Mongabay.co.id

Mengapa Embun Beku di Dataran Tinggi Dieng Lebih Kerap Muncul Tahun Ini?

 

Sekitar dua pekan belakangan, kawasan dataran tinggi Dieng di perbatasan antara Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah kerap muncul embun beku. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai bun upas atau embun upas. Fenomena embun beku adalah embun yang berubah menjadi es akibat suhu dingin bahkan di bawah 0 derajat Celcius.

Berdasarkan catatan Aryadi Darwanto, seorang pegiat desa wisata dan pemerhati Dieng, mengatakan hingga Sabtu (12/8/2023) sudah terjadi 18 kali kemunculan embun beku. “Pada Juli lalu ada 8 kali kemunculan, sedangkan Agustus sudah 7 kali. Dan sejak Senin (7/8/2023) hingga Sabtu (12/8/2023) setiap pagi ada embun beku,”kata Aryadi kepada Mongabay Indonesia.

Menurutnya, kawasan yang biasa muncul di kawasan Candi Arjuna dan Setyaki biasanya muncul mulai jam 05.30 WIB hingga 07.15. “Bagi yang penasaran dengan embun beku, silakan datang ke Dieng. Sebab, kemungkinan masih akan muncul. Jika langit cerah, tidak terlalu banyak angin dan suhu udara yang ekstrem sampai 0 derajat bahkan minus, maka bakal terjadi embun beku,”katanya.

Fenomena embun beku menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang. Tidak mengherankan jika dalam beberapa pekan terakhir ada peningkatan kunjungan ke kawasan wisata Dieng. “Saya datang ke Dieng karena penasaran dengan adanya embun beku. Benar-benar seperti salju. Hamparan rumput yang hijau menjadi putih seperti hamparan salju,”kata Aditya (36) salah seorang wisatawan asal Purwokerto.

Dia sengaja datang ke Dieng untuk melihat fenomena embun beku. Sehingga dia harus rela untuk menginap di Dieng. “Jadi saya datang pada sore hari. Sudah sangat terasa dinginnya. Langit sejak sore hingga malam cerah. Dan pagi harinya muncul embun beku seperti salju,”ujarnya.

baca : Mengapa Embun Beku Dieng Muncul Lebih Dini?

 

Embun beku menyelimuti rerumputan di kawasan Dieng, Jateng. Foto : UPTD Wisata Dieng

 

Sementara Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Wisata Dieng Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara Sri Utami mengakui fenomena embun beku tahun ini lebih banyak muncul kalau dibandingkan dengan tahun sebelumnya. “Mungkin karena suhunya dingin dan cerah, tidak ada hujan. Sehingga embun beku sering muncul,”katanya.

Dia menyatakan fenomena embun beku tersebut mampu mendongkrak kunjungan wisatawan. Dalam sepekan terakhir, ada kenaikan cukup signifikan. Bahkan, akhir pekan ada kenaikan hingga 85%. “Biasanya dua hari pada akhir pekan kunjungan hanya 7 ribu orang. Tetapi akhir pekan lalu menjadi 13 ribu. Berarti ada kenaikan sekitar 85%,”ujarnya.

Menurutnya, para wisatawan tidak hanya datang dari sekitar Banjarnegara dan Wonosobo saja, melainkan juga dari luar kota. “Banyak wisatawan yang datang dari luar kota seperti Bogor dan Jakarta. Saya tanya kepada mereka dan sangat senang datang ke Dieng. Karena bisa melihat langsung embun beku yang seperti salju,”katanya.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Hery Susanto Wibowo mengungkapkan secara meteorologi, fenomena tersebut dikenal sebagai frost atau embun beku. “Berbeda dengan salju yang terbentuk sebagai partikel presipatasi di atmosfer, embun beku merupakan fenomena munculnya butiran es di permukaan. Masyarakat lokal lebih mengenal fenomena tersebut sebagai embun upas,”jelasnya.

