Mongabay.co.id

Indonesia, Merdeka, dan Lingkungan yang Harus Kita Perjuangkan

 

Alam Indonesia sangat kaya. Sekitar 8.000 spesies tumbuhan dan 2.215 spesies hewan telah terindentifikasi, bersama 127 gunung aktif, 70.000 batang sungai, dan  17.500 pulau yang semuanya ada di negeri kita.

Kekayaan ini juga melahirkan keberagaman budaya. Kita memiliki sekitar 1.340 suku bangsa, 733 bahasa daerah, 3.259 jenis kuliner, 34 rumah adat, serta 3.000 tari tradisional.

Dengan kekayaan tersebut, seharusnya bangsa Indonesia bahagia. Hidup sejahtera. Tapi, mengapa sekitar 25,90 juta dari 278,69 juta jiwa orang Indonesia hidup miskin, sekitar 7,9 juta pengangguran, sekitar 12 juta orang Indonesia tidak memiliki rumah, serta ratusan ribu anak putus sekolah?

Indonesia belum selesai. Indonesia masih terus diperjuangkan. Mewujudkan Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur [alinea kedua pembukaan UUD 1945].

Baca: Merdeka! Kita Butuh Air dan Tanah yang Subur

***

 

Tampak perempuan pedagang ikan di pasar Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, menyambut hari Kemerdekaan Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog dari Biosistematika dan Evolusi BRIN, menyebutkan sejarah peradaban bangsa Indonesia [Austronesia dan Melanesia], yakni peradaban “amfibi”. Peradaban yang dilahirkan dari hubungan manusia dengan air dan darat.

Setiap manusia Indonesia, memanfaatkan dan beradaptasi dengan darat dan air. Menjadikan ruang hidupnya sebagai “tanah air”. Seperti yang berlangsung pada sejumlah masyarakat adat di Indonesia, yang membagi waktu untuk mengakses air dan darat. Misalnya dari pagi hingga sore, mereka berkebun atau bercocok tanam, dan dari sore hingga malam, mereka mencari ikan di sungai, danau, atau laut.

Berbagai pengetahuan lahir dari hubungan ini. Pengetahuan yang melahirkan beragam tradisi dan budaya. Mulai dari bahasa, kuliner, obat-obatan, astronomi, teknologi perkapalan, teknologi pertanian, teknologi rumah, seni, sistem pemerintahan, hingga kepercayaan.

Keberagaman flora dan fauna, serta bentang alam, membuat manusia Indonesia menempatkan dirinya bagian dari sistem alam semesta, yang saling membutuhkan dengan semua makhluk hidup dan alam [ekosentrisme]. Bukan sebaliknya, menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta [antroposentrisme].

Beberapa penguasa Indonesia di masa lalu, seperti Kedatuan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, meskipun menerapkan sistem “kapitalis” dalam memanfaatkan kekayaan alam sebagai sumber ekonomi dan kekuasaan, tapi tercatat mampu mengendalikan “tanah air” Indonesia. Mampu menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, di tengah kekuatan global pada saat itu [Tiongkok, India, Timur Tengah, Afrika].

Kejayaan ini masih dirasakan pada masa sejumlah kesultanan. Baik yang berada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lainnya.

 

Perahu kecil dengan bendera merah putih melintasi Sungai Musi yang kian ramai dengan aktivitas industri. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tapi, kedatangan sejumlah bangsa ke Indonesia [kemudian disebut penjajah], yang menjunjung manusia sebagai penguasa alam semesta [antroposentrisme], membuat kelestarian yang dijaga para leluhur bangsa Indonesia secara perlahan terkikis atau menghilang.

Selama ratusan tahun, kekayaan alam dikuras atas nama moderenisme yang memperalat ilmu pengetahuan dan teknologi. Hutan dibabat untuk dijadikan perkebunan skala besar dan penambangan. Mulai dari perkebunan lada, kopi, teh, karet, sawit dan HTI [Hutan Tanaman Industri], serta penambangan emas, timah, migas, hingga nikel.

Pada akhirnya, lahirlah orang-orang kaya di Indonesia.

Sementara keluarga saya, dari era pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini, hidup dalam keprihatinan. Arsip-arsip kelaparan, kecemasan, ketakutan, serangan penyakit, menjadi album kehidupan.

Tidak ada yang salah atau berdosa menjadi orang kaya. Tapi, siapa yang mengaku bersalah atas album kehidupan keluarga saya. Siapa yang mengaku bersalah ketika ribuan warga dusun yang kehilangan kebun, lalu menjadi pengemis di kota?

Baca: “Dukun” yang Turut Menjaga Kelestarian Bumi

***

 

Sejumlah penumpang kapal besar yang mengangkut bahan-bahan sembako melintasi Sungai Musi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Daratan [tanah] Indonesia yang luasnya mencapai 191 juta hektar, sekitar 59 persen dikuasai satu persen penduduk Indonesia. Artinya, 99 persen penduduk Indonesia hanya menguasai 41 persen daratan [tanah].

