Mongabay.co.id

Cerita Para Perempuan di Sekitar Sungai Batanghari

 

 

 

 

Tabuhan gendang tambur tassa,  bersahut-sahutan. Sorak-sorai anak sekolah bergema di sepanjang Sungai  Dareh , Hulu Sungai Batanghari. Beras kuning, kembang tujuh rupa , air suci,  sikapur sirih dan kambing dibawa ke tengah lapangan Candi Pulau Sawah, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.

Lima perempuan berjejer membawa nampan berisi sajian dan menarik ikatan kambing. Pakaian hitam dan merah dengan selengang songket tikuluak di  atas kepala membentuk tanduk kerbau.

“Hari ini kita hadir menyambut Tim Ekspedisi Batanghari 2023 yang diadakan Kemendikbud Ristek, yang akan mengawali kegiatan susur sungai dari Kabupaten Dharmasraya dan akan berujung di Tanjung Jabung Barat,”  kata Adlisman,  Sekda Dharmasraya, membuka kegiatan .

Hari itu, 27 Juli 2023, bertepatan dengan Hari Sungai Nasional. Riuh anak-anak sekolah, tokoh adat,  komunitas pegiat budaya dan lingkungan, masyarakat Siguntur dan sekitar merayakan hari itu dengan meriah. Di sepanjang pinggir sungai tak banyak pohon.

Dalam kegiatan ini, ada 10.000 bibit pohon disiapkan menghijaukan sepanjang daerah aliran Sungai Batanghari. Pohon-pohon siap ditanam di lubang-lubang berukuran 3×4 meter. Jenisnya mulai dari meranti, petai, dan buah-buahan seperti durian, alpukat, dan pinang.

Tak jauh dari penanaman pohon, ada penebaran benih ikan (restocking). Ada 350.000 bibit ikan antara lain, tembakang (Helostoma tammincky), nilam (Osteochilus vitatatus), jelawat (Leptobarbus haevenni),  betok (Anabas testudineus) dan  gurame (Osphronemos gouramy!

Putri Marhasnida memegang nampan berisi kembang dan air suci. Putri Awari Siti membawa nampan berisi beras kuning. Perempuan -perempuan ini disebut bundo kandung, sebutan tertinggi dalam adat minang untuk perempuan. Mereka keturunan dari Kerajaan Siguntur.

Ritual penyembelihan kambing mulai dengan pembacaan doa. Tangan mengibas-ngibaskan beras kuning dan kembang tujuh rupa ke penonton yang melihat ritual ini.

“Sungai Batanghari memegang peran sentral dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat sekitar. Di tepi sungai ini, penghubung pakai perahu tempek, dan sumber mata pencaharian bagi mereka dalam mencari ikan, mendulang ameh, serta mencari udang dan tengkunyung (litang),” kata Marhasnida.

 

Nelayan di Sungai Batanghari. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Sungai Batanghari juga bagian penting dalam adat istiadat saat menghadapi musibah dan penyakit. Menganyuakan (menghanyutkan) penyakit dilakukan saat ada wabah atau penyakit menyerang. Tadisi pengobatan sore sampai jelang malam.

Masyarakat akan menyusun rakit berisi beras rendang, beras putih, beras kuning, kelapa, seekor ayam, dan kembang tujuh rupa. Ritual ini dimulai dari pangkal koto menuju ujung koto. Sungai Batanghari dianggap sebagai sumber penyembuhan.

“Bala-bala dan penyakit hanyutlah semua di Batanghari hingga ke laut,” kata Marhasnida, sambil memperbaiki letak tikuluak tanduk di atas kepalanya.

“Sejak lahir, bayi di sini tempat pertama kali keluar dari rumah harus ke sungai,” lanjut Awari Siti tersenyum.

Tradisi melahirkan yang unik di tepian sungai ini. Ketuban bayi dibungkus dengan kain putih dan dimasukkan ke dalam kendi, lalu dihanyutkan ke sungai. Tujuannya agar bayi tenang dan terhindar dari penyakit.

