Mongabay.co.id

Berbagai Tantangan Hidupkan Energi Matahari di Pulau Penyalai [2]

 

 

 

 

Pembangkit listrik tenaga surya di Pulau Penyalai bukan barang baru. Sebelum PLTD mengalir ke penjuru pulau ini, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2009 pernah membangun di empat desa yang jauh dari jangkauan pembangkit diesel Teluk Dalam.

Sayangnya, listrik dari energi terbarukan ini tidak bertahan lama. Alhasil satu per satu pelanggan meninggalkannya karena dianggap tidak bisa penuhi energi di rumah mereka. Persoalan utamanya, biaya perawatan terlalu besar dan ketiadaan teknisi untuk perbaiki kerusakan. Makin lama, PLTS tak mampu hasilkan daya listrik lagi.

Desa pertama yang dibangun PLTS, Sungai Solok sekitar 2009. Waktu itu tersambung lebih dari separuh rumah warga. Kecuali Dusun II, sekitar 150 keluarga, karena lokasi dan jarak cukup jauh.

Kala itu, tiap rumah kebagian daya 300 watt. Mereka kena tagihan bulanan Rp30.000, hanya dua tahun listrik berjalan normal. Setelah itu, nyala pada malam hari.

Pada 2017, kondisi PLTS di Sungai Solok makin kacau. Banyak baterai rusak hingga mengganggu aliran listrik ke rumah warga.

Begitu PLTD masuk desa pada 2019, tiga bulan kemudian, PLTS pun berhenti total. Pengelola tidak memiliki cukup dana untuk mengganti baterai.

Pemerintah Desa Sungai Solok juga tak punya anggaran cukup untuk mengelola PLTS yang sudah menjadi aset desa itu. Zainal Abidin, Kepala Desa Sungai Solok  mengatakan,  lebih mengutamakan pembangunan jalan dan akses warga untuk kelancaran distribusi produksi padi ladang dan kebun kelapa.

“Kalau dianggarkan (untuk kelola PLTS) habis dana desa. Andai kata dipaksakan, bisa saja. Tapi tak bisa juga mengaliri listrik semua rumah. Wilayah Sungai Solok luas, tapi penduduk kurang. Rumah-rumah berjarak cukup jauh,” katanya, Juli lalu.

Saat ini, PLTS di Sungai Solok hanya tersisa panel surya dan shelter lengkap dengan peralatan.  Sarana itu sudah dihibahkan ke pemerintah desa dan dijaga dengan baik. Meski kondisi sudah diselimuti semak.

Zainal melarang warga mengambil panel karena akan susah dikontrol kalau satu waktu pemerintah turun mengecek.

Kecuali kabel, dari hasil kesepakatan musyawarah desa, penghubung aliran listrik itu dialihkan ke lorong-lorong untuk menyambung listrik PLTD Teluk Dalam ke rumah warga yang belum terjangkau.

Saat ini, hanya sedikit rumah di Sungai Solok belum teraliri listrik, terutama pemukiman dekat laut.

 

Baca juga: Cerita Upaya Masyarakat Pulau Penyalai Penuhi Energi [1]

Ketua Pengelola PLTS Teluk Beringin, Wasni. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia

 

Wahab dan Poniman, warga Sungai Solok kompak mengatakan lebih puas pakai listrik PLTD ketimbang PLTS. Meski listrik dari matahari berbiaya murah, tetapi terbatas daya. Dengan PLTD,  bisa gunakan peralatan elektronik sepuasnya. Bila habis token tinggal beli pulsa listrik dan isi ulang. Lagi pula, dua sumber energi itu sama-sama hanya nyala pada malam hari.

Bedanya, warga terpaksa merogoh kocek Rp2,5 juta untuk biaya pemasangan instalasi listrik diesel. Sementara kabel hanya dijatah 25 meter tiap rumah. Bila kurang, biaya ditanggung sendiri oleh pelanggan. Sedangkan seluruh biaya pemasangan PLTS ke rumah warga gratis. Warga terima bersih, sekadar sediakan air minum pelepas dahaga bagi petugas ketika bekerja.