Sementara sungai, danau dan laut, kian hari kian dikuasai berbagai aktivitas industri mulai dari pertambangan, perkebunan, perikanan, energi, perkapalan, hingga pariwisata. Padahal, sekitar 132 juta jiwa atau 60 persen penduduk Indonesia menetap di sekitar garis pantai [radius 50 kilometer dari garis pantai] di 514 kota atau kabupaten.

Dampak dari aktivitas industri ekstraktif di wilayah pesisir, menyebabkan ratusan ribu nelayan  berhenti melaut. Misalnya, pada 2010, tercatat nelayan Indonesia sebanyak 2,16 juta orang, dan pada 2019 lalu, menurun menjadi 1,83 juta orang.

Jutaan manusia yang menetap di pesisir, terdampak banjir dan angin puting beliung, akibat rusaknya 700 ribu mangrove.

Kondisi ini tidak adil. Tidak adil bagi sebagian besar orang Indonesia yang masih memegang falsafah hidup bahwa semua manusia itu setara di alam semesta, sehingga memiliki akses yang sama terhadap kekayaan alam.

Di masa lalu, “Kalau ada manusia yang tamak, atau merusak alam, akan dihukum secara adat. Hukumannya bisa diusir dari kampung, dan penguasa alam semesta juga akan menghukumnya, seperti diberi penyakit yang tidak bisa sembuh atau gila [gangguan jiwa],” kata Umran [75], tokoh adat Suku Maras, Kepulauan Bangka Belitung.

Umran juga yakin, jika serangan berbagai virus yang menyebabkan banyak umat manusia meninggal dunia, seperti virus corona SARS-CoV dan lainnya, adalah kemarahan alam terhadap manusia yang telah merusaknya.

Kompas.com mencatat sekitar 10 virus paling mematikan di dunia. Bahkan, virus HIV hingga kini belum ditemukan obatnya. Ke-10 virus mematikan antara lain ebola, rabies, HIV, cacar, hantavirus, flu spanyol, dengue, rotavirus, serta virus corona SARS-CoV.

“Saya juga percaya, dua atau tiga tahun ke depan, Bumi ini akan marah. Bumi akan kian panas [suhu]. Bumi akan memberikan banjir, letusan gunung berapi, kekeringan yang panjang,” kata Umran, dua tahun lalu [2021].

Baca juga: Sungai dan Harimau Sumatera

***

 

Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 yang selalu kita peringati setiap 17 Agustus. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia telah memiliki segalanya. Selain memiliki wilayah yang alamnya kaya, juga memiliki bahasa, ideologi, undang-undang dasar, ribuan peraturan [hukum], serta ribuan tentara, polisi, hakim, legislator, jaksa, dokter, insinyur, filsuf, peneliti, seniman, jurnalis, pengacara, serta seratusan miliuner, menteri, gubernur, wali kota, bupati, hingga beberapa presiden.

Tapi untuk menyelesaikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, tampaknya kita masih harus menyempurnakan hati nurani.

Mengapa?

Hati nurani yang dilahirkan dari sistem nilai atau moral, yang diajarkan berbagai kepercayaan dan agama, serta terpatri di dalam Pancasila. Hati nurani bukan hanya di dalam jiwa rakyatnya, juga di jiwa para pemimpin dan pelaku ekonomi di Indonesia.

Hati nurani bukan hanya berupa sopan santun dan ramah, tapi yang lebih utama adalah jujur, amanah, menyayangi sesama, suka membantu, dan menjaga semua ciptaan Tuhan.

Jika ada hati nurani, maka tidak ada orang Indonesia yang miskin, menganggur, tidak berpendidikan, dan tidak memiliki rumah. Jika ada hati nurani, tidak ada masyarakat adat yang diusir dari tanahnya yang kemudian dipenjara. Jika ada hati nurani, tidak ada ribuan nelayan yang digusur pertambakan udang dan penambangan timah.

Jika ada hati nurani, tidak ada petani yang kehilangan tanahnya dan kemudian menjadi buruh perkebunan. Jika ada hati nurani, tidak ada gajah, harimau, atau orangutan, dibunuh karena dianggap hama. Jika ada hati nurani, tidak ada koruptor yang merusak dan menggali semua kekayaan alam Indonesia.

Semoga, pada Pemilu 2024 nanti, kita menjadi pemilih presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan legislator yang memiliki hati nurani, sehingga Indonesia selesai dikerjakan sebagai bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Serta, selamat dari dampak perubahan iklim akibat aktivitas ekonomi ekstraktif, yang terus berjalan di tengah suhu Bumi yang kian panas ini.

Selamat merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78. Merdeka!

 

* Taufik Wijayajurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

Exit mobile version