baca juga : Berburu Embun Beku di Lautan Pasir Gunung Bromo

 

Embun beku di kompleks Candi Arjuna, kawasan Dieng, Jateng. Foto : UPTD Wisata Dieng

 

Mengapa fenomena tersebut terjadi? Hery menerangkan bahwa secara klimatologis, tekanan udara pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA) lebih tinggi di Benua Australia yang memiliki tekanan tinggi dibandingkan Benua Asia  dengan tekanan rendah. Angin yang berhembus dari Australia menuju Asia melewati Indonesia umumnya menandai dimulainya periode musim kemarau seiring dengan aktifnya monsun Australia.

“Saat musim kemarau, tutupan awan sangat minimum. Tidak heran jika pada siang hari, matahari akan terasa sangat terik diiringi dengan peningkatan suhu udara. Hal tersebut karena tidak ada objek di langit yang menghalau sinar matahari, sehingga penyinaran matahari yang notabene merupakan gelombang pendek menjadi maksimum pada siang hari,”ujarnya.

Sama halnya dengan siang hari, radiasi yang dipancarkan balik oleh permukaan bumi pada malam hari juga optimum karena langit bebas dari tutupan awan. “Pancaran radiasi gelombang panjang dari bumi ini diiringi dengan penurunan suhu yang signifikan pada malam hari dan mencapai puncaknya pada saat sebelum matahari terbit atau waktu di mana suhu minimum umumnya tercapai,”jelasnya.

Menurutnya, penurunan suhu yang terjadi secara kontinyu sejak malam hingga dini hari menyebabkan embun yang semula terbentuk dan menyelimuti rumput, dedaunan, atau tanaman kemudian membeku.

“Fenomena ini bukanlah kejadian luar biasa dan umumnya terjadi di musim kemarau  antara Juni – September. Terkadang, fenomena ini juga terjadi pada Mei, namun mulai intens dan sering mulai Juni dan puncaknya di Agustus,”katanya.

baca juga : Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

 

Embun beku di kawasan Dieng, Jateng, yang penampakannya persis salju. Foto : UPTD Wisata Dieng

 

Meski bagi wisatawan merupakan sesuatu menarik, tetapi bagi petani di Dieng, embun beku berdampak buruk bagi pertanian khususnya kentang. “Makanya warga Dieng menyebut sebagai bun upas artinya embun racun. Karena memang fenomena  itu berdampak mematikan bagi tanaman kentang,”ungkap Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono.

Menurutnya, hampir sepekan terakhir fenomena embun beku terus muncul di Dieng. Tidak hanya di Desa Dieng Kulon yang masuk wilayah Banjarnegara, melainkan juga sampai di area Desa Dieng Wetan yang merupakan daerah Wonosobo.

“Dampak embun beku yang terjadi selama sepekan belakangan di sekitar kompleks Candi Arjuna dan Dwarawati serta Gangsiran Aswatama. “Dari laporan yang masuk, kawasan pertanian kentang yang terkena embun beku seluas 4-5 hektare. Dampaknya, tanaman kentang seperti terbakar ketika terkena bun upas tersebut,”katanya.

Menurut Kades, tanaman kentang usia antara 0-80 hari dipastikan bakal mati. Sedangkan di atas 80 hari biasanya masih bertahan, meski perkembangan kentangnya tidak maksimal. “Karena tanaman kentang baru bisa dipanen pada umur 120 hari. Sehingga sebelum panen dipastikan bakal terdampak,”ungkapnya.

Ia juga mengatakan ada kerugian yang diderita petani. Pasalnya, biaya budi daya kentang mulai dari bibit, pengolahan tanah, pupuk dan obat berkisar antara Rp40 juta hingga Rp60 juta per ha. “Fenomena embun beku tersebut sangat sulit diantisipasi. Kalau muncul, ya sudah, petani pasrah,” pungkasnya.

 

Exit mobile version