“Kalau masyarakat Pulau Penyalai ini masuk surganya karena air minum. Siapa pun datang pasti dikasih minum kopi atau teh. Minimal air putih. Bukan makan dulu,” kelakar Aprizal, warga Teluk Beringin.

Setelah Sungai Solok, giliran Sungai Upih kebagian PLTS. Dibangun pada 2016. Nasibnya sungguh malang. Baru delapan bulan mengaliri listrik rumah warga, tiba-tiba shelter terbakar pada siang bolong. Semua peralatan hangus tak bersisa setelah diperun api. Padahal, pembangkit berjalan normal tanpa ada tanda-tanda kerusakan sama sekali pada instalasi.

Abdul Hakim, Ketua pengelola PLTS, mengatakan,  sudah melaporkan insiden nahas ini ke kepolisian. Polisi juga meminta keterangan dan kronologis peristiwa. Dia juga sudah melaporkan ke perusahaan atau kontraktor yang membangun tetapi belum ada kelanjutan meski tim perusahaan telah meninjau beberapa hari pasca terbakar.

Sementara Pemerintah Desa Sungai Upih tidak dapat berbuat banyak karena status pembangkit masih dalam tanggung jawab PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti)—perusahaan pembangun PLTS—kala itu. Jadi, katanya, belum menjadi aset desa, seperti Sungai Solok yang sudah menerima hibah PLTS, setelah lebih satu tahun beroperasi.

Saat masih beroperasi, PLTS mampu menerangi 400 rumah di Sungai Upih. Itu pun masih ada warga yang belum tersambung karena jauh dari jangkauan. Meski kapasitas lebih besar dari Desa Sungai Solok, tiap keluarga hanya dapat jatah daya 260 watt. Waktu nyala pun hanya malam hari atau mulai pukul 5.00-7.00 pagi.

“Tagihan per bulan Rp30.000. Malahan saya sudah bayar satu tahun. Tapi delapan bulan sudah meledak,” kata Khoiri, Sekretaris Desa Sungai Upih, yang sempat merasakan listrik energi matahari.

Setelah PLTS Sungai Upih terbakar, lebih kurang empat tahun warga menunggu PLTD masuk desa. Selama itu pula, warga kembali pakai diesel pribadi atau kelompok. Bahkan ada yang hanya menggunakan lampu pelita minyak tanah dan lampu stongkeng—petromax, seperti masa-masa belum mengenal listrik.

Sungai Upih yang sempat terang, kembali gelap. Padahal, PLTS sempat memberi penerangan sepanjang jalan utama desa.

“Mantap dulu kampung ini. Terang. Banyak tempat nongkrong malam. Setelah kebakaran PLTS, jadi sepi lagi. Menunggu listrik lagi. Kalau PLTD tak ada pakai lampu penerangan jalan,” ujar Abdul Hakim, Juli lalu.

Hakim mengatakan, saat PLTS masih berfungsi sangat membantu aktivitas warga Sungai Upih pada malam hari, termasuk di bulan puasa. Misal, waktu sahur tak payah hidup mesin diesel lagi. Bahkan tak perlu membeli solar. Hanya saja, anggaran dari iuran bulanan pelanggan dihitung tidak cukup buat biaya perawatan dan penggantian peralatan rusak.

 

Panel Surya di Teluk Bakau setelah tidak berfungsi. Sebagian dititipkan ke masyarakat untuk keperluan di rumah yang berminat memiliki listrik energi matahari secara mandiri. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kapasitas PLTS di Sungai Upih 75 kwp, terbesar dibanding tiga desa lain. Saat ini, hanya tinggal pagar kawat besi. Sementara bekas shelter terbakar tidak meninggalkan jejak. Terlebih lokasi PLTS dibangun sudah jadi semak. Hampir tak dapat diamati lagi.

Adapun panel surya dikumpulkan kepala desa dan dibagikan ke masyarakat yang membutuhkan untuk menghasilkan listrik mandiri di rumah. Tiang dan kabel bekas PLTS dialirkan ke rumah-rumah yang tak terjangkau PLTD.

