Mongabay.co.id

Koalisi Masyarakat Sipil: Pemerintah Tak Perhatikan Agenda Kerakyatan

 

 

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil menilai pidato Presiden Joko Widodo pada sidang tahunan MPR dan DPR maupun DPD, 16 Agustus lalu tidak memperhatikan agenda kerakyatan. Bahkan, beberapa poin dalam pidato yang berdurasi 27 menit itu tidak menunjukkan kondisi nyata di lapangan.

“Pidato kenegaraan presiden itu luput membahas problem struktural yang dihadapi kaum petani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan di pedesaan,” kata Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam konferensi pers pernyataan sikap politik Koalisi Masyarakat Sipil: KPA, AMAN dan Walhi, di Jakarta, 18 Agustus lalu.

Dewi menyoroti dua hal yang bertentangan dengan kondisi lapangan. Pertama, bonus demografi dan hilirisasi yang dinilai akan menjadi modal untuk menyambut Indonesia Emas 2045. Kedua, international trust yang dibanggakan Jokowi.

Mengenai bonus demografi, Jokowi dalam pidatonya menyebut proporsi usia produktif di Indonesia pada 2045 akan jadi kunci peningkatan produktivitas nasional.

Dewi bilang, Jokowi luput melihat surplus usia produktif ini gagal diserap sektor pertanian. “Kenapa gagal? Karena Indonesia adalah negara agraris,” ucap Dewi.

Sensus pertanian hingga Februari 2023 menunjukkan penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian itu masih menduduki peringkat pertama, 40,69 juta orang. Angka ini tak hanya menunjukkan pertanian rumah tangga  , juga skala besar. Sedang rumah tangga pertanian justru cenderung menurun.

Kondisi ini, katanya, bisa dilihat dari hasil sensus 2003 yang masih mencatat angka 31 juta rumah tangga petani, pada 2013 jadi 26 juta petani rumah tangga.

“Ada penurunan drastis. Kita belum 2023 karena baru mau melakukan sensus yang dilakukan 10 tahun sekali,” katanya.

 

Dokumen: Pidato Presiden Joko Widodo

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

Belum lagi, dari angka itu, 16 juta petani rumah tangga masuk skala gurem. Kepemilikan lahan mereka tidak mencapai setengah hektar.

“Dari sisi kepemilikan lahan, 72% petani di Indonesia itu skala kecil. Kecenderungannya, penguasaan tanah oleh petani skala kecil itu makin terus mengecil,” ucap Dewi.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan perusahaan skala besar. Dia pun khawatir presiden mengedepankan poin hilirisasi.

Menurut dia, proses hilirisasi yang didorong pemerintah era Jokowi tidak berfokus pada transformasi pengusaan tanah, penjagaan sumber daya alam dan keberlanjutan kaum petani, masyarakat adat dan nelayan. Melainkan, malah memperkuat industrialisasi bidang agraria dan sumber daya alam.

“Korporasi makin dimudahkan, dilegitimasi untuk melakukan proses-proses pengadaan tanah dan eksploitasi sumber daya alam.”

Dalam pidato, Jokowi khusus mencontohkan keberhasilan hilirisasi industri nikel yang berhasil menciptakan 43 industri pengolahan nikel sejak penyetopan ekspor nickel ore pada 2020. Kalau berhasil pada komoditas lain, maka ada lompatan pendapatan per kapita dua kali lipat dalam waktu 10 tahun ke depan.

Fokus pemerintahan Jokowi dalam mengedepankan industri skala besar di bidang sumber daya alam ini, mengorbankan lingkungan dan masyarakat serta hak asasi manusia.

Karena itu, international trust yang dibanggakan Jokowi dalam pidato itu dinilai kontraproduktif dengan kondisi nyata.

Dalam pidato, Jokowi menyebut konsistensi Indonesia dalam menjunjung HAM, kemanusiaan dan kesetaraan sebagai salah satu faktor pemicu kepercayaan internasional (international trust). Padahal, catatan KPA menunjukkan,  ada 2.710 konflik agraria di di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Parahnya, tidak ada upaya penegakan HAM dan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan upaya kriminalisasi terhadap 1.615 petani, masyarakat adat, nelayan, aktivis lingkungan dan aktivis agraria yang ditangkap. Apalagi,  terhadap 38 orang yang ditembak maupun 69 orang yang tewas karena pertahankan hak atas tanah mereka.

“Klaim soal citra penegakan HAM di dunia internasional ini luput untuk melihat problem struktural yang kurang lebih terjadi delapan tahun terakhir.”

