Mongabay.co.id

Kala Abrasi Gili Matra Makin Parah

 

 

 

 

 

Puluhan siswa sekolah dasar itu terlihat bersemangat. Mereka kenakan celana pramuka dan kaos, saling berebut bibit cemara laut untuk ditanam di bibir pantai Gili Meno, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Aksi menanam ini sebagai upaya penanganan karena abrasi makin menggila di  Taman Wisata Gili Matra,  yang mencakup perairan Gili Meno, Gili Ayer dan Gili Trawangan.

Pagi, 14 Juli lalu, orang-orang berkumpul menanam pohon di sana. Ada siswa SD, juga perwakilan berbagai lembaga, seperti Bappenas, Kementerian Kelautan dan Perikanan sampai Kementerian Keuangan mengikuti kegiatan itu.

Tonny Wagey, Direktur Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF,) selaku inisiator kegiatan mengatakan, penanaman itu sebagai satu upaya menahan laju abrasi di sana.

“Ini hanya salah satu instrumen. Selain menanam, ada banyak instrumen lain,” katanya.

Soal pemilihan bibit cemara laut, katanya,  setelah berbagai pertimbangan, salah satu kontur pesisir berpasir putih jadi lebih cocok cemara laut ketimbang mangrove atau spesies lain. “Karena kalau mangrove itu butuh [lahan] agak basah,” katanya.

Masrun, Kepala Dusun (Kasun) Gili Meno, benarkan, abrasi di pulau berpenduduk 265 keluarga itu kini kian mengkhawatirkan. Garis pantai kian mundur ke belakang karena tergerus gelombang.

“Kalau 10 tahun ini kira-kira ada kalau 50 meter,” katanya.

Pada 2019, atas inisiatif dusun, dia mengumpulkan para pelaku usaha di Gili Meno. Dia ingin mereka memiliki pemahaman soal ancaman abrasi. Sejumlah pakar dari perguruan tinggi turut dilibatkan.

 

Jalan dekat pantai ini tak jarang tergenang air laut. Saat ini jalan sudah diberi tanggul. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Sejak itu, beberapa pengusaha yang ada di pinggiran pantai mulai berupaya melakukan penanggulangan dengan memasang bronjong di sisi selatan dan karung pasir di sisi Utara. Ada juga yang memasang block decker dan melepas batu kali di pinggiran pantai.

Sayangnya, usaha itu tak cukup kuat menahan terjangan gelombang. Alih-alih teratasi, upaya penanggulangan itu justru memicu abrasi di tempat lain.

“Di sini dipasang, sebelahnya yang kena. Begitu terus,” terang Masrun.

Situasi itu membuatnya sadar kalau upaya mandiri tak akan berjalan maksimal. Hingga kemudian dia membangun kolaborasi dengan melibatkan lintas komunitas. Selain menanam, mereka banyak merehabilitasi terumbu karang di Gili Meno. “Karena itu juga berpengaruh.”

Sutarpo, Ketua Meno Lestari, komunitas yang konsen pelestarian terumbu karang menceritakan, bagaimana abrasi pantai berlangsung cepat. Bahkan, dia tak ingat lagi sudah berapa kali jalan di sisi kanan dermaga itu bergeser karena terus tergerus gelombang.

Bagi warga, jalan selebar sekitar dua meter itu sangat penting karena menjadi akses wisatawan mengelilingi pulau. “Kalau pas rob, air laut juga naik. Ada juga bungalow yang kena, masuk airnya,” kata Sutarpo.

Sekitar 10 tahun lalu, pantai yang terkena abrasi itu banyak dipenuhi pohon setigi. Cukup lebat hingga menyulitkan warga untuk lewat. “Karena air laut naik terus, pohon-pohonnya banyak mati.” Sekarang, pohon-pohon itu masih bisa dijumpai di sisi barat pulau, tetapi tidak banyak.

Sutarpo bukan warga asli Gili Meno. Dia lahir di Wonogiri, lalu merantau ke Bali setelah tempat tinggalnya terdampak proyek Bendungan Gajah Mungkur di Wonogiri.