Di Teluk Bakau, PLTS juga berhenti beroperasi. Bedanya, area pembangkit seukuran 30×50 meter yang dikelilingi pagar kawat besi masih utuh dan dapat ditengok dari tepi Jalan Parit Masjid.

Hanya beberapa panel yang diambil dan menyisakan bolong-bolong pada kerangka atap itu. Agar tak hilang  semua, sebagian panel dititipkan ke rumah warga yang berminat memiliki listrik dari energi matahari secara mandiri.

Letaknya tak jauh dari samping rumah Darwis, Ketua Pengelola PLTS juga mantan Kepala Desa Teluk Bakau. Darwis hibahkan lahan untuk pembangunan PLTS.

Pada 20 Juli 2023, dia mengajak masuk ke dalam shelter yang tidak memiliki radiasi listrik lagi. Isinya masih utuh, inverter sampai baterai masih terpasang pada posisinya.

Dari sanalah listrik mengalir ke seluruh rumah warga tanpa terkecuali. Tiap rumah diberi jatah daya listrik 300 watt. Mereka pun wajib bayar Rp1.000 per hari alias Rp30.000 per bulan ketika petugas datang memungut tagihan. Beda dengan Darwis yang dapat 800 watt karena hibahkan lahan sekaligus bertanggung jawab mengelola PLTS.

Pekerja pembangunan PLTS juga tinggal di rumahnya selama empat bulan. Fasilitas umum seperti kantor desa, posyandu, masjid dan mushalla tidak dipungut biaya.

Lagi-lagi tak berlangsung lama. Baterai satu per satu soak, mengakibatkan aliran listrik dari panas matahari terganggu. Setelah enam tahun tahun mengaliri listrik, akhirnya PLTS mati total.

Darwis yang dibantu dua operator tidak punya cukup biaya untuk mengganti peralatan rusak. Iuran bualan hanya cukup untuk gaji dan perawatan kerusakan kecil.

Zamzami, Kepala Desa Teluk Bakau, tak pungkiri besaran biaya yang harus dianggarkan untuk mengganti baterai rusak. “Peralatannya mahal. Belum ada dirembukkan bagaimana kelanjutannya. Belum ada juga rencana desa memperbaiki atau melanjutkan PLTS itu. Anggaran tidak memadai.”

Dia sempat menikmati listrik surya selama enam tahun. Dia berharap, PLTS menyentuh seluruh masyarakat karena lebih merakyat. PLTS, katanya, sangat membantu dari segi ekonomi. Tagihan PLTS lebih murah ketimbang beli pulsa listrik diesel selama satu bulan. Dengan PLTS, warga juga belajar berhemat menggunakan listrik karena keterbatasan daya. Sebaliknya, ketika memakai PLTD, cenderung boros listrik.

Cerita masuknya listrik di Teluk Bakau cukup panjang. Awal-awal lebih dulu dibangun PLTD oleh pengusaha swasta.  Saat Darwis masih kepala desa. Tiap warga dipungut biaya Rp1 juta untuk bisa terpasang instalasi listrik. Tahap awal cukup bayar 30% sebelum pembangkit diesel dibangun.

Sempat tak ada kepastian mengenai proyek ini. Sementara warga sudah membayar hingga setengah dari biaya yang dipatok. Darwis sampai dua kali bolak-balik ke Pekanbaru menemui pengusaha yang menjanjikan listrik ini.

Beruntung, pengusaha itu memenuhi janji. Listrik pun mengalir ke rumah-rumah warga dengan tagihan hingga Rp300.000. Tergantung banyaknya pemakaian.

Listrik itu pun hanya berjalan dua tahun dengan durasi delapan jam. Mulai pukul 5.00-1.00 pagi. Setelah terjadi kerusakan berat dan berhenti operasi, Teluk Bakau kembali dirundung gelap.

Darwis dengan sisa masa jabatannya, putar otak mencari sumber energi baru. Dia tertarik dengan PLTS Sungai Upih—sebelum terbakar. Lalu buat proposal ke Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Pelalawan. Tak sampai satu tahun, permohonan terpenuhi.

