Mongabay.co.id

Tidak Hanya Terpasang, PLTS di Halmahera Selatan Perlu Dirawat agar Tidak Rusak 

 

Provinsi Maluku Utara dengan 805 pulau memiliki banyak desa yang berada di pulau-pulau kecil. Dari total 1.203 desa yang ada, 898-nya adalah desa-desa pesisir. Di lokasi-lokasi tersebut belum semuanya tersedia listrik secara memadai yang disuplai  oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kabupaten Halmahera Selatan salah satunya. Kabupaten kepulauan ini terdiri dari sekitar 300 pulau besar dan kecil. Wilayahnya mencapai 40.263,72 km dengan enam pulau besar utama, yaitu: Obi, Bacan, Makian, Kayoa, Kasiruta, dan Mandioli.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, program perlistrikan di tingkat desa ini didukung oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan melalui Program “Halmahera Selatan Terang”. Adapun sumber pembiayaannya didorong dari dana desa dan APBD.

Program ini pun, -selain mendapat sokongan dari anggaran Pemda dan dana desa, di beberapa desa juga peroleh dukungan Kementerian ESDM dengan didistribusikannya panel tenaga surya untuk masing-masing rumah.

Namun, pertanyaannya kemudian, apakah proyek perlistrikan di desa pulau-pulau terpencil itu telah efektif dan berkelanjutan?

 

Panel surya di Desa Laigoma yang beberapa bagiannya rusak dan tak terawat Foto M Ichi

 

Di beberapa lokasi, Program “Halmahera Selatan Terang” tidak berjalan mulus. Banyak unit yang bermasalah dan rusak setelah 1-2 tahun beroperasinya. Sebagai contoh, fasilitas yang ada di gugusan kepulauan Guraici, yang mencakup 17 pulau.

Setelah panel surya dibangun, diserahkan ke pihak desa dan beroperasi, banyak  yang alami kerusakan dan sulit diperbaiki. Seperti yang dapat dijumpai di Desa Laigoma (pulau Laigoma), Siko (pulau Siko), Bokimiake (pulau  Moari), Marituso (pulau Kasiruta), dan Wiring (pulau Tawabi).

Dalam penggunaanya juga didapatkan banyak kendala. Sering kapasitas berlebih dilewati, padahal penggunaan sebenarnya hanya untuk penerangan. Unit pun jadi rentan rusak.

Gufran Mahmud  Anggota DPRD Halmahera Selatan turut mendorong  program listrik tenaga surya di pulau-pulau kecil mengaku prihatin atas kendala ini.

“Proyek PLTS di pulau Siko masuk 2016 kemudian di pulau Gafi  2017 dan di pulau Laigoma akhir 2018. Tiga proyek ini menghabiskan anggaran APBD puluhan miliar. Sayang kalau kemudian rusak percuma,” ungkap Gufran.

“Keberlanjutannya harus dipikirkan bersama.”

***

 

Bola lampu di Laigoma yang sumber energinya berasal dari energi surya. Foto: M Ichi

 

Desa Laigoma, termasuk salah yang mendapatkan bantuan unit panel surya dari dana APBN.  Bantuan lain datang dari Kementerian ESDM. Ada 4 mata lampu diserahkan langsung ke warga dan dipasang di masing masing rumah sebagai pengguna.

Setelah berjalan lebih kurang 1,5 tahun, kini unit yang ada rusak. Warga sekarang menunggu keputusan pemerintah desa untuk mengeluarkan biaya dari Alokasi Dana Desa (ADD) untuk perbaikan.

“Kami tunggu kepala desa balik ke kampung dari kegiatannya di luar daerah untuk  bicarakan perbaikannya. Torang (kami) dengar katanya kerusakan ini pada inverter  yang jebol atau hangus. Berarti anggarannya akan besar,” jelas Amir Ibrahim, anggota BPD Desa Laigoma.

Dalam beberapa referensi disebutkan, kerusakan tenaga surya disebabkan adanya fluktuasi atau perubahan tegangan. Tegangan yang terinduksi serta kebocoran arus, akan menimbulkan penurunan tegangan output yang dihasilkan panel surya. Cepat atau lambat hal ini memberikan dampak buruk pada usia unit yang ada.

Di luar masalah teknis, terdapat persoalan pengelolaan di tingkat tapak. Setelah alat dan fasilitas pendukung PLTS diberikan oleh Pemda. Aspek keberlanjutan tidak lagi jadi prioritas, setelah diserahkan ke pihak desa.

 

Amir Ibrahim, anggota BPD Desa Laigoma yang berencana mendorong Pemdes mendidik pemuda untuk memiliki keahlian dalam perbaikan dan pengelolaan PLTS. Foto: M Ichi

 

Perawatan fasilitas pun jarang dilakukan. Masyarakat tidak tahu apa yang harus diperbuat jika kelak terjadi kerusakan.

