Mongabay.co.id

Cerita Upaya Masyarakat Pulau Penyalai Penuhi Energi [1]

 

 

 

 

Usia Kecamatan Kuala Kampar sudah  75 tahun,  tetapi wilayah yang berpusat di Pulau Penyalai, hulu dari Sungai Kampar ini belum teraliri listrik 24 empat jam penuh. Padahal, Penyalai atau juga disebut Mendul, merupakan lumbung padi ladang dan penghasil kelapa terbanyak di Pelalawan, Riau selain sagu dan pinang.

Sebenarnya, pada 1990, sudah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tetapi hanya menerangi Kelurahan Teluk Dalam. Mulai 2014, pemerintah daerah perlahan memperluas jaringan listrik ke arah timur, Desa Tanjung Sum. Sebelah barat, hanya sampai perbatasan Desa Teluk. Baru pada 2018, lewat program listrik desa, jaringan listrik mengelilingi seluruh Pulau Penyalai.

Saat ini, PLTD milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) Wilayah Riau-Kepulauan Riau di bawah ranting Pangkalan Kerinci, menghasilkan daya atau beban puncak 1,2 mega wat. Tenaga listrik ini ditopang oleh tujuh mesin diesel. Enam diantaranya untuk operasi harian. Sedangkan satu lagi sebagai cadangan bila terjadi kerusakan. Tiap minggu, PLTD ini kedatangan setidaknya 30 ton minyak solar yang diangkut mengggunakan kapal.

Masyarakat belum dapat menikmati listrik seharian penuh. PLN hanya menetapkan waktu nyala mulai pukul 5.00 petang sampai 7.00 pagi, atau durasi 14 jam.

“Udah dasar dari awalnya segitu. PLN punya hak pertimbangan pemakaian. Memang permintaan 24 jam sudah sampai pusat. Tapi masih banyak pertimbangan,” kata Iskandar, petugas pelayanan dan pengendalian PLTD Teluk Dalam.

Syarifah, perempuan Tanjung Sum, mengatakan, belakangan ini listrik di rumahnya sedikit lebih cepat menyala, sekitar pukul 16.30. Hanya saja, kondisi tidak normal. Setengah jam pertama selalu ada jeda padam sampai 20 menit karena ada pemakaian serentak terutama untuk kebutuhan harian seperti masak nasi dan menyedot air dengan mesin pompa.

 

Baterai dalam PLTS Teluk Beringin masih dalam kondisi baik. Hanya sebagian solarcon yang rusak sehingga daya listrik dihasilkan hanya mampu menerangi rumah tangga pelanggan pada malam hari. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Di rumah, Syarifah pakai sejumlah barang elektronik. Selain peralatan masak dan mesin air, ada kulkas, mesin cuci dan setrika listrik. Untuk mengatur tegangan listrik tetap stabil, dia dan 10 saudaranya—termasuk anak kecil—di rumah mengatur satu per satu penggunakan barang-barang itu.

Cuci pakaian, malam atau subuh. Untuk menyedot air dari parit ke bak mandi dan penampungan lain, tiga kali dalam satu malam.

Untuk penerangan, terpasang sembilan bola lampu, hanya untuk area penting. Lampu teras dan ruang tamu sering dimatikan. Kecuali ada acara keluarga atau helat besar di rumah. Saat tidur, hanya kamar yang terang dengan lampu kecil. Sebulan, keluarga Syarifah bisa keluarkan Rp200.000 untuk beli token listrik.

Selain keterbatasan daya dan durasi, jaringan PLN juga belum terhubung ke seluruh rumah warga di Pulau Penyalai. Tiang-tiang dan kabel hanya terpasang pada jalur poros atau jalan utama desa. Sedangkan rumah di lorong-lorong—warga setempat menyebutnya parit—tersambung lewat swadaya dan gotong royong warga setempat.

Misbun, Ketua RT01, Desa Teluk, mengatakan, mengenyam listrik, satu tahun belakangan. Desanya sudah teraliri listrik dua tahun sebelumnya. Rumahnya lima kilometer dari travo dan kabel induk di jalan utama desa. Dia dan warga sukarela mendirikan belahan batang kelapa, pinang dan kayu-kayu liar untuk membentang kabel sepanjang lorong agar sampai ke rumah-rumah warga.

Beruntung, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Teluk ikut dalam pemenuhan kebutuhan listrik warga dengan menyediakan kabel.

Dengan kesepakatan, warga membeli token atau pulsa listrik ke unit usaha desa itu. Sama yang dialami Syarifah, Misbun dan warga sekitar juga mengalami hidup mati aliran listrik pada jam krusial, seperti saat jelang malam (magrib).

“Sekarang masih kekurangan daya. Kadang sampai jam 9.00 malam baru hidup lagi. Yang punya kulkas gak bisa hidup. Tak normal juga. Mungkin karena kami terlalu jauh dari travo.,” kata Misbun Juli lalu.