Tahun 1998, Sutarpo bujang diminta bosnya membantu pembangunan hotel di Gili Nemo. Setahun kemudian, dia menikahi gadis setempat dan menetap di pulau berpenduduk 265 keluarga ini.

 

Anak-anak ikut menanam cemara Cina di Gili Meno. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

Ketika awal menginjakkan kaki di Gili Nemo, dia masih menjumpai ada banyak petani garam atau budidaya rumput laut. Industri pariwisata yang masuk ke sana pelan-pelan menggeser pekerjaan itu.

Tahun 2005, dia berinisiatif membentuk Meno Lestari, komunitas yang peduli kelestarian Gili Meno. Dia sadar, kian ramainya wisatawan yang berkunjung ke sana hingga memengaruhi sosio-ekologi setempat.

Secara sosial, banyak warga berganti pekerjaan. Dari petani atau nelayan beralih menjadi pemandu wisata, penyedia akomodasi maupun jasa lain. Sedangkan secara ekologi, banyak wisatawan menyebabkan terumbu karang rusak.

“Saya kemudian masuk ke lembaga pendidikan dan melibatkan para siswa melakukan transplantasi terumbu karang dengan media pipa,” katanya.

Dia menyebut, saat awal pembentukan dulu, Meno Lestari hanya memiliki tujuh anggota. Kini sudah ada 22 orang, termasuk para pemuda. Dari jumlah itu, hanya lima belum memiliki lisensi diving.

Muslim, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (KKP) NTB mengatakan, sebagai destinasi internasional, Gili Matra memiliki ragam persoalan penting termasuk abrasi yang perlu penanganan multi pihak.

Persoalan lain, adalah sampah. Menurut dia, tingginya wisatawan mengakibatkan timbunan sampah terus bertambah dari pengunjung maupun hotel.

“Ke depan,  perlu didorong beban lingkungan juga menjadi beban bersama,” katanya.  Dia mengusulkan agar ada berbagi pendapatan.

Terkait abrasi, Muslim bilang sebelumnya telah lakukan kajian oleh para ahli. KKP dan Kemenko Maritim dan Investasi juga sempat turun untuk melakukan peninjauan. “Mereka menyampaikan akan membangun break water untuk memecah gelombang. Tahun ini mulai.”

Bagi Muslim,  abrasi ini tak lepas dari perubahan tata ruang di tiga pulau destinasi wisata internasional itu. Banyak sempadan pantai beralih fungsi menjadi bangunan.

 

Hotel berada di tepian pantai. Sesuai aturan, bangunan termasuk hotel, cafe tak bisa dibangun dekat pantai. Area itu merupakan wilayah publik. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Padahal, katanya, merujuk Perpres Nomor 51/2016, wilayah itu harus bersih dari bangunan. Pemanfaatan tata ruang, katanya,  harus merujuk pada daya dukung dan daya tampung wilayah.

Yang terjadi pada Gili Matra,  tidak demikian. Garis pantai saat ini, hampir seluruhnya penuh bangunan café dan atau restoran hingga mengganggu keseimbangan ekosistem.

Dia yakin, kalau kondisi itu tidak dibenahi, lambat laun, Gili Matra bukan hanya tak menarik bagi wisatawan juga tak layak ditinggali.

“Dulu sempat bersih, tapi kemarin saya lihat (sempadan) itu sudah ramai lagi. Ini perlu penegasan,” katanya.

Abrasi ini, katanya,  menunjukkan tak ada sesuatu yang memperlambat gelombang. Untuk itu, menjaga tiga ekosistem yakni terumbu karang, padang lamun, maupun vegetasi di pesisir sangat penting karena dapat menghalau gelombang.

“Artinya, antara di darat dan laut harus berjalan selaras. Di darat tata ruang seperti apa, di laut apakah ekosistemnya baik-baik saja?”

Muslim pun menyarankan dua hal untuk menanganinya, pertama,  dengan membuat rekayasa lewat terumbu karang buatan atau ekosistem lamun. Kedua, penertiban di sempadan pantai, sesuai Perpres 51/2016 atau Keputusan Menteri KKP 21/2018.

Sri Yanti, Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, mengatakan, sebagai negara kepulauan, abrasi menjadi persoalan paling besar saat ini. Bahkan, kedaulatan negara pun berpotensi terancam kalau tidak tertangani.