PLTS di sebelah rumah Darwis beroperasi setelah tidak lagi menjabat sebagai kepala desa. Atas jasanya, dia ditunjuk sebagai ketua pengelola. Meski listrik tenaga matahari itu tidak berfungsi lagi, Teluk Bakau kini telah dialiri listrik dari PLTD milik PLN. Darwis merasa tidak menjadi beban lagi, karena tidak ada rentang waktu peralihan PLTS ketika terseok-seok ke PLTD. Seperti yang sempat terjadi di tengah masa jabatannya.

“Dibanding PLTD, PLTS murah dan hemat biaya. Cuma modal matahari. Masyarakat yang tersambung PLTS juga tidak dipungut biaya. Pemasangan gratis. Terima bersih. Cukup bayar tagihan bulanan.”

Kalau PLTD, katanya,  ada bayar pemasangan instalasi sampai jutaan. “Memang beda di daya listrik aja. Kalau PLTS ya terbatas 300 watt saja tiap hari.”

Satu-satunya PLTS di Pulau Penyalai yang masih aktif ada di Desa Teluk Beringin, merupakan lokasi terakhir dari KESDM. Kapasitasnya 60 kwp yang dihasil lewat 300 modul atau papan panel surya dengan 30 box kompiner di bawah kerangka panel terpasang. Sedangkan dalam shelter ada 10 unit ACC atau Solarcon SCO, namun enam tidak berfungsi lagi.

 

 

Kepala Desa Sungai Solok, Zainal Abidin. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, dalam shelter juga dilengkapi panel DC, 168 baterai, tiga inverter dan satu panel AC. Dari sinilah,  energi matahari mengalir ke 239 pelanggan atau rumah. Tiap pelanggan dapat jatah 300 watt.

Awalnya,  masih berfungsi 24 jam namun saat ini hanya mengaliri 50% listrik ke rumah warga.

Warga yang masih bertahan gunakan PLTS dan PLTD,  cuma bayar tagihan Rp20.000. Durasi nyala hanya pukul 5.00- 7.00 pagi. Waktu masih beroperasi 24 jam, tiap pelanggan kena biaya Rp40.000. Lebih besar dibanding tagihan tiga desa sebelumnya. Kini, pelanggan tak sampai 200 warga.

Wasni, Ketua Pengelola PLTS, mengatakan, tidak ada teknisi lokal yang mampu perbaiki kerusakan. Sedang dia hanya operator untuk memastikan hidup dan matinya listrik, selain mengecek jaringan dan ke lapangan atau rumah para pelanggan.

“Perbaikan saya gak bisa. Kecuali sikit-sikit. Kalau terkunci apalagi main internet saya kurang paham,” katanya. Dia hanya mengenal nama-nama alat di pembangkit.

PLTS Teluk Beringin, tampak mengikuti jejak pembangkit listrik tenaga surya sebelumnya. Menunggu waktu mati kalau tidak ada perbaikan dan kepedulian pemerintah untuk mempertahankan energi terbarukan di pulau bergambut itu.

“Lama-lama PLTS Teluk Beringin pasti mati. Sekarang sudah macet. Ibarat kata orang, hidup enggan mati tak mau,” kata Aprizal, warga Teluk Beringin, juga pelanggan PLTS.

Di tengah PLTS mati suri di empat desa Kuala Kampar, investor dari Singapura pernah melirik Pulau Penyalai untuk pembangunan skala besar.

Zainal benarkan itu. Seorang pengusaha pernah datang membicarakan proyek ini. Dia juga mengajak pengusaha yang mengaku dari Batam meninjau lokasi. “Dia mau 100 hektar lahan. Kami menyanggupi. Setelah itu tak ada tindak lanjut.”

Begitu juga di Desa Tanjung Sum. Pendamping Desa, M Jeffri, telah mengkonfirmasi kabar tersebut dan dibenarkan ada survei lokasi oleh kepala desa bersama pengusaha.