 

Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]

Sungai di Wawonii tercemar ore nikel. Ketika sumber air bersih terganggu, perempuan paling pertama terdampak. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Gagal penuhi janji

Visi Jokowi untuk menyambut Indonesia Emas 2045 tidak boleh lantas membuat dia lupa janji yang sudah dituangkan dalam Nawacita awal periode pemerintahan pertama. Walhi menyebut,  Jokowi gagal dalam mewujudkan poin-poin nawacita.

“Pemerintahan ini justru bekerja untuk memperbesar masalah yang mau dijawab oleh nawacita,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi.

Pertama, nawacita berbunyi ‘menolak negara lemah dengan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi bermartabat dan terpercaya.’ Dia nilai, tidak sesuai dengan kondisi karena ada pelemahan KPK.

Pemerintah juga melahirkan Undang-undang Cipta Kerja yang cacat prosedur karena tertutup dan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat. Belum lagi, dengan revisi UU Mineral dan Batubara, UU Ibu Kota Negara, dan UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kedua, dalam nawacita disebutkan soal ‘membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dari desa dalam kerangka negara kesatuan’. Poin ini pun dia lihat hanya berfokus pada penyaluran dana desa sebagaimana yang diucapkan Jokowi dalam pidato di DPR. Namun, katanya, pemerintah justru kembali memusatkan pengelolan sumber daya alam ke pemeritnah pusat lewat UU Cipta Kerja.

Ketiga, soal ‘memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.’ Hal itu, katanya, tidak berjalan selama 9 tahun Jokowi memimpin.

“Karena kebhinekaan termasuk keragaman suku dan adat itu dihancurkan. Peradaban masyarakat adat itu melekat di alamnya. Di pemerintahan Jokowi ini, Papua, Sulawesi dan Kalimantan dieksploitasi habis-habisan,” kata Zenzi.

Keempat, poin ketujuh nawacita,  ‘mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik’. Dalam penjabaran nawacita ketujuh, katanya, menyebut membangun kedaulatan pangan. Nyatanya, negara agraris ini malah dihancurkan dengan praktik food estate dan orinetasi pada impor.

Bahkan, UU Cipta Kerja memungkinkan impor sekalipun tidak terjadi krisis pangan sebagaimana dimandatkan dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan.

Paling parah,  katanya, janji reforma agraria 9 juta hektar tak jalan. Padahal, masa pemerintahan Joko Widodo tinggal satu tahun.

Hal ini juga jadi kritik KPA yang khusus menyebut kehadiran lembaga Bank Tanah sebagai entitas yang mengancam hak rakyat di pedesaan. “Ini sudah terjadi di Desa Batulawang di Cianjur, Jawa Barat. Secara sepihak desa atau kampung definitif ditetapkan sebagai alokasi  tanah atau target pengadaan tanah untuk bisnis berbasiskan korporasi,” kata Dewi.

 

Baca juga: Was-was Industri Nikel Hancurkan Alam dan Kehidupan di Sagea

Laut dan lahan pemukiman warga pesisir terdampak limbah operasi tambang nikel di hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Rezim harus berubah

Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bidang Politik menyebut,  perlu ada perubahan rezim yang melakukan agenda pro kerakyatan.

Menurut dia, situasi keterpurukan akan terus bertambah kalau pemimpin bangsa sesuai yang dibayangkan Jokowi dalam pidatonya.

“Dalam pidato ini agenda reforma agraria dan masyarakat adat jadi pertanyaan besar. Kalau tidak ada perubahan situasi, maka perampasan wilayah adat akan terus terjadi,” katanya.

Dia katakan, agenda kerakyatan yang dibuat AMAN, Walhi dan KPA akan dikomunikasikan dengan kontestan presiden mendatang. Namun, katanya, tidak akan ada dukungan praktis pemilu dari tiga organisasi sipil ini.

“Kami ingin siapapun orangnya dapat mengubah rezim ke arah lebih baik.”

Tak jauh beda dengan pandangan Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng), yang daerahnya jadi kawasan industri nikel. Walhi Sulteng menilai, isi pidato Jokowi bertabrakan dengan realita dan tidak menyentuh sama sekali isu penyelamatan rakyat maupun lingkungan, justru mendorong investasi berbasis ekstraktif seperti hilirisasi nikel.

“Banyak kerusakan lingkungan terjadi di wilayah-wilayah industri ektraktif khusus di Sulawesi Tengah, juga sebagai sentral industri hilirisasi pertambangan nikel di Indonesia,” kata Aulia Hakim, Kepala Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng.