Dalam catatannya, Indonesia memiliki lebih 100 pulau yang berstatus sebagai pulau terkecil dan terluar. “Beberapa kajian menyebut, ada 30 terancam tenggelam pada 2030 mendatang. Itu pasti akan berpengaruh terhadap garis kedaulatan sebuah negara,” katanya.

 

Abrasi terus menggila di Gili Meno. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Yanti bilang, ada dua faktor penyebab abrasi. Pertama, faktor alam. Seperti cuaca dan peningkatan muka air laut. Kedua, ulah manusia. Seperti abrasi di Gili Matra, kata Yanti, lebih karena ulah manusia.

Abrasi ini, katanya, akan menyebabkan luas pulau berkurang. “Ini bukan hanya mengancam masa depan pulau, juga manusia di dalamnya.”

Karena itu, dia pun mengajak semua pihak melakukan upaya serius mencegah abrasi terjadi tidak terus berlanjut.

Secara nasional, kata Yanti, Bappenas sudah menyusun dokumen terkait rencana aksi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Oleh Bappenas, dokumen itu telah diturunkan lagi ke level kabupaten. Dengan begitu, kesepakatan-kesepakatan itu mulai provinsi sampai nasional.

Dia bilang, penegakan hukum menjadi instrumen utama dalam menindak kegiatan pembangunan tak sesuai tata ruang. Kalau tidak, sulit untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil.

Imam Fauzi, Kepala Balai Kawasan Konservasi Nasional di Kupang, mengamini pernyataan Sri Yanti. Menurut dia, ulah manusia hingga abrasi terjadi di banyak tempat dan makin parah. “Dalam konteks Gili Matra adalah aktivitas pariwisata,” katanya.

Dia bilang, Gili Matra hanyalah satu dari delapan kawasan konservasi di Indonesia Timur yang dikelola BPKKN. Dari kedelapan wilayah konservasi itu, paling luas Perangkat Sewu mencapai 3,3 juta hektar.

Penanganan abrasi hanya bisa secara komprehensif melibatkan multi pihak. Kalau parsial, katanya,  tak akan menyelesaikan persoalan. Satu sisi ditangani, akan muncul lagi di sisi yang lain.

“Maka penanganan harus secara menyeluruh, disertai kajian pola oceanografinya seperti apa. Itu kuncinya.”

Fauzi mengatakan, pulau-pulau kecil memiliki akosistem yang tidak dapat dipisahkan antara daratan dengan laut. Keduanya,  saling berkaitan dan mempengaruhi.

Dari hasil analisanya, abrasi di sana terjadi dampak kerusakan terumbu karang karena marak penggunaan bom ikan. “Dulu, disana memiliki karang begitu bagus. Kemudian aktivitas bom ikan marak. Karang rusak, mulailah abrasi sampai sekarang,” katanya.

Saat ini, mereka tengah menyiapkan pemasangan struktur secara alami. Harapannya, dengan struktur ini akan tumbuh terumbu karang dan bisa menjadi penahan alam guna mengurangi kekuatan gelombang yang menuju pantai. Dia perkirakan, hasil upaya itu akan kelihatan setelah empat tahun.

Dalam jangka pendek, katanya,  harus ada solusi atas abrasi di Gili Matra. Begitu juga dengan wilayah sempadan pantai yang banyak berubah.

Fauzi menjelaskan, sempadan pantai merupakan wilayah publik yang tidak boleh dimiliki siapapun. Kenyataan, di Gili Matra malah sebaliknya. Di Gili Trawangan, misal, hampir seluruh sempadan jadi restoran dan kafe.

“Pantai ini area publik. Harusnya tidak dikapling untuk sarana penunjang restoran, cafe dan sebagainya,” katanya.

Dia bilang, perlu ketegasan pemerintah daerah untuk mengatur. “Apa yang jadi area publik, ya dikembalikan sebagaimana mestinya. Tidak boleh ada penguasaan disitu, tidak boleh ada pengakuan kepemilikan disitu. Pelan-pelan kita benahi.”

 

Gili Matra, sebagai pusat wisata, mestinya terkelola secara berkelanjutan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version