Anton Sujarwo, Kaur Keuangan Desa Teluk, juga tidak membantah. Tahun lalu, pengusaha pernah menyambangi kantor desa membicarakan hal itu. Bedanya, tak ada tinjauan lokasi, sekedar obrolan singkat.

Mongabay mendatangi kantor PLN Wilayah Riau-Kepulaun Riau di Jalan Musyawarah, Kelurahan Labuh Baru Barat, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru, 3 Agustus 2023. Mongabay mau menanyakan menyangkut komitmen transisi energi PLN terutama di Riau.

Wili, pegawai di sana mengatakan pimpinan di luar kota mendampingi anggota Komisi VII DPR. Dia janji menyampaikan permintaan wawancara.

Dihubungi, tiga hari kemudian, Wili mengatakan pimpinan sedang di Jakarta. Keesokan harinya, Wili minta kirim sejumlah pertanyaan terlebih dahulu, sampai berita terbit tak ada balasan.

Suriadi Darmoko,  Finance Campaigner 350 Indonesia, mengatakan, sebelum menurunkan hibah, KESDM perlu memastikan ada kesiapan kelembangaan dari desa atau komunitas. Karena tidak ada payung kebijakan atau standar jelas, katanya, maka banyak proyek top down apalagi bukan atas permintaan dari masyarakat seringkali proyek mangkrak atau tidak terurus.

Jadi, katanya, kapasitas masyarakat atau komunitas mesti dibangun terlebih dulu. “Kalo proyeknya diimplementasikan hanya menggunakan kacamata serapan anggaran, asal anggaran terserap, maka proyek-proyek pembangkit listrik terbarukan justru tidak sesuai keinginan. Bukan menjadi solusi tapi menjadi masalah baru,” katanya.

Bicara Pulau Penyalai, dengan konsumen tersebar di empat desa, kalau proses benar, seharusnya PLTS bisa beroperasi sesuai umur operasionalnya. “Benar,  maksudnya ada pendampingan ke warga calon penerima manfaat.”

Kalau proses benar juga memungkinkan PLTS itu dikelola oleh BUMD. “Aneh jika PLTS ada dan terbengkalai sementara BUMDnya justru membeli listrik dari swasta untuk dijual ke warga.”

Di Penyalai, katanya, BUMD bisa juga jadi fasilitator dalam meningkatkan kapasitas tenaga lokal untuk perawatan. Kemudian pengelola PLTS dari empat desa itu bekerja sama dengan BUMD dalam menyerap produksi listriknya.

Pemerintah juga bisa dukung pendanaan pembangkit di level tapak ini, salah satu lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Di Penyalai ini, katanya, dana JETP bisa untuk pelatihan dan pengembangan kapasitas teknik maupun manajemen dalam pengelolalaan pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas di PLTS. Juga untuk menutupi biaya rekativasi PLTS, termasuk jika ada kebutuhan peningkatan kapasitas dan pengembangan jaringan ketengalistrikan di empat desa itu.

Kalau dukungan pendanaan itu bersumber dari dana hibah JETP, katanya, itu akan berkontrihusi langsung pada peningkatan bauran energi terbarukan dan pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan.

“Ini memungkinkan warga mentransisikan sumber listrik fosil atau  setidaknya mengurangi ketergantungan pada pembangkit yang sumber listrik masih didapat dari pembakaran energi fosil ataupun biomasa,” kata Moko, sapaan akrabnya.

Dengan begitu, kalau pendanaan JETP tersalur untuk rekativasi PLTS maka dua poin itu berkontribusi pada target utama kesepakatan JETP.

 

Panel Surya PLTS Sungai Solok masih utuh meski telah diselimuti semak. Tidak beroperasi lagi setelah baterai banyak rusak. Foto Suryadi/ MOngabay Indonesia

 

 

Masih bertumpu energi fosil

Selain PLN Wilayah Riau-Kepulauan Riau, penyuplai listrik ke rumah di Pelalawan adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Tuah Sekata.

Ini adalah pemain listrik pertama ketika daerah ini berpisah dari Kampar. Saat itu, Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jafar, mendirikan perusahaan daerah ketika rasio elektrifikasi di kabupaten baru ini masih sangat rendah.