“Sudah ada peringatan kepada masyarakat agar tidak menggunakan listrik solar cell dengan kapasitas berlebih. Tetapi ini sulit dikontrol. Akhirnya, fasilitas menjadi rusak. Kalau perlu mungkin harus pakai semacam meteran untuk mengontrol penggunaan setiap rumah,” ungkap Ibrahim.

Dia pun berpikir, sudah waktunya Pemdes untuk melatih anak-anak muda atau warga untuk mengikuti kursus pemeliharaan panel surya. Dengan adanya tenaga terampil, jika  ada kerusakan.maka dapat segera ditangani.

“Tidak perlu lagi tunggu tenaga ahli dari luar pulau dari Ternate atau dari Jawa,” katanya.

Kebutuhan listrik sudah menjadi kebutuhan utama warga di pulau-pulau terpencil. Bagi warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, mereka bisa menyediakan genset solar. Namun tidak dengan warga kurang mampu, mereka berharap penuh kepada PLTS.

“Energi dari surya ini sangat penting bagi kami, orang pulau. Tidak butuh BBM dan bisa digunakan selamanya jika dirawat,” sebut Suparto Mahyadin, seorang warga Siko.

Desa Siko, yang berdekatan dengan pulau Laigoma mendapatkan bantuan proyek PLTS pada 2016 lalu dan menyala beberapa tahun. Kemudian fasilitas yang ada rusak satu  tahun belakangan  dan belum juga diperbaiki.

Padahal, keberadaan PLTS ini penting bagi warga, karena genset atau generator tidak bisa dinyalakan terus-menerus selama 24 jam. Rata-rata warga desa yang menggunakan genset hanya bisa menikmati listrik 6 hingga 12 jam. Selebihnya rumah mereka gelap dan hanya menggunakan lampu teplok.

“Di pulau seperti Laigoma dan Siko ada juga genset, tetapi tidak bisa dinyalakan full karena tingginya biaya beli BBM,” lanjut Suparto.

Pasokan listrik yang stabil juga amat mempengaruhi kehidupan ekonomi. Warga pulau yang mayoritas adalah nelayan, membutuhkan listrik bukan hanya untuk penerangan, tetapi juga membuat es balok untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan.

“Saat ini seluruh kebutuhan es untuk mengawetkan ikan diambil dari Ternate,” keluh Ade Thaib, seorang warga Laigoma. 

 

Balok-balok es yang dibawa dari Ternate ke Laigoma karena tidak ada listrik kapasitas besar untuk pabrik es. Foto: M. Ichi.

 

Program Energi  Surya Butuh Keberlanjutan

Saat coba dihubungi, pihak Pemkab Halmahera Selatan yang coba dikonfirmasi terkait kondisi PLTS enggan memberikan tanggapannya. Didatangi langsung, hingga dikirimi daftar pertanyaan  melalui pesan WA juga tidak ditanggapi.

Nomor ponsel 08132297xxxx yang coba dikonfirmasi pada Kamis (3/8/2023) dan Jumat (4/8/2023) tidak merespon.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Halmahera Selatatan Tahrim Imam yang ditemui Sabtu (29/7/2023) di Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan enggan memberi tanggapan soal ini.

Banyak ditemukan fenomena unit dan fasilitas yang rusak, Sisilia Nurmala Dewi, Team Leader 350.org ID, -lembaga nirlaba yang mendorong isu energi terbarukan, menyebut syarat berhasilnya transisi kemandirian energi adalah adanya transformasi masyarakat.

Dia menyebut sejak awal perencanaan proyek, pemasangan, pengelolaan, hingga perawatan unit perlu ada partisipasi warga. Dalam tiap tahapan, Pemda dan pihak penerima manfaat mesti menyiapkan komponen-komponen yang diperlukan.

 

Salah satu warga Laigoma, Asis (45 tahun ) menunjuk panel surya yang rusak dan tidak terawat. Banyak tumbuhan liar yang tumbuh di properti ini. Foto: M Ichi

 

“Di tingkat desa, bisa dibentuk pengurus khusus. Selain itu, pengelolaan dapat juga dilakukan melalui koperasi atau BUMDES yang  ada di desa. Sejauh yang saya  tahu, di pulau-pulau kecil komponen solar panel perlu perawatan ekstra karena rentan korosi akibat air laut,” sebut Sisilia.

Hal lain adalah membangun rasa memiliki masyarakat atas fasilitas energi terbarukan ini.  Termasuk penerapan sistem iuran untuk penyediaan dana perawatan

Sisilia memberi contoh, inisiatif yang dilakukan warga Dusun Bondan, Cilacap. Karena pengelolaan yang baik, mereka lalu memperoleh penghargaan dari Pemda Jawa Tengah sebagai  Desa Mandiri Energi.

 

 ***

Tulisan ini hasil Kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org Indonesia

 

Exit mobile version