Mongabay.co.id

Muara Enggelam, Desa “Role Model” PLTS Komunal di Kalimantan Timur

 

 

Muara Enggelam merupakan desa terpencil di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara [Kukar], Kalimantan Timur [Kaltim]. Diperlukan perjalanan darat dua jam dari Kecamatan Tenggarong, Ibu Kota Kukar, dilanjutkan mengarungi sungai satu jam, menuju desa yang berada di tengah Danau Melintang ini.

Desa berpenduduk 700 jiwa dengan 174 kepala keluarga [KK] ini, hanya memiliki  potensi ekonomi olahan ikan air tawar. Usaha kecil mikro dan menengan [UMKM] ikan asin kemasan menjadi andalan di sini.

Keseharian, masyarakat Muara Enggelam [Mueng] menggunakan bahasa Suku Kutai, sehingga nuansa adatnya begitu terasa.

Sinyal telekomunikasi merupakan barang mewah di sini. Warga harus keliling, ke titik tertentu untuk mendapatkannya.

“Geser sedikit hilang. Biasanya malam, agak stabil,” kata Doni Oni, Ketua Kelompok Informasi Masyarakat [KIM] Muara Enggelam, Kamis [27/7/2023].

 

Gerbang Desa Muara Enggelam di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara [Kukar], Kalimantan Timur. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Meski di pelosok, lanjut dia, Muara Enggelam merupakan desa wisata berperstasi. Beberapa kali menjuarai lomba gapura tingkat nasional.

“Di pintu masuk desa, dibuat gapura dan pagar ulin raksasa. Pagar menjadi benteng, penahan angin saat badai atau hujan deras,” paparnya.

Tidak hanya itu, Muara Enggelam tercatat sebagai desa percontohan atau role model pengelolaan listrik tenaga surya secara mandiri.

“Desa ini sukses mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Surya [PLTS] secara komunal, melalui Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] Bersinar Desaku,” terang Doni.

 

Panel PLTS Komunal Muara Enggelam yang dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] Bersinar Desaku. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

PLTS ramah lingkungan

Pengurus BUMDes Bersinar Desaku, Ramsyah, mengatakan sudah empat kali mendapat undangan dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral [ESDM]. pihaknya diminta mengisi materi skala nasional, tentang pengelolaan PLTS berbasis komunal.

“Kami mendapat kepercayaan menjadi pembicara, karena kami menjadi role model pengelolaan PLTS Komunal di Indonesia,” katanya [27/7/2023].

Ramsyah merupakan mantan Direktur BUMDes Bersinar Desaku. Sejak 2015, dia dipercaya mengelola PLTS, mulai dari perawatan hingga regulasi dan retribusi.

Sebelum mendapat bantuan PLTS senilai Rp4 miliar dari Kementerian ESDM, warga Muara Enggelam lebih dulu menggunakan generator set [genset] bantuan Pemerintah Kabupaten Kukar. Dikarenakan biaya perawatan mahal, genset hanya digunakan malam hari.

“Genset beroperasi dari jam 6 petang sampai 6 pagi. Mesin ini mengeluarkan asap hitam dan suaranya keras. Ada 4 unit yang disebar di 4 RT,” ungkapnya.

Jika satu genset rusak, maka tiga lainnya menopang listrik di wilayah RT yang gelap. “Perbaikan satu mesin bisa berhari.”

Masalah lain yang kerap timbul adalah tunggakan retribusi warga. Jika ada yang nunggak, otomatis solar tidak tercukupi. Setiap kepala keluarga harus membayar iuran Rp10 ribu per hari. Jika diakumulasi, rata-rata Rp300 ribu per bulan.

“Satu mesin memerlukan solar 15 liter, harganya Rp67.500. Kalau pakai minyak,  mesin hanya kuat sampai tengah malam.”

Menurut Ramsyah, angka tersebut cukup mahal. Ini bisa dibandingkan dengan biaya Rp300 ribu yang digunakan masyarakat perkotaan yang menikmati listrik PLN selama 24 jam.

“Tidak ada kulkas maupun AC. Hanya kipas angin dan TV, itu pun kalau punya. Puluhan tahun kami merasakan sulitnya mendapat listrik. Tidak ada gunanya peralatan elektronik,” katanya.

 

Rumah panel PLTS Komunal di Muara Enggelam. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2014, Pemkab Kukar mengabarkan adanya bantuan 150 unit panel surya ramah lingkungan.

“Kami langsung membuat panggung untuk wadah panel ukuran 20 m x 20 m dengan tinggi tinggi 15 meter. Arahnya, menghadap matahari. Untuk baterai dan regulator, kami buatkan rumah khusus, di samping panggung panel,” jelasnya.

Awal 2015, PLTS Komunal beroperasi. Warga gembira, bisa menikmati aliran sepanjang hari. Sebanyak 160 rumah mendapat jatah 30 kilowatt [KWp] seharga Rp3 ribu per hari.

“Lalu kami tambah, menjadi 42 KWp. Ini difungsikan untuk fasilitas umum seperti masjid, penerangan jalan, puskesmas, dan sekolah,” jelasnya.

Pemdes Muara Enggalam pun membuat peraturan desa [perdes] tentang pengelolaan PLTS, termasuk biaya retribusi dan perawatan. Masyarakat wajib membayar tarif sebesar Rp100 ribu per bulan, dari akumulasi Rp3 ribu harian.