Di Sulteng, katanya,  ada tiga kawasan mega proyek industri nikel antara lain Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Gunbuster Nickel Industri (GNI), dan Baoshou Taman Industri Invesment Group (BTIIG).

Pidato Jokowi, katanya,  malah mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap para pemilik modal dan mengabaikan kerusakan lingkungan hidup di Sulteng akibat pertambangan nikel.

“Dampak dari akibat masifnya tambang tak menjadi hal penting yang direspon seorang pimpinan negara.”

Padahal, katanya,  kerusakan lingkungan dari pertambangan nikel dirasakan masyarakat seperti kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar memburuk, seperti di Morowali, Morowali Utara, dan Banggai.

Upaya penyelamatan lingkungan dalam mengatasi polusi udara dengan mempercepat kendaraan listrik malah akan memberi dampak buruk bagi wilayah kelola industri nikel yang terpusat di Sulteng. Hilirisasi industri pertambangan nikel yang disebut Jokowi, salah kaprah.

Hakim bilang, mendorong kendaraan listrik akan berisiko tinggi terhadap timbulan emisi dan kerusakan di tempat pertambangan ore nikel yang  jadi salah satu komponen pembuatan baterai kendaraan listrik.

Walhi Sulteng mencatat per 2023, ada delapan PLTU dengan kapasitas 2.000 MW sudah beroperasi di IMIP. Di GNI,  ada empat PLTU beroperasi dengan kapasitas 1.000 MW.

“Rencana transisi energi yang digaungkan pemerintah Indonesia tidak lebih dari tipu-tipu transisi energi. Nyatanya,  PLTU di dalam kawasan industri terbangun.”

Dampak buruk, dari ‘pembangunan’ itu rakyat yang merasakan. Seperti nelayan Desa Tanauge, Morowali Utara,  harus merasakan kehilangan wilayah tangkap karena kapal tongkang batubara.  Begitupun dengan para pekerja tambang yang terganggu kesehatan karena debu hitam pembakaran batubara.

Muhamad Taufik, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng mengatakan, kondisi Sulteng saat ini dalam cengkeraman konsesi pertambangan. Maraknya industri pertambangan yang menguasai wilayah Sulteng memperburuk kualitas lingkungan, dan berdampak pada kesehatan masyarakat.

 

Baca juga: Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar

Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, warga protes kana asap dari pabrik smelter. Mereka akhirnya, ngungsi di DPRD Morowali Utara, sebagai aksi protes atas pencemaran lingkungan hidup di wilayah mereka. Foto: Jatam Sulteng

 

Jatam Sulteng mencatat, pada 2021 setidaknya ada 1.150 izin usaha pertambangan (IUP) menguasai 13 kabupaten/kota di Sulteng. Kehadiran tambang ini, katanya,  turut menghilangkan pendapatan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari melaut.

“Langkah cepat yang harus dilakukan saat ini adalah moratorium izin baru, dan konsesi bermasalah harus diaudit. Jika terbukti bersalah dan menyalahi aturan, perusahaan langsung ditindak tegas,” kata Taufik saat dihubungi Mongabay.

Dia bilang, selain moratorium, hal penting juga harus dilakukan pengawasan serius adalah reklamasi pasca tambang. Jatam Sulteng banyak menemukan praktik reklamasi yang diduga tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.

Salah satu reklamasi pasca tambang yang ditemukan Jatam Sulteng berada di Kabupaten Morowali, yang banyak Izin tambang nikel. Jatam Sulteng menemukan wilayah yang sudah kena tambang tidak ada reklamasi serius.

Di lokasi bekas tambang, katanya, hanya ditemukan pohon yang semestinya tidak ditanam di lokasi pasca tambang.

“Yang kami temukan malah pohon gamal. Seharusnya jenis pohon yang sudah ditebang di wilayah itu, dibibit kembali, dan bibit ditanami ulang di tempat pasca tambang itu, praktik di lapangan itu tidak demikian.”

Pemerintah, katanya,  juga harus menindak tegas perusahaan yang tidak serius reklamasi pasca tambang karena akan berdampak buruk pada masyarakat sekitar. Wilayah-wilayah bekas tambang itu rentan longsor.

Pasca pengesahan UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja,  daya dukung dan tampung lingkungan terus menurun. Apalagi, dalam menentukan tata ruang dan tata kelola, katanya, mengabaikan partisipasi masyarakat.

Petani sawah mengarungi lahan pertanian mereka yang ‘kedatangan’ lumpur merah. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version