Mongabay.co.id

Tidak Ada Ikan Segar Saat Cuaca Ekstrem Melanda Natuna

 

Sebagian besar bak tempat penjualan ikan di kawasan pasar Baru Ranai, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau kosong melompong, akhir Juli 2023 lalu. Hanya beberapa bak saja yang terisi ikan. Itupun hanya ikan rawai, tidak ada ikan tongkol, ikan kakap maupun ikan yang bernilai jual tinggi lainnya.

Setelah ikan dalam bak berkurang, beberapa pekerja mengeluarkan ikan beku, kemudian disusun dalam bak penjualan ikan. “Beginilah kalau cuaca buruk, ikan tidak ada, kita keluarkan ikan es,” kata Mustaqim, tokoh nelayan dan pengepul ikan yang ditemui di pasar ikan baru Ranai, Kabupaten Natuna, akhir Juli lalu.

Padahal, Kabupaten Natuna digadang-gadangkan akan menjadi daerah perikanan terbesar. Puluhan pelabuhan nelayan kecil ada di daerah ini, serta satu kawasan sentra perikanan skala besar. Selain itu sumber daya ikan di perairan Natuna juga menjadi rebutan kapal ikan lokal hingga kapal ikan asing. Lalu kenapa warga Natuna terpaksa membeli ikan yang sudah dibekukan?

baca : Kala Nelayan dan Petani Terdampak Perubahan Iklim

 

Seorang nelayan menunjukkan ikan beku yang siap dijual di Pasar Baru Ranai, Natuna, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dampak Cuaca Ekstrem

Mustaqim menjelaskan penyebab pasar Ranai Natuna dibanjiri ikan beku, bukan lagi ikan segar dari laut yang luas. “Ini karena cuaca ekstrem, nelayan tidak melaut sudah beberapa hari belakangan, karena sudah masuk musim selatan,” katanya.

Bagi nelayan Natuna musim di perairan Natuna terdapat empat fase. Masing-masing musim memiliki tantangan sendiri kepada nelayan. Mustaqim warga asli Natuna ini menjelaskan fase pertama yaitu musim angin utara dengan angin laut kencang sehingga nelayan tidak berani melaut jauh. Sedangkan ikan melimpah. Kondisi itulah yang dimanfaatkan kapal ikan asing di Natuna untuk menangkap ikan di laut Natuna

Selain banyak ikan, kapal asing bisa leluasa karena laut Natuna kosong oleh kapal ikan nelayan kecil. “Angin utara ini terjadi pada bulan November hingga Maret,” jelas Mustaqim.

Setelah itu pada bulan April siklus cuaca di Natuna masuk musim timur atau musim teduh. Pada musim ini laut memang teduh, ikan juga melimpah. “Pada momen ini nelayan bisa melaut jauh,” katanya.

Namun, sayangnya pada musim ikan melimpah dan cuaca teduh ini harga ikan anjlok karena stok ikan melimpah. Misalnya, satu kilo ikan tongkol putih itu dihargai Rp25 ribu, turun menjadi Rp14 ribu/kilogram.

Setelah musim teduh hingga bulan Juni, nelayan akan menghadapi musim Selatan pada bulan Juli hingga September. Musim inilah yang membuat pedagang pasar ikan mengeluarkan ikan beku bukan ikan segar.

“Pada musim selatan ini angin kencang, ikan tidak ada, harga juga mahal, akhirnya ikan disimpan untuk stok pada musim Selatan,” jelasnya.

Pada bulan Oktober dan seterusnya, nelayan Natuna akan masuk ke musim paling berbahaya yaitu musim angin barat daya. Musim ini berlangsung cukup cepat tetapi sangat mematikan sehingga menakutkan bagi nelayan.

Musim barat ini sering menciptakan malapetaka. Banyak insiden kapal kecelakaan, kapal rusak hingga tenggelam. “Kalau musim angin utara meskipun kuat, masih ada yang berani turun. Tetapi kalau musim angin barat, nelayan mengurungkan niat untuk melaut,” kata Mustaqim.

Apalagi pada kondisi pancaroba akibat perubahan iklim saat ini, angin barat daya bisa datang kapan saja. “Contohnya sekarang, seharusnya masih angin selatan, tetapi beberapa hari belakangan turun angin barat daya,” katanya.

Angin barat daya juga tidak bisa diprediksi dengan aplikasi perkiraan cuaca. Terkadang, di aplikasi cuaca akan terjadi angin barat, tetapi itu hanya awan hitam saja. Hujan dan angin kencangnya tidak turun. Tetapi kalau angin barat bisa saja datang ketika nelayan sedang tengah melaut. “Angin barat itu, sedang enak-enak di tengah laut, dia bisa datang, kita belum siap,” kata Mustaqim.

baca juga : Tidak Ada Pilihan, Nelayan Tetap Melaut Meski Kondisi Cuaca Buruk

 

Beberapa kapal nelayan bersandar tidak melaut di Pelabuhan Beruk, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan cuaca yang tidak menentu juga dirasakan Endang Firdaus salah seorang nelayan di Natuna. Dia tidak bisa memastikan apakah hal itu dampak perubahan iklim. Tetapi nelayan Natuna menyebut iklim yang tidak menentu itu dengan musim pancaroba. “Kita was-was kalau melaut,” katanya.

Sedangkan Rahmad, nelayan natuna lainnya menjelaskan, lima tahun lalu nelayan masih bisa memprediksi cuaca dengan cara membaca tanda alam, mulai dari awan, burung yang terbang, hingga kondisi gunung ranai yang ada di Natuna. “Tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi, apalagi kalau mengandalkan aplikasi prakiraan cuaca,” katanya.

Tetapi kondisi itu tidak menyurutkan semangat nelayan Natuna mencari nafkah. Sebagian nelayan sekarang ini memaksakan diri untuk harus tetap melaut meskipun cuaca buruk. Mereka mengantisipasi semua rintangan di laut dengan pengalaman melaut yang mereka miliki.

“Kalau nelayan, tidak ada duit, tidak penting lagi kondisi cuaca saat itu, apalagi kalau peralatan melaut sudah siap, seperti batu es, ransum dan lainnya, harus tetap melaut, karena sudah lama mendarat, mau makan apa kalau tidak melaut,” kata Mustaqim yang mempunyai empat kapal pompong nelayan di Natuna.

Tidak hanya berhadapan dengan cuaca ekstrem yang tidak menentu, Mustaqim juga menyebutkan nelayan Natuna sekarang harus menghadapi kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap nelayan kecil.

 

Exit mobile version