Di rumah, Misbun punya televisi, mesin cuci dan penanak nasi elektronik. Ditambah tujuh bola lampu ukuran 10 sampai 15 wat buat penerangan. Dia tak berniat beli kulkas karena punya tetangganya banyak rusak disebabkan daya listrik tak memadai. Tanpa pembeku makanan itu saja, dia harus merogoh kocek Rp 100.000 untuk beli pulsa listrik per bulan.

 

Baterai dalam PLTS Teluk Beringin masih dalam kondisi baik. Hanya sebagian solarcon yang rusak sehingga daya listrik dihasilkan hanya mampu menerangi rumah tangga pelanggan pada malam hari. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Meski gotong royong menyediakan tiang dan kabel, pemasangan instalasi ke rumah warga tetap oleh petugas dari PLN. Tidak gratis, tergantung besaran daya listrik yang hendak dipasang. Satu rumah bervariasi antara Rp1, 5 juta-Rp3 juta.

Beda di Tanjung Sum. Karena kabel tidak disediakan BUMDes, warga yang tinggal di lorong harus mengeluarkan biaya tambahan atas penambahan kabel yang melebihi jatah ke rumah. Ini bisa menelan biaya sampai Rp4 juta.

“Orang banyak ngeluh saat pemasangan listrik. Padahal,  tetap ngedap-ngedap juga. Terutama yang tinggal jauh ke darat karena kabel kecil. Mulai pukul 10.00 malam ke atas baru normal lagi,” kata Syarifah.

Iskandar memaklumi keluhan warga pelanggan PLTD. Dia tidak pungkiri, gangguan listrik juga karena faktor alam. Masalah mesin pembangkit hanya bagian kecil dan itu tak tiap hari terjadi.

Gangguan terjadi pada tiang dan kabel yang membentang di arera kosong dan masih berhutan. Di sana, monyet sering bergelantungan. “Sekarang sudah diusahakan dipasang pengaman kabel.”

Soal warga menyediakan tiang dan membeli kabel, katanya, itu tindakan kurang sabar. PLN memang bertahap membangun jaringan listrik sampai ke sudut-sudut pulau. Bahkan, sudah jadi program. Seharusnya sudah selesai dalam beberapa tahun terakhir tertunda karena pandemi COVID-19.

Di Pulau Penyalai, meski PLN membangun PLTD sejak 1990 dan jaringan listrik berangsur meluas, dua tahun belakangan, mayoritas warga masih menggunakan mesin diesel di rumah masing-masing.

Listrik dari mesin merek dongfeng memang sumber energi pertama sebelum jaringan PLTD ‘menyentrum’ rumah-rumah warga di pelosok pulau. Di Desa Sungai Upih, satu dongfeng kapasitas 175 bahkan mengaliri listrik untuk 20 rumah. Warga membentuk kelompok untuk membeli mesin sekaligus menunjuk pengurus sebagai operator dan mengelola tagihan bulanan dari anggota.

“Masing-masing kena beban Rp 150.000 per keluarga. Buat beli minyak, perawatan dan gaji petugas. Nyala jelang magrib sampai pukul 10 malam,” kata Khoiri, Sekretaris Desa Sungai Upih, Juli lalu.

Tidak hanya di rumah. Sejumlah fasilitas umum di Penyalai mau tidak mau juga harus menggunakan diesel untuk menopang aktivitas harian, karena listrik dari PLTD tidak tersedia pada jam-jam itu.

Sementara pekerjaan kantor sudah serba elektronik, seperti komputer, laptop, printer atau sekedar untuk mengisi baterai ponsel.

Seperti di kantor Desa Teluk. Diesel selalu nyala pada jam kantor, antara pukul 8.00-4.00 sore. Bahkan jika kedatangan tamu, bisa sampai magrib. Setidaknya, dongfeng 24 yang tersambung dengan dynamo lima kil0, belakang kantor, itu menghabiskan rata-rata 25 liter solar per minggu. Terkadang tambah dua liter lagi.

Begitu juga kantor Desa Sungai Solok. Bedanya, mesin diesel di desa dengan wilayah terluas dibanding desa yang ada di Penyalai, ini hanya difungsikan sampai pukul 2.00 siang. Dengan begitu, desa hanya membutuhkan dua liter solar per hari. Minyak itu tidak selalu habis.

Lain hal Desa Teluk Bakau. Mereka tidak memiliki mesin diesel, karena saat ini menumpang di gedung posyandu. Tetapi ada mesin genset yang bisa diangkut kapan pun ketika dibutuhkan seperti saat ada kegiatan desa.

