan dan ditakuti nelayan. Miswan melaut bersama orang tuanya, sejak berusia 15 tahun. Ia turut membantu dan mewarisi keterampilan sebagai nelayan secara turun menurun.

Miswan menyebutkan menurunnya tangkapan, menyebabkan banyak nelayan yang terjebak utang ke tengkulak. Bahkan, Miswan juga harus kehilangan kapalnya karena terlilit utang. “Pinjam ke tengkulak untuk beli alat tangkap 10 tahun lalu sebesar Rp1,5 juta. Sekarang utangnya membengkak menjadi Rp15 juta. Kapal dijual laku Rp25 juta. Rp10 juta untuk modal, mengelas dan mekanik mesin,” katanya.

Sehingga Miswan terpaksa nebeng kapal nelayan lain. Miswan hanya melaut jika musim panen rajungan. Sedangkan saat paceklik, ia bekerja mengelas dan menjadi mekanik mesin. Untuk menanggulangi utang di tengkulak didampingi Mitra Bentala, nelayan berserikat dengan mendirikan kelompok usaha produktif (KUP) dan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). KUP bisa meminjamkan modal, terutama untuk renovasi kapal atau alat tangkap.

“Belum ada pinjaman dari perbankan. Pemerintah memberi bantuan alat tangkap dan mesin bagi kelompok nelayan,” katanya.

Selain itu, para nelayan kecil rajungan sering berebut lokasi penangkapan dengan menggunakan berbagai alat tangkap. Sedangkan nelayan besar menggunakan alat tangkap aktif seperti cantrang. Sehingga, sering terjadi gesekan antara nelayan dengan kapal besar. Sedangkan, penegakan hukum kurang. Miswan menyebutkan jika di lapangan terjadi ilegal fishing dan menimbulkan konflik.

baca juga : Harga Rajungan Murah, Nelayan di Demak Resah

 

Ketua Forum Komunikasi Nelayan Rajungan Lampung Miswan menunjukkan rajungan hasil tangkapannya. Dampak perubahan iklim, nelayan Lampung Timur harus melaut lebih jauh ditempuh selama empat jam dari bibir pantai. Foto: Forum Komunikasi Nelayan Rajungan

 

Direktur Mitra Bentala Rizani Ahmad menjelaskan masyarakat di pesisir Lampung yang menjadi lumbung perikanan mulai terdampak perubahan iklim. “Perubahan iklim memperngaruhi kehidupan masyarakat pesisir. Naik satu derajat saja berpengaruh terhadap wilayah,” ujarnya dalam diskusi bertema “Membangun Cerita Iklim dan HAM dalam Platform Media Baru” yang diselenggarakan American Bar Association (ABA) Rule of Law Initiative (ROLI)

Mitra Bentala mendorong paktik pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Rizani menyebut terjadi tumpang tindih pengelolaan pesisir dengan kepentingan bisnis, ekonomi, dan banyak kepentingan untuk memanfaatkannya. Sedangkan wilayah barat Lampung, kondisi alam dan ekosistem masih bagus menjadi wilayah yang perlu dilindungi.

“Bagaimana pemerintah membuat kebijakan perubahan iklim, harus dilakukan aksi,” ujarnya. Dampak perubahan iklim, katanya, terjadi cuaca ekstrem seperti arus kencang, gelombang besar dan banjir rob yang menerjang di wilayah pesisir. Sejumlah kawasan pesisir terancam tenggelam, terutama di pulau kecil. Selain itu, habitat dan spesies biota laut berkurang. “Ada beberapa jenis ikan di pantai timur Lampung hilang,” ujarnya.

Akibatnya nelayan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga karena biaya produksi dan alat tangkap semakin mahal. Sehingga dibutuhkan aturan dan kebijakan wilayah tangkap nelayan. Diterapkan zona perikanan berkelanjutan, ia berharap tidak ada kegiatan yang mengganggu ekosistem sehingga hasil tangkapan bisa meningkat. Mitra Bentala melakukan usaha pemberdayaan nelayan untuk melindungi terumbu karang, mangrove dan wilayah tangkap. “Masih ada harapan, mereka turut menjaga ekosistem,” katanya.

baca juga : Bentuk Forum Komunikasi, Ini Harapan Nelayan Rajungan kepada Pemerintah

 

Salah seorang nelayan di Lampung Timur menarik jaring dan memanen rajungan di lautan lepas. Nelayan rajungan terimbas dampak perubahan iklim, biaya produksi melonjak sedangkan hasil tangkapan tidak sepadan. Foto: Forum Komunikasi Nelayan Rajungan.

 

Belum Ada Payung Hukum

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin P Siagian menjelaskan dampak terubahan iklim terjadi di semua wilayah. Dampaknya semakin meluas, situasi yang dihadapi sudah rentan.

Dalam The Climate Change Performance Index (CCPI) 2022, Indonesia berada di ranking 26 kategori negara dengan posisi medium dalam perubahan iklim. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon hingga 2060. Sedangkan target penggunaan energi terbarukan pada 2025 sebesar 25 persen. Emisi gas rumah kaca, katanya, akibat perubahan tata ruang, terutama deforestasi.

Dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap kekurangan sumber daya, dampak kesehatan, konflik dan migrasi, kerugian ekonomi, akses air bersih. Sedangkan masyarakat adat mengalami dampak terbesar, lantaran mereka tergantung dengan hutan. Bahkan sebagian harus kehilangan tempat tinggal.

Untuk itu, Komnas HAM tengah menghadirkan eksosistem yang kondusif dengan upaya kajian, situasi atau ekosistem kondusif. Melalui program Inkuiri Nasional 2012-2017, Komnas HAM mendorong Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun, hingga kini Undang-Undang belum terealisasi. “Belakangan pemerintah memberi perhatian dengan mengakui hutan adat,” katanya.

baca juga : Mengenal Rajungan, Si Kepiting yang Pandai Berenang

 

Ketua Forum Komunikasi Nelayan Rajungan Lampung Miswan melempar perangkap penangkap rajungan. Dampak perubahan iklim, nelayan Lampung Timur harus melaut lebih jauh ditempuh selama empat jam dari bibir pantai. Foto: Forum Komunikasi Nelayan Rajungan

 

Komnas HAM menerima kedatangan Koalisi Korban Iklim yang melaporkan korban krisis iklim sebagai pelanggaran HAM pada 14 Juli 2022. Lima pengadu menyebutkan sebanyak 230 orang meninggal di Kupang akibat bencana hidrometeorologi.

“Komnas HAM kebingungan, menerapkan kerangka hukum tentang HAM dan perubahan iklim. Tafsir hukum terkait perubahan iklim dan HAM. Ada kekosongan hukum terkait korban perubahan iklim. Pengaduan tetap diterima,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version