Mongabay.co.id

Merdeka Energi, Kampung Pedalaman di Perbatasan Jambi-Bengkulu ini Nikmati Listrik Energi Terbarukan

 

Kemerdekaan bagi masyarakat berarti dapat menikmati kemandirian energi. Ini yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi yang berada di daerah perbatasan dengan Provinsi Bengkulu baru menikmati listrik.

Perjuangan memperoleh energi listrik stabil dapat terwujud baru sekitar lima tahun terakhir ini. Setelah puluhan tahun masyarakat menjaga hutan adat Kara Jayo Tuo, yang mengelilingi desa. Atas dedikasi menjaga hutan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini, mereka menerima bantuan dana dari untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Bagi kebanyakan warga Rantau Kermas, listrik PLN tidak jadi pilihan. Ekonomi jadi alasannya. Mereka khawatir tidak kuat untuk membayar listrik dari perusahaan negara itu. Mereka pun lebih memilih PLTMH.

“Bedanya memang jauh berkali-kali lipat. Belum lagi ada kebiasaan pemadaman bergilir. Itu yang membuat warga keberatan memasang PLN,” jelas Mira Wati (39), seorang warga pelanggan PLTMH di rumahnya (24/7/2023).

Perbandingannya menurut Mira sangat siginifikan, dengan pemakaian yang sama, PLTMH hanya memungut iuran Rp50 ribu/bulan. Sementara PLN bisa mencapai angka Rp150-200 ribu.

Sejak ada PLTMH, ibu-ibu desa hidupnya dimudahkan. Tidak perlu lagi mereka mencuci pakaian ke sungai. Sekarang dengan mesin cuci, mereka tidak repot lagi ke sungai, -hanya butuh waktu 2 jam, baju bisa langsung dipakai.

Dulu untuk menanak nasi masih bergantung kayu bakar, sekarang sudah berganti alat penanak nasi listrik. Juga untuk mengawetkan daging dan cabai. Sekarang semua dapat dibereskan dengan kulkas.

“Tarifnya murah sekali. Fasilitas umum desa semuanya gratis,” kata Mira.

 

Ade Usman, Bagian Keuangan dari PLTMH Rantau Kermas saat menujukkan turbin pembangkit penghasil listrik. Foto: Suwandi

 

Memanfaatkan Energi Terbarukan

Meskipun kapasitasnya kecil, pembangkit yang ramah lingkungan ini dapat menerangi 113 rumah warga, fasilitas umum seperti masjid, sekolah, rumah adat, hingga rumah produksi kopi milik Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

Ade Usman, bagian keuangan PLTMH Rantau Kermas menuturkan, awalnya  warga membangun listrik secara swadaya, tetapi tidak maksimal. Sering rusak dan dayanya sangat kecil. Listrik menyala terbatas hanya malam hari.

Setelah menerima dukungan dana dari KKI Warsi dan MCAI-Indonesia, mereka membangun PLTMH dengan kapasitas 39 Kwh. Pembangunan dan pemasangan instalasi listrik menelan dana sekitar Rp3 miliar.

Meskipun PLTHM sudah dibangun pada 2018, saat itu kondisinya belum stabil karena sering rusak. Setelah pengelola memahami perawatan pembangkit dengan teknologi open flume, PLTMH dapat beroperasi maksimal selama 24 jam, pada tahun 2019.

Ekonomi warga juga berkembang dengan adanya PLTMH. Tidak hanya produksi Kopi Serampas milik Bumdes, tetapi usaha perbengkelan sudah maju dengan adanya mesin las. Begitu juga perkakas pertukangan yang sekarang menggunakan listrik.

Berkat PLTMH warga kini menikmati mesin pencuci baju, setrika,  kulkas, televisi, serta banyak lampu pijar yang terpasang dalam rumah. Meski demikian, untuk mencari sinyal seluler, warga masih perlu naik ke atas bukit.  “Di dalam kampung, sinyal hilang,” kata Ade.

Dengan berbagai fasilitas yang dapat mereka gunakan itu, warga tetap perlu membayar listrik dengan harga murah. Tarifnya hanya Rp60 ribu/bulan.

“Ada banyak kategori pelanggan, yang dominan itu C2 dengan total 96 pelanggan dan tarifnya hanya Rp60 ribu/bulan,” kata Ade.

 

Instalasi air dari Sungai Batang Langkup mengalir ke bangunan di tepi sawah tempat mesin PLTMH dengan sistem open flume. Foto: Suwandi

 

Sementara pelanggan dengan kategori C4, tarif Rp80 ribu/bulan sebanyak 16 pelanggan. Untuk rumah yang menggunakan fasilitas listrik ini, memang ditambah untuk usaha seperti peralatan las dan alat-alat pertukangan.

Untuk pelanggan C6 hanya seorang dengan tarif Rp100 ribu/bulan, karena rumahnya besar dan memiliki banyak peralatan eletronik di dalamnya, serta untuk menunjang usaha.

Fasilitas umum yang gratis menggunakan listrik adalah rumah ibadah, sekolah, mushola, Bumdes, penginapan atau (homestay), kantor desa, rumah adat (tempat acara adat dan gedung pernikahan).

Selain tidak memberatkan pelanggan, PLTMH juga tidak rewel. Biaya perawatan mesin dan dana operasional rutin, sudah termasuk gaji karyawan hanya sekitar 10-15 juta setiap tahun.