“Ini murah sekali. Hasil retribusi dipakai untuk biaya operasional, perawatan, hingga gaji operator dan teknisi. Juga, ditabung untuk mengganti peralatan yang rusak, semisal baterai,” paparnya.

Sejalan dengan Peraturan Presiden [Perpres] Nomor 112 tahun 2022, Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Ramsyah berharap, pemerintah bersedia menambah perangkat panel PLTS di Muara Enggelam.

“Meski sudah beroperasi delapan tahun, PLTS kami masih berfungsi baik,” paparnya.

 

Baterai yang digunakan untuk mengoperasikan PLTS Komunal Muara Enggelam. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Roda ekonomi masyarakat

Kepala Desa Muara Enggelam, Madi, menambahkan kebutuhan tambah daya sangat penting. Sebab, Muara Enggelam telah ditetapkan sebagai desa wisata melalui SK Gubernur Kaltim. Pemerintah desa berencana menambah daya listrik, untuk menopang usaha masyarakat.

“Rencananya begitu.,” jelasnya [13/8/2023].

Madi berharap, Kementerian ESDM kembali melirik Muara Enggelam untuk memberi tambahan panel surya.

“Ini terkait kebutuhan UMKM. Saat ini, kulkas untuk mendinginkan ikan dan membuat es batu sendiri, belum bisa digunakan, karena disesuaikan dengan kemampuan gardu induk PLTS. Satu hal lagi, produk ikan asin dari desa kami sudah diekspor ke luar negeri,” paparnya.

 

Baterai dan regulator yang selalu dirawat oleh teknisi agar PLTS berfungsi optimal. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Program terang kampungku

Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi, menjelaskan sejak 2021 Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah meluncurkan program bantuan PLTS. Khususnya, di pedesaaan, perbatasan, maupun masyarakat yang tinggal di pulau terluar di 6 Kabupaten di Kaltim. Masing-masing Kutai Kartanegara, Mahakam Ulu, Kutai Barat, Berau, Paser, dan Kabupaten Kutai Timur.

“Jangan lagi ada daerah di Kaltim yang gelap. Program PLTS merupakan teknologi ramah lingkungan dan menjadi alternatif energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan. Semua masyakat dari desa hingga kota harus menikmati listrik 24 jam,” paparnya, Senin [14/8/2023].

Hadi berharap, semua daerah yang menggunakan PLTS Komunal dapat menjaga dan mengatur panel-panel suryanya dengan baik.

“PLTS bisa menjadi sumber listrik yang dapat diandalkan dan berkelanjutan, juga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Kaltim.”

 

Keceriaan ana-anak di Desa Muara Enggelam yang sudah bisa menikmati litrik selama 24 jam. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah, menyampaikan sesuai target RPJMD [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah] 2022-2026, Pemkab Kukar menggalakkan Program Terang Kampungku. Tidak hanya Muara Enggelam, semua daerah pelosok dan terisolir telah mendapat pasokan listrik dari energi terbarukan.

“Muara Enggelam adalah desa percontohan yang sukses menggunakan dan mengelola tenaga surya. Kita ingin keberhasilan ini bisa diaplikasikan juga ke desa-desa lain yang masuk kategori remote area,” ujarnya, Selasa [1/8/2023].

 

Desa Muara Enggelam yang tidak lagi mengalami kesulitan listrik setelah PLTS beroperasi. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Finance Campaigner 350 Indonesia, Suriadi Darmoko, menjelaskan pilihan energi terbarukan yang digunakan sangat bergantung pada potensi setempat. Tetapi untuk Indonesia, hampir di semua wilayah menggunakan potensi energi surya.

“Ini bisa menjadi opsi yang bagus untuk dibangkitkan, karena potensi energi surya di indonesia sangat besar mencapai 200 GW dan pemanfaatanya sangat rendah,” terangnya, Sabtu [12/8/2023].

Saat ini, lanjut dia, dukungan pemerintah terhadap pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas masih lemah. Ini dikarenakan, pembangkit listrik dengan energi terbarukan berbasis komunitas tidak didukung kebijakan, bahkan juga tidak dilihat sebagai kontributor untuk bauran energi terbarukan nasional. Atau, tidak dihitung sebagai bagian dari solusi penanganan perubahan iklim.

“Dari sisi pendanaan, dukungannya juga tidak sistematis dari pemerintah, pendekatannya seperti bansos. Ini ruang yang bisa diisi pemerintah, memastikan tersedianya pendanaan untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan berbasis komunitas/desa,” paparnya.

Moko melanjutkan, selain untuk memenuhi kebutuhan listrik di tingkat desa, PLTS juga bisa berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi desa. Termasuk, berkontribusi pada peningkatan bauran energi terbarukan nasional.

“Jika pemerintah ada kemauan, ini saat yang tepat karena pada saat bersamaan sedang ada pembahasan tentang alokasi pendanaan yang bersumber dari JETP. Ini sangat relevan dengan target JETP,” imbuhnya.

Selain itu, dengan banyaknya desa dan komunitas yang memanfaatkan energi terbarukan, diharapkan pemerintah melahirkan kebijakan melindungi pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas.

“Kenapa harus dilindungi? Karena, banyak kasus ketika PLN masuk, PLTS itu ditinggalkan atau dimatikan,” tandasnya.

 

Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org Indonesia

 

Exit mobile version