Mongabay.co.id

Merawat Sumber Air, Memastikan Ketersediaan Listrik dan Pangan Desa Renah Kasah

 

 

 

 

 

Memasuki pinggir Desa Renah Kasah, padi menguning di sepanjang jalan. Orang-orang berkumpul di sawah, musim panen. Tua, muda, mereka turun ke sawah merayakan panen bersama.

Ciasni dan Rimisni, dua beradik sibuk menghempas buliran padi yang baru saja mereka siang. Angin sore sepoi-sepoi membuat suasana panen menyenangkan di desa di di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi ini. Mereka bergotong royong memanen padi di sawah warisan orang tuanya.

Sejak remaja hingga punya cucu, Ciasni turun ke sawah. Nikmat rasa beras padi payo Kerinci lekat di lidahnya. Hamparan sawah selalu mereka jaga juga merawat sumber-sumber air di Bukit Kayu Sigi.

“Sungai kayu sigi yang menghidupi kami turun temurun, mulai dari [pengairan untuk sawah] beras payo dan sekarang listrik,” katanya.

Desa Renah Kasah, berpenduduk 863 jiwa dengan 241 keluarga, secara administratif terletak di antara 285 desa yang ada di Kabupaten Kerinci. Ia berada di bagian selatan ibukota Kecamatan Kayu Aro,  berada di dataran tinggi.

Bagian timur, utara selatan berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Desa ini di kelilingi taman nasional dengan luas 250 hektar, 80 hektar merupakan areal sawah.

Desa ini penghasil beras payo, beras khas Kerinci. Sawah-sawah ini turun temurun terjaga karena hulu-hulu air yang mereka lindungi.

Untuk sumber energi, sejak 90an, warga sudah memanfaatkan kincir air. Julisni membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar kincir-kincir air yang tidak dgunakan lagi.

“Dari dulu, air memang jadi sumber listrik kami. Setiap satu kincir biasa menerangi lima sampai tujuh rumah rumah. Kami cuma bisa menikmati lisrik tiga sampai tujuh jam. Redup lampunya, sekarang terang,” katanya.

Pada 2020, Desa Renah Kasah mendapatkan program pembangunan PLTMH berkapasitas kapasitas 60kW hasil donasi United Nations Development Programme (UNDP).

Ia bekerja sama dengan beberapa pihak, antara lain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Badan Amil Zakat Nasional, dan Bank Jambi melalui Proyek Market Transformation for Renewable Energy and Energy Efficiency (MTRE3).

Produksi energi listrik mikro hidro Desa Renah Kasah ini untuk keperluan masyarakat dari fasilitas umum seperti masjid, sekolah, kantor desa, puskesmas pembantu, dan pos penyuluhan desa juga mengaliri 102 rumah dengan kapasitas 450 KWH.

 

Panen padi para perempuan di Desa Renah Kasah, Kabupaten Kerinci, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Setiap pemegang amper listrik dibebankan biaya token pulsa yang dikelola langsung esa BumDes. Besaran token pulsa tergantung KWH yang digunakan setiap hari dari setiap rumah.

Setiap pemegang amper listrik dibebankan biaya bulanan untuk operasional pperator Rp20.000 per amper perbulan.

Secara bersama masyarakat Renah kasah sepakat menghidupkan listrik mulai pukul 16.00 wib-09. Kalau ada hajatan dan keperluan seperti pesta perkawaian dan hari- hari besar biasa listrik hidup 24 Jam.

Dalam satu minggu akan ada dua kali pemadaman listrik pada siang hari.

Perawatan PLTMH secara bergotong royong. Kalau terjadi kerusakan pipa, pembersihan bendungan, dan kendala-kendala lain, perbaikan melalui bantuan masyarakat perdusun.

“Sekarang bisa pakai blender, mesin cuci, nonton tv. Seharian hidup listriknya,” katanya.

Jamatul Khairi, Tokoh Adat Renah Kasah bilang,  beberapa aturan adat menjaga hutan yang diterapkan antara lain larangan menebang hulu-hulu sungai, larangan membuka lahan kebun di areal yang miring, dianjurkan menanam bambu di sepanjang tepi sungai sebagai penahan abrasi.

“Kita datang ke sini, awal 1958-an atas dasar ingin bersawah. Jadi, aturan adat harus ditegakkan agar sungai terjago, airnyo deras dan padi menjadi (berbuah).”

 

Kincir air yang sudah tidak digunakan, semenjak beralih ke PLTMH. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Yosi, operator PLTMH Renah Kasah mempercepat langkah menyusuri Sungai Kayu Sigi. Sungai ini merupakan sumber air bagi PLTMH dan sawah, air minum dan segala kegiatan warga. Jarak sekitar lima kilometer dari desa. Kiri-kanan terlihat tanaman medang kuning (Lauraceae litsea),  medang labu (Lauraceae litsea sp),  medang sobok (Lauraceae litsea sp) dan medang penjait (Lauraceae litse). Sungai Kayu Sigi berada di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dengan Sungai Kayu Medang.

Sepanjang perjalanan menuju bendungan, Yosi bilang selama ini belum mendapatkan pelatihan khusus soal PLTMH. Kalau ada, mereka harus membayar teknisi dari luar untuk memperbaiki.

“Sejak jadi operator hingga sekarang, belajar tentang PLTMH secara otodidak, kami butuh pelatihan peningkatan kapasitas,”  katanya.

