Mongabay.co.id

Belajar Permakultur buat Kehidupan Sehari-hari [1]

 

 

 

 

Sejumlah komunitas atau banjar di Desa Peliatan,Ubud, Bali, sejak pandemi COVID19, bersepakat menghidupkan pekarangan terbengkalai dengan aneka tanaman obat. Mereka membagi jenis tanaman.  Ada kumis kucing, jahe, serai dan banyak lagi. Konsep premakultur mereka terapkan.

Belum semua rumah tangga terlibat, karena bersifat sukarela. Salah satu yang aktif adalah Banjar Teges Kanginan,  dengan tanam kumis kucing.

Punduh, salah satu warga yang menanam di area rumah. Ketika memasuki halaman depan, aneka tanaman obat dan bunga di setiap sudut. Di halaman belakang, orang Bali menyebut teba, bersisian dengan sungai, ada hamparan kumis kucing.

Sejumlah warga Banjar Teges Kanginan,  ikut menanam kumis kucing dengan hasil panen bisa dijual ke usaha pengolahan teh di Ubud, bernama Made Tea.

I Made Juliasa, kepala dusun mengatakan,  warga tertarik dengan menanam tanaman obat ini karena terpicu situasi COVID, banyak pekerja pariwisata nganggur atau dirumahkan. Tanaman obat juga jadi sugesti baik meningkatkan kesehatan di tengah banyak fatalitas akibat virus penyebab pandemi global itu.

“Warga sudah lama juga mengolah kumis kucing jadi loloh (semacam jamu) untuk pengobatan dan kesehatan,” kata Juliasa.

Mereka panen besar pertama kumis kucing pada 2020. Dari lebih dari 140 keluarga, hampir 70% aktif menanam kumis kucing di rumah. Saat itu,  warga bisa menghasilkan puluhan ribu rupiah per keluarga tergantung hasil panen.

Kebijakan desa juga mendukung dengan pemberian bibit dan paket biopori. Juga,  mengaktifkan lahan telantar ini dianggap mendukung program pengelolaan sampah.

 

Tanaman kumis kucing di rumah warga Banjar Peliatan Kanginan. Foto: Luh De Suryani/ Mongbay Indonesia

 

Halaman belakang tak lagi jadi tong sampah karena ditanami. Kompos di lubang biopori bisa jadi tambahan nutrisi untuk tanaman obat. Sampah organik dan anorganik pun mulai terpilah. Desa ini menargetkan 1.000 biopori pada tahap awal kemudian bertambah.

Sungai pun jadi lebih bersih. Bahkan, Made Dwi Sutariyatha, Kepala Desa Peliatan, mengatakan,  mereka kembali galakkan tradisi, mangayud-ayudan,  yang mulai hilang.

Tradisi ini,  terkait pemanfaatan sungai dalam tradisi pernikahan. Ia bermakna membuang mala, sebelum pasangan menikah mereka ke sungai desa untuk mandi.  Si laki-laki akan menghanyutkan baju dan selendang, lalu diambil calon istri.  Tradisi ini diakui makin hilang karena kondisi sungai kotor dan jorok. Akses ke sungai juga hilang.

Pada awal ide penanaman tanaman obat ini, Dwi bingung merespon ajakan Made Tea. Dia ragu, karena warga di desanya mayoritas menjajakan jasa guest house dan usaha pendukung wisata.  Namun, inisiatif kerja sama Made Tea dengan komunitas inilah yang menghasilkan petani baru di skup rumah tangga.

Dari delapan banjar, tak semua aktif menanam. Meskipun begitu, desa ini punya sebuah taman bertajuk Puspa Aman. Di sini,  ada demplot bibit tanaman obat yang tahap awal disepakati tiap banjar.

Dia contohkan, Banjar Teges dengan kumis kucing, Teges Kawan dengan serai, dan Ambengan tanaman mint, dan Teruna budidaya pegagan. Kemudian, pande tanam lidah buaya, Tebesaya rawat sambiloto, Banjar Kalah dengan jahe merah, dan  Banjar Tengah menanam tulsi.