Selain itu, ritual turun mandi bayi menggunakan jantung pisang dan kelapa. Air sungai diguyurkan ke kening bayi yang diletakkan di atas jantung pisang. Tradisi ini menjadi bukti betapa sungai ini dalam kehidupan masyarakat setempat.

Meski kini Sungai Batanghari tak lagi sejernih dulu, ritual Turun Mandi ini masih lestari. Bahkan, mereka membawa air dari rumah ke tepi sungai dan melepasnya dengan kain lusuh yang dihidupkan dengan puntung api.

“Ritual turun mandi masih dilakukan, hanya saja airnya bawa dengan ember dan mandinya saja sekarang di pinggir sungai,” ucap Ramaita.

Marhasnida, dengan penuh kebanggaan, mengisahkan betapa luar biasa kehidupan di tepian sungai ini. Tradisi-tradisi yang diwariskan dari nenek moyang adalah sumber kekayaan budaya dan menggambarkan betapa eratnya hubungan manusia dengan alam.

 

Bundo Kandung di Candi Pulau Sawah adakan ritual masak nasi kancah. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Setibanya di Dermaga Tembesi, Tim Ekspedisi Batanghari disambut dengan tarian Nyemen Payo Kacung. Tarian ini erat dengan tradisi turun ke sawah. Kabupaten Batanghari dulu menjadi daerah lumbung beras di Jambi.

Sekarang, sawah-sawah dialihfungsi menjadi kebun sawit, dan sebagian terlantar karena kekeringan. Sungai Batanghari, menjadi sumber pengairan sawah-sawah, kini kondisinya dangkal dan keruh.

Nyemen berarti menanam benih padi yang telah disemai dan tumbuh. Payo kacung merupakan tempat atau sawah untuk menanam semen. Semen adalah sebutan untuk benih padi yang akan ditandur. Makna dari kata kacung menurut para tetuo adat di Desa Bajubang Laut adalah bimbang atau ragu.

Fathuddin Abdi, tokoh adat Batanghari , memulai diskusi dengan kalimat yang menyiratkan banyak makna tentang Sungai Batanghari.

“Airnya jernih, ikannya jinak; airnya keruh, ikannya liar,” katanya penuh perasaan.

Kalimat sederhana ini menggambarkan dua kondisi sungai yang berbeda, baik dahulu maupun saat ini. Saat sungai jernih, kehidupan ikan penuh sukacita.

Mereka bermain dan menari dengan riang dalam lingkungan sehat, katanya, dan warga pun ikut terhibur dengan keindahannya. Ketika air sungai tercemar, populasi ikan menurun dan mereka menjadi liar serta marah karena lingkungannya menjadi tidak sehat.

Kabupaten Batanghari, katanya,  memiliki hubungan panjang dan kaya dengan Sungai Batanghari. Budayanya,  mencerminkan pentingnya sungai ini. Di tengah ancaman saat ini, katanya, kearifan lokal jadi kunci dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan di kalangan masyarakat.

Kebudayaan dan hukum adat di Batanghari, katanya,  mengajarkan tentang kearifan dalam memanfaatkan alam, termasuk larangan menangkap ikan berlebihan atau menggunakan alat penangkapan yang dilarang.

Semua ini bertujuan menjaga keseimbangan ekosistem sungai dan melindungi tempat tinggal ikan di Sungai Batanghari.

Kata Fathuddin,  ada tradisi lisan bernama Tapa Malenggang yang memperlihatkan bagaimana kecintaan masyarakat pada zaman dahulu terhadap lingkungannya, khusus Sungai Batanghari. Cerita tapa malenggang tentang ikan tapah dewa yang hidup dalam sungai menjadi simbol untuk menjaga keasrian sungai dan tidak mencemarinya.

Tradisi lisan ini, katanya,  berhasil membentuk rasa cinta masyarakat, membuat mereka tidak berani membuang sampah sembarangan ke sungai.

Bagaimana agar tradisi ini lebih dekat dengan anak muda? “Kita harus ada sekolah adat guna mengajarkan seluruh kearifan lokal Batanghari kepada generasi muda.”