 

Kantor Desa Teluk Beringin dengan penerangan jalan menggunakan tenaga matahari. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mulai ada panel surya

Selain diesel, seluruh kantor desa di Penyalai juga memiliki panel surya. Hanya tidak menjadi prioritas menopang kelistrikan pada area kantor. Sebab daya listrik yang dihasilkan masih terbatas. Durasi dan waktu nyala juga tidak terlalu panjang. Terutama ketika mendung. Ditambah kerusakan kecil pada instalasi juga menghambat daya listrik yang mampu dihasilkan satu keping papan panel.

Kantor Desa Teluk, sebelum menggunakan diesel, biasa menyalakan listrik matahari terlebih dahulu. Itu, jika cuaca tidak mendukung alias panas terik. Bila daya listrik sudah berkurang, mereka langsung beralih ke diesel, terutama saat pekerjaan kantor mulai banyak. Sebab sudah pasti membutuhkan listrik lebih.

“Masalahnya, instalasi mudah rusak. Salah satunya inverter. Dalam satu tahun, pasti ada yang rusak. Malahan kadang terbakar,” kata Anton Sujarwo, Kaur Keuangan Desa Teluk.

Sementara Kantor Desa Teluk Bakau, karena tidak punya diesel, hari-harinya selalu menggunakan panel surya. Tidak peduli dengan keadaan cuaca. Pagi-pagi, petugas kantor sudah harus mengisi baterai laptop dan menyalakan mesin wireless fidelity (wifi). Lebih kurang enam tahun panel surya menopang listrik kantor desa ini.

Tidak hanya pada fasilitas umum. Warga dengan ekonomi menengah atas juga ada yang memiliki panel surya namun tetap berfungsi terbatas atau sekadar untuk penerangan.

Syarifah, misal, selain tersambung listrik PLTD dan punya mesin diesel di rumah, tetap memanfaatkan listrik energi matahari demi menghemat biaya pembelian token. setidaknya, mesin diesel di rumah juga jadi jarang digunakan.

“Bapak saya kalau tidur, pakai panel surya. Agak irit listrik. Bahkan dari jam 8.00 malam sudah pakai lampu dari panel surya. Karena instalasi listriknya berbeda, tinggal matikan yang tidak dipakai. Hanya mesin cuci dan mesin air pakai PLTD,” kata Syarifah.

Pemerintah Desa Teluk, berencana beri bantuan panel surya ke rumah-rumah yang belum terhubung listrik terutama yang terletak di ujung dan pada wilayah agak masih berhutan. Program itu sudah dituangkan dalam APBDes, tahun ini, sebanyak tiga panel dan akan menyasar, Kampung Banjar, Dusun Teluk Tengah.

Di sana ada sekitar delapan keluarga. Pemdes juga sudah minta ke PLN untuk penambahan jaringan listrik ke pemukiman itu.

Di Pulau Penyalai, hanya ada sembilan rumah benar-benar menikmati listrik 24 jam, di Kelurahan Teluk Dalam. Salah satunya rumah Ramli di Parit Melati. Kediamannya dekat dengan dua sumber listrik dari energi solar. Pertama, dari PLTD,  kedua,  dari mesin diesel

Perusahaan Air Minum (PAM) yang hanya beberapa meter. Dia dan beberapa warga kebagian listrik gratis dari PAM untuk siang hari. Dua orang anak Ramli, kebetulan kerja di PAM.

Suriadi Darmoko,  Finance Campaigner 350 Indonesia, mengatakan, pembangunan pembangkit energi terbarukan harus memperhatikan kesiapan komunitas atau masyarakat, kapasitas masyarakat atau komunitas mesti dibangun terlebih dulu.

Kalo proyeknya diimplementasikan hanya menggunakan kacamata serapan anggaran, asal anggaran terserap, maka pembangkit listrik energi terbarukan yang justru tidak sesuai keinginan. Bukan menjadi solusi tapi menjadi masalah baru,” katanya.

Dengan konsumen tersebar di empat desa, kata Moko, kalau proses baik dan benar, seharusnya PLTS bisa beroperasi sesuai umur operasional. “Baik dan benar maksudnya ada pendampingan ke warga calon penerima manfaat,” katanya.

Dukungan pemerintah bisa melalui pendanaan, salah satu lewat dana dengan skema Just Energy Transition Partnership (JETP).  Kalau dukungan pendanaan itu bersumber dari dana hibah JETP, katanya, akan berkontrihusi langsung pada peningkatan bauran energi terbarukan dan pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan.

“Ini memungkinkan warga mentransisikan sumber listrik fosil atau  setidaknya mengurangi ketergantungan pada pembangkit yang sumber listrik masih didapat dari pembakaran energi fosil ataupun biomasa.” (Bersambung)

 

Demi listrik sampai ke rumah, masyarakat Penyalai yang tinggal di lorong-lorong mendirikan tiang-tiang kayu dari belahan pohon kelapa dan pinang untuk membentang kabel. Foto Suryadi./ Mongabay Indonesia

 

*Tulisan ini hasil Kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org Indonesia

 

 

 

Exit mobile version