Mongabay.co.id

Hebatnya Mata Air Jiwata, yang Mampu Terangi Desa Tepian Terap Lewat Mikro Hidro

 

Di pedalaman Kalimantan Timur, luasnya wilayah serta akses jalan yang minim membuat prosentase elektrifikasi tak pernah menyentuh angka maksimal. Di Kabupaten Kutai Timur, misalnya, rasio elektrifikasi untuk jaringan PLN baru mencapai 82,17 persen.

Mesin generator atau biasa disebut mesin genset lalu menjadi solusi termudah memenuhi kebutuhan listrik ini, baik kelompok, maupun individu. Sayangnya, penggunaan mesin ini cukup boros, mahal, dan tidak ramah lingkungan.

Biaya yang dibebankan kepada warga tiap rumah menjadi sangat besar, bahkan menyentuh Rp1 juta per bulan. Terkadang, BBM jenis solar sulit didapat dan langka.

Sadar, bahwa akses listrik PLN akan sangat sulit masuk ke desanya, Eko Sutrisno, Kepala Desa Tepian Terap pun menyebut bahwa usaha dari masyarakat harus ditumbuhkan.

“Kami ini terpencil sehingga perlu usaha mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti listrik,” jelasnya (4/7/20230).

Eko Sutrisno menceritakan perjalanan panjang desanya hingga bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan listriknya secara swadaya. Di tengah keterbatasan, mereka mencoba melihat pontensi yang dimiliki desa tersebut.

“Kami punya mata air yang tak pernah berhenti mengalir dan debitnya tak berkurang meski kemarau 7 bulan sekalipun,” sebutnya.

 

Turbin untuk PLMH di Desa Tepian Terap ini mampu mengaliri listrik ke seluruh warga desa. Foto: A. Jalil

 

Diawali Kincir Air

Berawal pada 2010 silam, -melalui program PNPM Mandiri, pemerintah desa bersama warga sepakat membuat kincir air.

“Kita inisiasi sejak 2006, kemudian dimatangkan pada 2008 dan 2010 jadi,” kenang Eko.

Kincir itu pun jadi lengkap dengan dinamo serta alian listrik ke rumah-rumah. Aliran air yang digunakan bersumber dari sebuah mata air yang dinamakan Mata Air Jiwata.

Saluran air dari mata air itu dibuat menyempit, agar debit air mampu menggerakkan kincir air. “Kami memulai menggerakkan kincir dan akhirnya berhasil,” ungkap Eko.

Tak disangka, kincir itu berhasil. Dinamo yang bergerak menghasilkan energi listrik. Namun sayang, mereka tidak menghitung kekuatan kincir menahan derasnya debit air.

Kincir itu rusak, dinamo hanya berputar sebentar. Aliran listrik memang mengalir ke rumah-rumah warga, tapi hanya dua jam.

Mimpi punya aliran listrik saat itu pun buyar. Mereka sempat menyerah dan kembali ke mesin generator berbahan bakar solar. Warga pun masih harus membayar mahal untuk sekedar ada penerangan di malam hari.

“Sudah mahal, cuma mengalir enam jam pula,” kenangnya.

 

Suasana pagi di Desa Tepian Terap Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto: A Jalil

 

Kegagalan di kincir air membuat pemerintah desa bersama warga tidak patah arang. Mereka tak lagi memikirkan kincir air, tapi cara lain agar punya aliran listrik 24 jam.

Akses media sosial pun dimaksimalkan. Secara mandiri mereka melakukan riset kecil-kecilan. Semua informasi ditampung.

“Bahkan kami mencari di youtube, daerah mana saja yang memanfaatkan aliran air untuk pembangkit listrik. Akhirnya sekitar 2013/14, ketemu dengan teknologi pembangkit mikro hidro. Kami gali terus soal itu,” kata Eko yang saat itu menjadi bendahara desa.

“Kami minta bantuan pihak kecamatan dan kabupaten untuk menghubungkan ke pembuat turbin itu.”

Usaha itu pun berhasil. Teknisi dari Blitar didatangkan untuk melihat langsung kondisi debit air dari Mata Air Jiwata.

Teknisi tersebut kemudian mendukung rencana Pembangunan PLMH karena konsistensi debit aliran air. Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pun dibuat. Pendanaan berasal dari Dana Desa, CSR perusahaan sawit di sekitar desa, dan kumpulan dana swadaya masyarakat.

Akhirnya pada tahun 2015, kemandirian energi itu terwujud. Bahkan terus beroperasi dengan baik hingga saat ini. Pengelolaanya diserahkan ke BUMDes Jiwata Energi milik Pemerintah Desa Tepian Terap.

Direktur BUMDes Jiwata Energi, Anwar menuturkan, listrik yang dihasilkan cukup besar. Hanya dengan satu trafo, mampu mengaliri listrik ke 300 rumah.

“Voltase yang di hasilkan dari tiga fase 380- 400 Volt. Untuk yang satu fase ke konsumen kita menghasilkan 220- 230 volt. Daya maksimum bisa menghasilkan 100 KVA,” sebut Anwar.

Jaringan yang digunakan adalah jaringan tegangan menengah atau biasa disebut Jaringan TM. Ini dipilih untuk mengantisipasi hilangnya arus atau daya saat dialirkan.

“Karena jarak antara sumber daya dengan konsumen sekitar kurang lebih 3 kilometer,” ujar Anwar.

Aliran listrik ke rumah-rumah menggunakan tiang kayu ulin. Sementara BUMDes menyediakan secara gratis meteran listrik. Tak ada pungutan biaya lain yang dikeluarkan untuk sambungan baru.