 

Alat dompeng beraktifitas di sepenjang Sungai Batanghari. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Perahu pancung, merapat di Lubuk Guci Emas bertolak dari Dermaga Gentala Arasy Kota Jambi.  Disambut meriah oleh warga Di Desa Muaro Pijoan, Kecamatan Jambi Luar Kota, Muaro Jambi.  Ada tiga kakak beradik , Nyai (ibu bahasa lokal) yang sudah menjadi bagian dari kehidupan di tepian Sungai Batanghari. Nurima, berusia 70 tahun, Yuhana usia 50 tahun, dan Salamiah 65 tahun. Mereka menarik perhatian dengan mambawa ambung, pancing, tikar pandan dan hasil-hasil tanaman di Sungai Batanghari.

Di sepanjang tepian Sungai Batanghari, terdapat berbagai macam tumbuhan yang tumbuh subur dan memberikan manfaat bagi kehidupan sehari-hari warga desa.

Tikar pandan, pisang, dan keladi (kemuna) menjadi produk kerajinan yang digunakan sebagai tempat duduk ketika berkumpul bersama keluarga dan teman-teman. Selain itu, penyapu daun mayang pinang, tebu, dan pisang juga dimanfaatkan sebagai alat rumah tangga untuk membersihkan area sekitar dan keperluan lainnya.

Saat berjalan menyusuri tepian sungai, mereka melewati deretan pandan beduri yang tumbuh di sepanjang Sungai Batanghari.

Ketika matahari mulai terbenam, mereka akan mencari lubuk-lubuk di Muaro Pijoan untuk mencuci wajah dan menikmati indahnya senja.

“ Ada beberapa lubuk di desa, yaitu kubur, lubuk mumpo, lubuk katung,  lubuk cempako, lubuk duren serinding, dan lubuk guci. Itu namo lubuk di desa kami. Semua dijago karena rumah ikan,” kata Nurima.

Jala, pancing, dan tajur menjadi alat penting dalam mencari ikan di Sungai Batanghari. Sama seperti zaman dahulu, tradisi memancing dan menangkap ikan dengan menggunakan alat-alat sederhana ini tetap dijaga hingga kini.

Ado beberapa peraturan adat yang harus diikuti, seperti tidak diperbolehkan memutas atau meracun, menyentrum ikan kareno merusak sungai, “kata Yuhana.

Lubuk larangan merupakan kearifan lokal masyarakat sepanjang Sungai Batanghari untuk menjaga  sungai dan ekosistem di dalamnya.

Masyarakat Desa Muaro Pijoan, Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi mendaulat Lubuk Larangan Guci Emas sebagai bentuk upaya pelestarian lingkungan dan budaya. Kegiatan ini juga rangkaian Ekspedisi Batanghari yang telah dilangsung selama satu minggu , setelah sebelumnya dari Dharmasraya, Tebo, Batanghari dan Muaro Jambi.

Pijoan Rahman,  Ketua Lembaga Adat Desa Muaro, menyebutkan ada tiga aturan  Lubuk Larangan Guci Emas yaitu , menetap kawasan lubuk larangan sepanjang 900 meter di sekitar lubuk. Jadi, tidak boleh untuk mengambil ikan dan mahluk hidup lain, tidak boleh membunuh ikan dan mahluk lain dengan cara menyentrum, meracun dan pukat. Kemudian, tidak boleh menebang pohon di kiri kanan sepanjang lubuk.

“Kalau ada yang melanggar akan didenda seekor kambing,” katanya.

 

Nyai-nyai di Desa Muaro Pijoan, Muaro Jambi saat Festival Bebiduk Besamo membawa segala alat dari budaya dan tradisi di Sungai Batanghari.Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Acara berujung di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi, tempat Festival Empat Lawang Sejarangan yang melibatkan Empat desa penjaga kawasan Candi Muaro Jambi yakni,  Desa Danau Lamo, Baru, Kemingking Luar, dan Muara Jambi di Kecamatan Maro Sebo.

Desa Baru memberikan seserahan simbolis dilengkapi dengan hiasan miniatur berupa rumah panggung dan perahu. Terlihat sejumlah buah kelapa, minyak goreng, dan beras yang diberikan perwakilan desa ini.