 

Serai, tanaman bisa jadi obat herbal. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Taman penghasil bibit ini juga memiliki cerita menarik. Berada di sempadan Sungai Mas yang kondisi awalnya tempat pembuangan sampah. Sungai ini kini nampak rapi dengan senderan dan pengurangan sampah. Di lokasi inilah kerap ada acara skala banjar dan desa seperti lomba dan tempat bermain.

Inisiatif skala komunitas ini berdampak pada kepentingan publik. Made Tea yang mendampingi warga dan membeli hasil panen warga nyatakan banyak uji coba dengan sejumlah kegagalan. Misal, saat panen awal, hasilnya tidak bisa diolah karena kesalahan petik.

“Hampir semua jadi sampah karena dicabut sampai akar dan tidak segar,” kata Ni Made Roni, pemilik Made Tea.  Akhirnya didampingi cara panen, dan kali kedua jauh lebih baik.

Made Tea,  yang berkolaborasi dengan komunitas ini mengatakan, membeli hasil panen warga tak lebih murah dari harga pasar. Dia meminta,  warga menjual produk segar karena perlu pengelolaan khusus dan ada standar sterilisasi saat diolah jadi aneka teh herbal di pabriknya.  Jadwal pembelian pun kolektif.

 

Kebun pembibitan Desa Peliatan. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

***

Cerita pembelajaran dari Desa Peliatan, Ubud, Bali, itu merupakan zona dua dalam permaculture design course (PDC) oleh BASE Bali, atau pada level gerakan komunitas.

Sedangkan pada zona pertama atau level diri sendiri, permakultur adalah laku diri atau perubahan dari rumah atau tempat kerja.  Mempertanyakan pada diri sendiri, misal, “apakah pekerjaan yang dilakukan sehari-hari berdampak buruk pada bumi?”

I Made Agus Suwesnawa atau Gus Wes, mengajak membuat penafsiran dari istilah permakultur. Dia membebaskan, agar tak terperangkap pada gagasan bertanam semata.

“Menemukan kembali apa yang kita lakukan, tak hanya istilah teknis permanent agriculture,” katanya mengulas kepanjangan permakultur.

Dalam teorinya, ada belasan prinsip permakultur, namun tak saklek karena pada hakikatnya mengajak diri sendiri untuk peduli pada masa depan bumi lebih baik, melakukan sesuatu dengan pertimbangan keadilan, dan lintas disiplin, bukan hanya soal pertanian.

Kalau hanya berpikir linier, permakultur sebatas pertanian. Namun, katanya, pemikiran multidiplin akan mendorong ke kedaulatan. “Misal, pertanian organik tapi benih beli, bukan permakultur,” kata Gus Wes.

Dikutip dari buku “Permakultur di Daerah Tropis: Pengalaman dan Praktik di Indonesia” (2022) oleh Yayasan IDEP Selaras Alam di Bali, menyebutkan, permakultur tak hanya tentang pertanian tetapi budaya dan cara berpikir.

Permakultur, sebut buku itu  bertujuan membuat kehidupan stabil, sistem produktif mampu menyediakan kebutuhan manusia, harmonis, dan mengintegrasikan antara lahan dengan ekosistemnya.

Elemen dalam setiap sistem saling berhubungan dengan unsur-unsur lain, di mana output dari satu elemen menjadi input untuk unsur lainnya. Dalam sistem permakultur, kerja diminimalkan menghasilkan “limbah” dan mengubah menjadi sumber daya, produktivitas dan meningkatkan hasil, dan lingkungan dilestarikan. Prinsip-prinsip permakultur dapat diterapkan pada lingkungan apapun.

Praktik permakultur pertama kali dilakukan oleh petani Sepp Holzer dari Austria pada 1960-an, namun metode ilmiahnya dikembangkan oleh orang Australia yaitu Bill Mollison dan David Holmgren dan rekan-rekan pada tahun 1970-an dengan serangkaian publikasi.

Kata permakultur digambarkan oleh Mollison sebagai budaya permanen atau berkelanjutan dan sistem pertanian yang permanen. Dilihat dari cakupan komponennya permakultur merupakan desain yang menyeluruh untuk menciptakan sistem yang berkelanjutan. Mulai dari manusia, lingkungan beserta seluruh ekosistemnya. (Bersambung)

 

 

*****

 

Exit mobile version