Pemerintah Pelalawan terlebih dahulu membangun jaringan seperti tiang dan menghubungkan kabel, sebelum Tuah Sekata mengalirinya ke dua wilayah kerja, sebagian Kecamatan Pangkalan Kerinci dan hampir seluruh  Kecamatan Pelalawan. Sampai saat ini, Tuah Sekata  memiliki 10.800 pelanggan rumah tangga.

Pelanggan Tuah Sekata potensi masih akan bertambah. Mengingat, wilayah usaha yang berada di perkotaan terus berkembang terutama pembangunan pemukiman baru. Lagi pula, Pemerintah Pelalawan juga tengah mencanangkan program 1.000 rumah subsidi bagi para pegawai pemerintah daerah.

Masalahnya, sumber energi yang dialirkan Tuah Sekata ke rumah tangga pelanggan berasal dari pembangkit milik PT Riau Prima Energi (RPE) yang berbahan fosil. RPE, anak usaha PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), April Group, memilik pembangkit listrik tenaga biomassa berbahan limbah hitam cair, batubara dan gas.

Mengutip investor.id: April Group Melalui Riau Prima Energi Tingkatkan Pasokan Jadi 15 MW, RPE mengklaim lindi hitam atau black liquor yang mengandung padataan 70%-72% hasil daur ulang proses pembuatan kertas merupakan energi baru dan terbarukan. Utamanya, listrik yang dihasilkan untuk menunjang aktivitas industri RAPP. Kelebihannya itulah dijual ke Tuah Sekata.

Hingga saat ini, RPE telah menyuplai 5,7 megawat ke Tuah Sekata dan telah dialiri 4,7 megawat. Dua tahun lalu, Direktur Utama Tuah Sekata T Efrisyah Putra mengajukan penambahan menjadi 7 megawat tetapi belum disetujui. Penambahan daya ini berkaitan dengan rencana peningkatan pelanggan termasuk perluasan wilayah usaha.

“Ada keinginan mengelola listrik lebih besar tapi tergantung izin pemerintah untuk penambahan wilayah usaha. Perkembangan hari ke hari, listrik terus beri keuntungan. Harus diwujudkan bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah,”  kata Putra, sapaan akrab T Efrisyah Putra, Agustus 2023.

Pemerintah Pelalawan pernah mendirikan PT Langgam Power untuk menghasilkan listrik sendiri lewat Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG). Ia mulai operasi pada 25 Oktober 2013. Perusahaan ini merupakan kongsi dengan investor Navigate Energi. Tuah Sekata terlibat dalam pembelian gas melalui Energi Mega Persada sebagai bahan baku PLTMG.

Awal operasi, Langgam Power menghasilkan 15 megawat listrik dan mulai saat itu ditargetkan terus bertambah menjadi 50 megawat hingga 200 megawat pada 2022. Cita-citanya, selain mewujudkan Pelalawan terang, juga menjadikannya kabupaten mandiri energi dan penyuplai listrik ke luar daerah.

Akhir Maret 2018, operasi terhenti karena PLN memutus kerjasama pembelian daya listrik. Mimpi Pemerintah Pelalawan belum jadi kenyataan di tengah rasio elektrifikasi daerah itu belum capai 100%.

Di tanya soal peralihan ke energi bersih, Putra juga berminat tetapi masih keinginan semata. Belum tertuang dalam rencana program yang akan dijalankan perusahaan daerah yang sudah memasuki usia 20 tahun  itu.

 

Ketua Pengelola PLTS Teluk Bakau ajak ke dalam shelter. Sebagian peralatan masih dalam kondisi baik. Hanya baterai yang banyak rusak. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Perkiraannya, baru mulai sekitar dua sampai 10 tahun ke depan. Kalau ada peluang, dia hendak menjadikan Kuala Kampar, khusus Pulau Penyalai, sebagai pilot proyek. Tidak hanya energi matahari, bahkan angin dan gelombang laut.

Bayangannya, Kuala Kampar jadi contoh penghasil energi terbarukan di Riau. Alasan Putra yang jadi peluang besar, listrik di Penyalai belum mengalir 24 jam dan masih ada beberapa pemukiman desa terisolir.