Sumber air PLTMH Desa Renah Kasah dari dalam kawasan TNKS. Mereka pakai ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 soal pemanfaatan air dan energi air di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Jadi, sebelum pembangunan mikro hidro,  balai besar menerbitkan surat keputusan kepala Balai Besar TNKS kepada Pemerintah Desa Renah Kasah Kecamatan Kayu Aro, Kerinci.

Zainudin, Kepala Bidang Wilayah I BBTNKS , bilang,  sejak penetapan dan kerjasama dengan BBTNKS, dibentuk Kelompok Tani Hutan Renah Kasah Lestari. Kelompok ini juga fokus usaha pemulihan ekosistem. tentang kemitraan konservasi.

“Ada wilayah pemulihan ekosistem, 25 hektar lokasi pemulihan ekosistem. Sekarang kayu sudah tinggi-tinggi 2-5 meter,” katanya.

Zainudin mendukung upaya pemanfaatan air skala desa jadi sumber energi terbarukan. “Sesuai pilar pengelolaan konservasi  soal pemanafaatan. Pemanfaatan air untuk energi terbarukan ini kan non komersil, tidak mengganggu sama sekali. Malah kolaborasi untuk sama-sama menjaga menjadi lebih kuat.”

Ada sekitar 342 desa bersinggungan dengan TNKS di empat provinisi: Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Bengkulu.  Sekitar lima desa masih berada di dalam kawasan membeuat kerja-kerja kolaboratif.

“Saat ini  dengan luasan TNKS 1, 4 juta hektar dan  138 personil ASN, kami kewalahan kalau tidak berkolaborasi dengan masyarakat. Kita mengajak masyarakat merasakan dampak ekonomi juga dari pemanfaatan jasa lingkungan, salah satunya air dan hasil hutan bukan kayu. Di Bengkulu, ada pemanfaatan kecombrang dan rotan,” kata Zainudin.

Salah satu dari enam program surat keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Kerici Seblat tentang pemberian izin pemanfaatan energi air (IPEA) Desa Renah Kasah adalah restorasi hutan.

Kegiatan ini, katanya,  untuk melihat komitmen dan keinginan masyarakat dalam melindungi daerah tangkapan air pembangkit mikro hidro. Juga untuk melihat kaloborasi masyarakat dalam menjaga TNKS.

Restorasi di Desa Renah Kasah berada di sekitar sumber air mikro hidro di dalam TNKS seluas  sekitar 51,236  hektar.

Untuk pemulihan ekosistem dengan 1.480 batang per hektar, antara lain dengan tanaman medang-medangan, kemian, kayu manis, surian, dan alpukat.

 

Landscape Desa Renah Kasah 30% dari luas desa persawahan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Dana JETP untuk komunitas

Kemitraan transisi energi yang adil atau just energy transition partnership (JETP) semestinya mampu mendukung pengembangan energi skala kecil di tingkat komunitas. Bicara soal ratio elektrivikasi, ada 4.400 desa belum tersentuh listrik.

Suriadi Darmoko,   Juru Kampanye 350 Indonesia, mengatakan, penyediaan energi seperti dari sumber air di tingkat komunitas adalah bagian mereka menjaga air, hutan dan pangan.

Di Renah Kasah ini pemanfataan energi air melalui kincir-kincir dan sekarang mikro hidro menunjukkan komitmen dari komunitas untuk pengelolaan energi  berkelanjutan.  “Tumbuh dari tingkat tapak,” katanya.

Pengembangan energi terbarukan di tingkat komunitas, kata Moko, bukan saja tentang penurunan emisi gas rumah kaca sector energi, juga soal mencegah deforestasi dan degradasi lahan.

Untuk itu, katanya, pelu kelembagaan pembangkit listrik berbasis desa. “JETP harus mengalokasi dana untuk pembangkit energi terbarukan di skala desa dan komunitas.”

JETP merupakan program pendanaan US$20 miliar (setara Rp300 triliun) yang terbentuk di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022. Pendanaan ini merupakan hasil kesepakatan antara Indonesia dan international partners group (IPG), yang tersalur lewat komitmen sektor publik dan investasi swasta, masing-masing US$10 miliar.

Tri Mumpuni, Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) dalam diskusi daring bertajuk “JETP dan Inisiatif Transisi Energi di Akar Rumput”, menilai, sebagai pendanaan transisi energi yang mengusung prinsip berkeadilan, JETP harus jadikan masyarakat dan komunitas lokal sebagai pelaku utama dalam proyek transisi energi.

“Kecenderungan JETP  akan dialokasikan untuk pembangkit-pembangkit skala besar, dengan mengabaikan kemampuan masyarakat untuk mengelola energi terbarukan. Ada banyak praktik baik di Indonesia, menggantikan posisi energi batubara.”

Pemerintah, kata Moko, selalu melihat kebutuhan energi skala besar. Untuk itu,  katanya, harus memutus rantai oligarki dengan menganti kepemilikan, pemilik dan pembangkit energinya.

“Energi rakyat harus didorong, memang masyarakat yang menggiatkannya, skala kecil. Bukan energi terbarukan skala besar yang pemiliknya adalah orligarki,” ucap Moko.

 

*Liputan ini terselenggara atas kerja sama Mongabay Indonesia dan 350.org

 

Fasilitas pembangkit mikro hidro di Desa Renah Kasah. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version