Mongabay.co.id

Perempuan Rempang Tolak Relokasi, “Pak Presiden, Apakah Kami Sudah Merdeka?

 

 

 

 

 

 

“Sampaikan ke Pak Jokowi [Presiden Joko Widodo], apakah kami sudah merdeka atau belum? Kami makin sengsara, disuruh pindah dari kampung. Indonesia merdeka, rakyat juga harus merdeka,” begitu teriakan para perempuan  adat Rempang ketika menolak relokasi.

Warga Rempang yang lain pun bersuara sama menolak pembangunan mega proyek Rempang Ecocity.

“Apakah perlu kami menaikkan bendera setengah tiang, tolong bebaskan kami, jangan ambil kampung kami, tolong Pak Jokowi,” kata para perempuan, sebagian mereka juga tidak bisa membendung air mata mereka.

Suara puluhan perempuan ini bergema di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau,  empat hari menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia yang memasuki usia 78 tahun, 13 Agustus lalu.

Teriakan penolakan itu disampaikan mereka saat menolak tokoh masyarakat Rempang dijemput polisi dan ketika Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia berkunjung ke Rempang pada hari sama.

 

 


 

 

 

Upaya kriminalisasi?

Penolakan relokasi memuncak ketika personil Polda Kepri menjemput tokoh masyarakat Pulau Rempang,  Gerisman Ahmad.  Garisman keras menolak relokasi. Belakangan dia dilaporkan ke Polda Kepri soal dugaan pungutan liar uang masuk di Pantai Melayu, Pulau Rempang. Pantai itu jadi ruang hidup Gerisman bersama sekitar 60 keluarga.

Setelah pelaporan, Gerisman dipanggil ke Polda Kepri. Dia diperiksa dua kali oleh Dirkrimum dan Dirkrimsus Polda Kepri. Gerisman kemudian memenuhi panggilan itu.

Selang beberapa hari, tepatnya 13 Agustus 2023, personil Polda Kepri mendatangi rumah Gerisman. Gerisman bilang,  diminta Polda untuk ikut mereka ke Mapolda Kepri di Nongsa Batam. Bahkan, sebelum menemui Gerisman, Polda Kepri langsung memasukkan dua penjaga Pos Pantai Melayu ke dalam mobil mereka.

Saat itu, Gerisman menolak dibawa ke Mapolda Kepri. Dia akan menghadiri zikir bersama mendoakan keamanan kampung mereka di Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang.

“Saya bilang, saya ada acara pengajian, nanti saja setelah balik dari sana, eh mereka tidak mau, mau membawa saya seperti teroris,” katanya.

 

Walikota Batam sekaligus Kepala BP Batam Muhammad Rudi saat mensosialisasikan pembangunan Pulau Rempang di salah satu acara di Batam, 1 Agustus 2023. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Negosiasi terjadi antara Gerisman dan personil Polda Kepri. Dua penjaga pos masih ditahan di mobil Polda Kepri. “Saya di dalam mobil, tidak boleh juga keluar waktu itu,” kata Irfan, penjaga pos, bercerita kepada Mongabay, 14 Agustus lalu.

Informasi penjemputan Gerisman itu tersebar ke Masyarakat Pulau Rempang. Beberapa warga mulai berdatangan ke lokasi, tidak hanya laki-laki, juga ibu-ibu rumah tangga datangi lokasi.

Saat itu cekcok antara warga dan kepolisian makin menjadi. Kemarahan ibu-ibu di Rempang disampaikan kepada personil kepolisian di lokasi. “Jokowi mengatakan, rakyat Indonesia merdeka, makmur, dimana merdeka rakyat, jangan dzolimi kami?” kata Sariah, perempuan 60 tahun.

“Kami rakyat Indonesia, orang tua kami ikut memperjuangkan kemerdekaan, masih ada pusaranya, kalau tidak percaya. Sekarang anak cucu mereka diusir,” timpal warga lain.

 

 

Kebanyakan para perempuan ini masih mengenakan seragam pengajian. Mereka juga akan ikut pengajian akbar tolak relokasi di Sembulang.Sarinah berharap,  kampung tetap jadi ruang hidup mereka. Setelah cekcok, Polda Kepri meninggalkan lokasi.

“Penjemputan ini bagian kekerasan dan kejahatan Polda. Kalau memang tidak boleh pantai dikelola, Polda tutup saja, biar warga tidur di Mapolda Kepri,” kata Gerisman kepada jajaran Polsek Galang yang datang ke rumahnya beberapa saat setelah kejadian, 13 Agustus lalu.