Dia juga merujuk salah satu kategori desa tertinggal, apabila belum teraliri listrik. Soal PLTS empat desa di Penyalai terbengkalai, Putra dengan senang hati ambil alih kelola jika ada perintah dari bupati. Modelnya bisa kerjasama dengan BUMDes.

Selain Penyalai, Putra berpikir pengembangan energi terbarukan dengan membangun pembangkit listrik ramah lingkungan juga bisa menyasar desa-desa yang masih mengelola listrik secara mandiri dengan diesel. Dengan kata lain, belum tersentuh oleh PLN maupun Tuah Sekata.

Dia pikir itu juga tanggung jawab perusahaan daerah untuk membantu dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Putra menyadari akan terjadi krisis energi jika terus berharap pada bahan baku fosil. Peralihan perlu dorongan semua pihak. Dukungan itu tidak terlepas dari bupati, sebagai pemegang saham Tuah Sekata dan DPRD Pelalawan, termasuk tokoh masyarakat dan agama. Terlebih pemuda dan media untuk beri sumbangsih pemikiran. Apa lagi harus yakinkan investor.

“Terus beri kontribusi bagi pembangunan daerah. Harapannya tidak semata hasilkan PAD (pendapatan asli daerah). Juga kurangi angka pengangguran dengan penambahan tenaga kerja,” kata Putra yang juga membawa Tuah Sekata merambah bisnis pangan dengan membeli beras produksi petani Penyalai.

Tengku Zulfan, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), mengatakan,  Pemerintah Pelalawan menganggap penting isu lingkungan. Karena itu, dalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) memuat target pemulihan lingkungan hidup.

Mengenai energi terbarukan, Pemerintah Pelalawan belum memiliki target atau program. Alasannya, menyangkut kewenangan pemerintah. Meski begitu, kata Zulfan,  pemerintah kabupaten akan selalu mendukung dan sambut baik program pemerintah pusat dalam hal penyelamatan lingkungan, seperti peralihan dari energi fosil ke terbarukan.

“Terkait energi terbarukan Pelalawan sangat mendukung dan jadi salah satu poin penting. Tinggal penerapannya. Saat ini, baru tersedia energi matahari. Kalau energi angin, menurut penelitian belum menguntungkan. Begitu juga energi lain. Belum nampak yang bisa digunakan,” katanya.

Apalagi, kata Zulfan, Pelalawan pernah jadi obyek penerapan energi terbarukan, lewat pembangunan PLTS terpadu di Kuala Kampar, tepatnya empat desa di Penyalai.

Pemerintah Pelalawan juga menunjukkan dukungan terkait pemanfaatan energi matahari dengan pembuatan penerangan jalan umum hingga titik-titik tertentu untuk mendukung aktvitas di fasilitas umum. Itu dengan biaya pemerintah daerah dan dukungan dana perusahaan swasta.

Soal kondisi PLTS terbengkalai, Zulfan bilang akan berinteraksi dengan KESDM untuk menindaklanjuti karena telah diserahkan pada pemerintah desa.

Andai PLTS kembali operasi, Zulfan usul dimanfaatkan untuk operasi penggilingan padi di Desa Solok dan Sungai Upih. Sebab, akhir tahun ini, Pulau Penyalai ditargetkan terang 24 jam lewat kabel laut dari Desa Sokoi, seberang Penyalai.

PLTS jadi energi paling diminati di Pelalawan. Selain di Penyalai, Zulfan bilang sudah membicarakan proyek itu dengan PLN Wilayah Riau-Kepulauan Riau untuk dibangun di Desa Serapung. Itu masih bagian dari Kuala Kampar, namun terpisah daratan dengan Penyalai.

Selain itu, investor dari Korea juga pernah menemui Bupati Pelalawan membincangkan ihwal proyek PLTS skala besar di Desa Sokoi tetapi untuk kebutuhan Singapura.