 

Kepala Desa Tepian Terap Eko Sutrisno bersama perangkat desa menegcek bendungan manual yang menyuplai air untuk turbin. Foto: A. Jalil

 

Perdebatan Soal Tarif

Seperti biasa, selalu ada perdebatan di masyarakat saat penentuan tarif. Itu pula yang terjadi di Desa Tepian Terap. Rapat besar penentuan tarif pun jadi panjang.

Eko Sutrisno kemudian datang untuk menenangkan warga yang menuntut agar tarif listrik murah, kalau perlu gratis. Sementara pemerintah desa fokus pada upaya pembiayaan perawatan untuk keberlanjutan PLMH.

“Akhirnya waktu itu kita sepakati tarif Rp70 ribu per ampere per rumah. Untuk warga yang kurang mampu kami subsidi,” kata Eko.

Harga tersebut bukan tanpa penolakan. Warga berdalih, sumber air dari Mata Air Jiwata itu juga gratis dan tidak perlu keluar biaya.

“Saya bilang ke warga, kalau ada yang bersedia jadi operator 24 jam penuh tanpa dibayar, siap keluarkan uang untuk operasional turbin, atau punya uang untuk sparepart yang rusak, bisa gratis. Tapi saat itu tak ada yang jawab hingga akhirnya tarif ditentukan,” cerita Eko sambil tersenyum.

Kini, harga per ampere hanya Rp100 ribu. Untuk ukuran rumah tangga sederhana, 1 ampere saja cukup. Namun untuk rumah tangga besar bisa menggunakan 2 ampere dengan harga dua kali lipat.

Tarijo, seorang warga Desa Tepian Terap, mengaku bersyukur dengan hadirnya PLTMH. Dahulu, sebelum ada pembangkit ini, dia sekeluarga menggunakan mesin genset pribadi.

Biayanya paling murah Rp1 juta per bulan. Itu pun dengan waktu yang tak lama dan perangkat elektronik terbatas. Tarijo mengambil daya 2 ampere untuk memenuhi kebutuhan listrik keluarga besarnya.

“Kami bersyukur sekali dengan hadirnya PLMH ini, hanya Rp200 ribu sebulan sudah bisa menyalakan semua perangkat elektronik di rumah tangga, termasuk mesin cuci,” kata Tarijo.

Kehadiran listrik 24 jam tentu membantu peningkatan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan warga. Juga membantu penerangan para pelajar yang ingin belajar tanpa terganggu gulita malam.

 

Turbin untuk PLMH di Desa Tepian Terap ini mampu mengaliri listrik ke seluruh warga desa. Foto: A Jalil

 

Energi Terbarukan

Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengapresiasi Desa Tepian Terap dalam memanfaatkan potensi desa untuk menjadi pembangkit listrik. Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman mengakui kabupaten yang dipimpinnya sangat luas.

Jarak antar desa yang sangat jauh membuat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti listrik dan air bersih jadi sangat sulit dan membutuhkan dana yang besar.

“Kami lebih luas dari Provinsi Jawa Tengah,” kata Ardiansyah (3/6/2023).

Beberapa desa atau kawasan pemukiman, sejak lama didorong untuk membuat pembangkit listriknya sendiri. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kutai Timur juga didorong untuk menyuplai energi listriknya ke warga sekitar perusahaan.

“Desa Tepian Terap ini sangat kami apresiasi. Karena ini sekaligus sebagai tindak lanjut daripada instruksi presiden soal energi terbarukan kita,” katanya.

Saat ini, tambahnya, selain PLTMH di Desa Tepian Terap, juga punya pembangkit listrik bio energi dari cangkang kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit didorong untuk melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan listrik perusahaan, sekaligus dialirkan ke warga sekitar.

“Dan beberapa sudah dialirkan kepada masyarakat. Seperti beberapa desa di Kecamatan Karangan, beberapa wilayah di Kecamatan Muara Bengkal. Dan sekarang dalam proses untuk enam desa di kecamatan sandaran. Dan ini luar biasa karena masyarakat terayomi sekali,” papar Ardiansyah.

 

Hutan yang menjadi sumber mata air di Desa Tepian Terap Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur berada di dalam HGU sebuah perusahaan perkebunan sawit. Jika hutan ini di konversi, mata air yang ada, bisa hilang. Foto: A. Jalil

 

Ancaman Mata Air

Keberlangsungan PLTMH yang menjadi sumber energi listrik Desa Tepian Terap amat tergantung kepada mata air Jiwata. Saat ini, hutan yang menjadi pelindung mata air itu masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) sebuah perkebunan kelapa sawit.

Tentu saja, jika perusahaan ini ingin meluaskan areal perkebunannya, maka hutan akan dibabat habis. Pemerintah Desa Tepian Terap pun terus berkomunikasi dengan pihak perusahaan agar kawasan seluas 211 hektar itu tidak hilang.

“Komitmen baru sebatas komunikasi. Tapi kami akan berusaha agar hutan tersebut tidak hilang untuk menjaga debit mata air,” jelas Eko.

Eko pun berharap ada bantuan dari pihak lain, terutama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), agar bisa mengubah status kawasan tersebut. Mereka pun punya cita-cita agar hutan tersebut menjadi hutan desa, syukur-syukur bisa menjadi hutan konservasi.

“Hutan seluas 211 hektar ini sangat penting untuk keberlangsungan Mata Air Jiwata. Kami pun punya mimpi untuk mengembangkan hutan tersebut sebagai tempat edukasi sekaligus wisata yang mengenalkan ragam pepohonan Kalimantan seperti pohon ulin maupun pohon kapur.”

Tak hanya sebagai sumber energi listrik, Mata Air Jiwata juga menjadi sumber air bersih warga desa. Jika hutannya hilang, bisa dipastikan mata airnya juga terancam.

 

***

* Awaluddin Jalil adalah jurnalis Liputan6.com. Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org Indonesia

Exit mobile version