Warga Desa Danau Lamo, yang sebagian besar mengenakan pakaian teluk belango, menyerahkan bumbu, rempah, sayuran, dan kayu medang yang digantung di bambu. Sebagian bumbu yang diserahkan oleh mereka ialah hasil budi daya di Desa Danau Lamo.

Setelah dua desa tadi, datanglah desa berikutnya, yakni Desa Kimingking Luar. Masing-masing perwakilan desa ini mendatangi lokasi Kenduri Swarnabhumi diiringi arak-arakan hingga mengumandangkan tradisi seloko.

Sedangkan Desa Muara Jambi berperan sebagai tuan rumah. Hasil alam dan bahan makanan yang diserahkan tiga desa tadi, langsung diolah oleh 32 orang  tuan rumah.

“Desa Muara Jambi sebagai tuan rumah. Kami bekerja sama. Kami membuat rendang, pindang ikan toman yang khas di sini, acar, dan sebagainya. Ikan yang dimasak berasal dari Danau Lamo,” kata Jamila, warga Desa Muara Jambi, sembari menyiapkan makanan.

Menariknya, di antara masakan yang disiapkan Desa Muara Jambi, terdapat oalah ikan yang dicampur tanaman buah kepayang, yakni kluwek.

“Jadi macam rendang. Tanaman kepayang memang ada di sini,” kata Nuraini.

Semua masakan ini dihidangkan dengan daun pisang dan piring terbuat dari pelepah pinang. Warga sekitar dan pengunjung menikmatinya di pondok beratapkan daun kelapa dan bertiang bambu.

 

 

Ambung, alat membawa bekal makan ketika ke sungai dan sawah.Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Agus Widiyatmoko,  Kapala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), mengatakan empat desa itu perlu dilibatkan karena kelestarian KCBN Muara Jambi bergantung pada mereka. Tidak hanya dalam festival, tetapi turut dilibatkan dalam pengelolaan KCBN Muara Jambi.

“Empat desa inilah yang menjadi ujung tombak. Yang menjaga dan mengelola sampai urusan pelindungan dan pemanfaatan,” katanya.

Dia mengatakan, keempat desa sepakat menjaga lingkungan dan kelestarian kawasan cagar budaya itu.

“Empat pintu ini sepakat, seiya, sekata. Kami sendiri berperan sebagai penyambung kato,” katanya.

KCBN Muara Jambi memiliki luas berkisar 3.981 hektar. Sebagian lahan itu masih masih dimiliki masyarakat, dan ada yang dimanfaatkan perusahaan batubara untuk stockpile.

Dulu, hampir semua orang di desa ini memiliki lahan sawah dan berladang (beumo). Namun, seiring perkembangan zaman, beberapa orang mulai beralih pekerjaan menjadi petani atau pekerja pabrik.

Eka Amiyani, generasi muda di Desa Muaro Jambi, mengatakan, saat ini, pabrik dan limbah mengurangi kualitas air sungai yang dulu jernih.

“Desa Muaro Jambi banyak pabrik, limbah-limbah, air sungai tidak jernih. Air jernih, ikan berenang Nampak ikan selontong, kepiat main-main di air. Mancing udang sekalian mandi bae biso untuk masak makan malam. Pakai pancing bae, kalau sekarang pakai jalapun sudah payah nian dapatnyo,” katanya.

Eka berharap, kearifan lokal dan tradisi yang diwariskan nenek moyang tetap dilestarikan.

Memasuki era 2000-an, banyak perubahan di sekitar desa ini. Nelayan berubah menjadi buruh dan kerja di kota. Sementara kebun-kebun durian dan duku serta karet dialihfunngsikan menjadi kebun sawit. Eka bilang, kekayaan alam dan kearifan lokal di sepanjang Sungai Batanghari tetap menjadi warisan tak ternilai.

“Pemerintah harus tegas untuk menertibkan pabrik pembuang limbah, kami jugo mau anak-anak kami bisa merasakan segarnyo air Batanghari bukan cerito bae,” katanya,

 

 

******

 

Exit mobile version