Rencana itu, katanya,  masih sebatas penjajakan. Proyek ini dianggap strategis karena saat bersamaan Pemerintah Riau juga tengah membangun Jalan Lintas Bono hingga mempermudah jalur darat ke Sokoi yang berbatasan dengan Kepulauan Riau.

Lintas Bono utama untuk mendukung pariwisata ombak Bono yang terkenal untuk berselancar di hulu Sungai Kampar. Jalur sepanjangan 233,59 kilometer ini dibangun Pemerintah Riau dengan tiga tahap. Mulai dari Simpang Kecamatan Bunut, Pelalawan sampai Pulau Guntung, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir. Menelan biaya Rp 93,86 miliar.

Bicara soal anggaran, menurut Triono Hadi, Koordinator Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (Fitra) Riau, pemerintah daerah memang punya peluang untuk menggaet pendanaan transisi energi bersih dengan mendorong keterlibatan berbagai pihak.

Antara lain, katanya,  lewat skema hibah dari swasta atau dengan dana tanggung jawab sosial perusahaan. Juga bisa melalui perizinan usaha yang dikeluarkan pemerintah daerah dengan mensyaratkan transisi energi pada penerima izin.

Selain itu, bisa melakukan kerja sama internasional meski pun skemanya harus melalui pemerintah pusat, sebelum didistribusikan ke daerah. Ada juga peluang kerjasama pembiayaan campuran yang disebut blended finance untuk satu proyek yang akan dikerjakan. Model ini kerap diterapkan pada pembangunan jalan bebas hambatan (tol). Dalam hal transis energi, bisa digunakan membangun PLTS.

Triono menyinggung skema pinjaman melalui BUMN PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) di bawah Kementerian Keuangan yang pernah diajukan Pemerintah Kota Jambi, guna membangun 12 proyek yang diklaim akan menghasilkan PAD. Mengingat, SMI konsen pada pembangunan infrastruktur hijau terutama untuk sektor energi.

“Sebab kontribusi APBD terbatas sehingga ruangnya kecil untuk mendukung upaya pengelolaan lingkungan hidup, salah satunya transisi energi. Sehingga banyak komitmen bagus pemerintah daerah, secara implementasi gak berjalan baik karena ketersediaan anggaran,” kata Triono, 2 Agustus lalu.

Pemerintah daerah juga perlu memikirkan pendanaan transisi energi lewat hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti tertuang dalam UU 1/2022. Aturan itu menjelaskan dua macam dana transfer pusat ke daerah. Ada dana bagi hasil pajak. Berupa PBB, PPh 21, PPh 29, PPn dan cukai tembakau.

Adapun komponen bukan pajak atau juga disebut bagi hasil sumber daya alam, terdiri lima jenis yang didistribusikan pusat ke daerah. Antara lain, kehutanan berupa dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan. Kemudian, minyak dan gas, perikanan, mineral dan batubara serta panas bumi. Terbaru adalah dana bagi hasil minyak sawit.

Selain itu ada pula Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sifatnya sektoral termasuk kesehatan, kehutanan dan lainnya. Ada lagi Dana Insentif Daerah yang dikucurkan berdasarkan kinerja pemerintah daerah dalam hal anggaran dan pembangunan. Terakhir, hanya diberikan ke daerah tertentu, adalah dana keistimewaan seperti Yogyakarta dan dana otonomi khusus untuk Papua.

Hibah pemerintah pusat untuk daerah yang dijelaskan Triono diawal juga tergolong dana transfer pusat ke daerah. “Semua sumber pendanaan itu bisa digunakan untuk program transisi energi di daerah.”

Walau sudah ada mandat penggunaannya, tetapi ada ruang diskresi fiskal yang dimiliki pemerintah daerah. Setelah semua pendapatan daerah yang diterima, tahun itu, dikurangi dengan kebutuhan wajib. Sisanya itulah yang disebut ruang diskresi.” (Selesai)

 

Kabel listrik PLN dibentang dengan tiang kayu di lorong pemukiman. Jaringan PLN hanya ada di jalan utama. Foto Suryadi./Mongabay Indonesia

*******

 

*Liputan ini terselenggara atas kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org

Exit mobile version