“Uang dari pelanggan setiap tahun Rp40 juta. Setelah uang perawatan dan operasional dikeluarkan, kalau tidak ada kerusakan peralatan mesin seperti kelahar atau turbin, sisanya disimpan masuk uang kas,” kata Ade. Saat ini, total dana kas PLTMH mencapai Rp75,3 juta dari pembukuan lama.

Pengeluaran cukup besar terjadi apabila ada kerusakan pada kelahar, dinamo dan turbin. Ketika rusak secara bersamaan, bisa menghabiskan dana Rp10 juta.

“Dalam mengelola PLTMH, pendapatan lebih besar dari pengeluaran, perbandinganya lebih dari 300 persen. Secara bisnis sangat menguntungkan,” kata Ade.

Lalu apa yang menyebabkan turbin PLTMH rusak?

Gangguan yang terjadi biasanya saat banjir besar karena ada sampah yang menggangu kinerja turbin. Jika itu terjadi, alat dimatikan paling lama 15 menit, kemudian hidup kembali setelah semua sampah dibersihkan.

Juga saat musim kemarau terjadi. Pernah saat itu debit air sungai turun dan aliran air tidak masuk turbin. Solusinya, badan sungai pun digali dengan alat berat, sehingga air dapat kembali mengalir ke saluran turbin.

Ade meyakini dengan terjaganya hutan di sisi Sungai Batang Langkup, tempat mesin PLTMH berada, air tidak akan pernah kering. Ada puluhan mata air, yang mengalir secara langsung ke sungai yang berada di belakang desa itu.

 

Ade Usman, bagian keuangan PLTMH Rantau Kermas saat melakukan pemantauan arus listrik yang dihasilkan dari pembangkit. Foto: Suwandi

 

Hutan Adat

Ketua Pengelola Hutan Adat Kara Jayo Tuo, Agustami menuturkan pembangunan PLTMH  dibantu Bank Dunia, lantaran masyarakat desa berhasil menjaga hutan adat, yang mengelilingi desa.

Sebagai penyangga TNKS, keberadaan hutan adat di Rantau Kermas menjadi sangat penting. Sejumlah satwa endemik langka dilindungi seperti kambing hutan, rangkong, harimau sumatera, rusa, kijang, ayam hutan, burung bayan dan lirung  masih hidup alami di dalam hutan.

Kesadaran warga tumbuh setelah ada peristiwa banjir bandang pada 1974. Meskipun tidak ada korban jiwa, hampir separuh warga mengungsi. Bahkan mereka mendirikan desa baru, bernama Renah Alai.

Banjir bandang begitu lekat dalam ingatan warga. Para orangtua selalu menceritakan peristiwa banjir bandang ke anak cucu. Sebenarnya banjir bandang murni karena tingginya curah hujan. Tetapi dengan adanya hutan di hulu kampung, membuat terjangan air tidak menghantam rumah-rumah.

Semenjak peristiwa itu, para tetua akhirnya bersepakat, secara adat akan menjaga kawasan hutan yang berada di bagian utara dan selatan desa. Kesepakan itu turun menjadi hukum adat, yang berbunyi setiap orang yang menebang pohon akan di denda 1 ekor kambing, uang Rp500 ribu, beras 20 gantang dan lemak semanis.

Untuk mengelola hutan, warga patuh pada ajum arah atau kearifan lokal yang mengatur zonasi area adat seperti Hulu Aik, Tanah Ngarai, Padang Berbatu, Tanah Negeri dan Tanah Ladang.

 

Warga bersama pohon asuh di Hutan Adat Desa Rantau Kermas yang dijaga oleh masyarakat. Foto: Suwandi

 

Area hutan dikelola sesuai fungsinya dengan bijaksana. Sehingga aksi perambahan hutan yang merusak mata air dan mengancam PLTMH dapat dimitigasi secara dini.

Meski warga desa telah menyepakati melindungi hutan, namun ancaman penjarahan masih muncul dari para pendatang dari arah selatan.

Untuk melindungi hutan, warga memperkenalkan skema ‘pohon asuh’ yang donasinya diperoleh dari para simpatisan, mulai dari pejabat, selebritas, hingga masyarakat umum.

Dengan skema ini, pengelola hutan adat mampu memberikan santunan kepada lansia, anak yatim, kelompok disabilitas, merenovasi rumah adat, majelis taklim, madrasah, masjid, hingga membangun jalan desa.

Total penghasilan dari pohon asuh mencapai Rp30 juta setiap tahun. Memang angkanya belum besar, tetapi tahun ini sudah ada 2.000 pohon dalam hutan seluas 130 hektar.

“Artis Korea, BTS itu sudah ada yang mengasuh pohon di sini. Saya optimis, penghasilan dari menjaga hutan ini, akan terus bertumbuh,” kata Agus.

Dengan hutan terjaga, masyarakat sekarang bisa merasakan manfaat besar. PLTMH berjalan baik, sawah tidak pernah kekeringan, dan mereka bisa terhindar dari banjir dan longsor. Bahkan menebang pohon telah menjadi budaya malu.

Penjaga hutan adat perempuan, Ledia Misnawati (31) menyebut dia pernah menangkap perambah dua tahun lalu. Warga yang membuka hutan untuk berladang itu, tidak mengetahui batas hutan adat.

“Warga itu sangat kooperatif. Bahkan cenderung malu, karena telah menebang hutan. Dia bersedia menjalani hukum adat,” pungkas Ledia.

 

***

* Suwandi adalah jurnalis Kompas.com. Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org Indonesia

 

Exit mobile version