Penjemputan viral di sosial media lalu jadi perhatian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Walhi. Mereka menilai apa yang dilakukan Polda Kepri kepada Masyarakat Adat Rempang adalah intimidasi dan upaya kriminalisasi.

Setelah kejadian itu, YLBHI, Walhi Nasional,  Walhi Riau, LBH Pekanbaru bikin pernyataan sikap. Mereka, mengecam Polda Kepri atas upaya penjemputan paksa dan kriminalisasi terhadap warga di Rempang-Galang.

Edy Kurniawan,  Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI meminta,  Polda Kepri tidak mengkriminaliasi warga Rempang. Modus dengan mencari-cari kesalahan warga yang menolak relokasi jamak terjadi dalam proses pembangunan skala besar di Indonesia.

Dugaan kriminalisasi dengan jerat hukum karena warga menolak tergusur ini, kata Edy, berpotensi melanggar HAM serius. “Misal, yang terjadi ketika penjemputan paksa yang menimpa Gerisman, itukan status penyelidikan, warga belum menerima panggilan, hanya undangan klarifikasi, kalau masih undangan bisa hadir atau tidak, tidak boleh langsung ada penjemputan paksa,” kata Edy.

 

 

Spanduk penolakan relokasi warga dibentangkan saat Menteri Bahlil berkunjung ke Pulau Rempang, 13 Agustus lalu. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

YLBHI, kata Edy, mendesak Komnas HAM untuk penyelidikan dan pemantauan dugaan pelanggaran HAM. “Kami juga mendesak Kapolda Kepri agar mengevaluasi kebijakan pengamanan terkait rencana pembangunan Rempang dan Galang. Kami khawatir, kebijakan pengamanan represif itu merugikan warga.”

Kombes Zahwani Pandra Arsyad,  Kabid Humas Polda Kepri membantah kriminalisasi warga Rempang. Dia bilang, isu penjemputan paksa polda ke rumah Gerisman itu hoaks.

Dia bilang, iru hanya upaya pengamanan jalur yang dilalui Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Saat itu, Menteri berkunjung ke Rempang.

Pengamanan itu, katanya, kemudian disebarkan di media sosial seolah-olah penjemputan paksa oleh polisi. “Di media sosial berkembanglah ada penangkapan oleh Polda Kepri.  Kan belum tentu seperti itu. Kita luruskan.”

Pandra juga membantah fungsi rantis (kendaraan taktis) di rumah Gerisman. Saat itu, katanya, hanya untuk mengamankan kalau terjadi hal tidak diinginkan. “Ini sudah saya konfirmasi kepada pejabat utama di Polda Kepri,” katanya.

Begitu juga soal dua warga Rempang yang diangkut ke dalam mobil polisi. “Mungkin perilaku dalam melaksanakan tugas (anggota Polda Kepri) kurang pas, kita pasti koreksi ke depan lebih baik lagi.”

 

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bersama jajaran Pemerintah batam, usai meninjau Pulau Rempang.Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Menteri Bahlil: Harus relokasi demi investasi

Di hari sama,  Bahlil Lahadalia,  Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berkunjung ke Pulau Rempang terkait pembangunan mega proyek itu. Kedatangan Bahlil disambut spanduk dan teriakan relokasi oleh warga.

Bahlil mengatakan, tahap awal ini Rempang akan bangun investasi hilirisasi dari pasir kuarsa dan pasir silika untuk pabrik kaca diklaim terbesar di dunia setelah Tiongkok dengan nilai investasi US$11,5 miliar.

Soal penolakan, Bahlil bilang, akan membawa hasil aspirasi warga dalam rapat nasional di Jakarta. “Kami sudah sampaikan kepada Pak Menteri agar kampung kita tetap dijaga, beliau (Menteri Bahlil) akan bawa ini ke rapat nasional,” kata Syamsuddin, perwakilan warga yang berbicara langsung dengan Bahlil.

Usai rapat terbatas dengan pemerintah daerah terkait pembangunan ini, Bahlil menegaskan tetap relokasi warga. Warga terdampak akan dapat rumah tipe 45 dengan luas lahan 200 hektar di Galang. “(Relokasi harus dilakukan) itu salah satu cara agar investasi tetap jalan, kalau tidak investasi akan lari ke negara lain, direncanakan tahun ini,” katanya kepada media, sore, 13 Agustus lalu.

 

Seorang ibu yang protres relokasi ingin bertemu Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia saat berkunjung ke Pulau Rempang, Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version