Mongabay.co.id

Pangan Perempuan Tani Indramayu dalam Himpitan Pembangkit Listrik Batubara

 

 

 

 

 

 

 

 

Surmi duduk berteduh dari sengatan mentari siang itu. Sudah dua kali menanam bawang merah, dua kali pula tanaman mati membusuk. Daun bawang layu, bagian pucuk menguning. Semua ludes terserang hama sebelum panen.

Dia memperlihatkan umbi bawang yang rusak. Buah kecil seukuran ujung jari kelingking, berwarna hitam kecoklatan, dan cenderung pucat. Batang umbi lembek,  mengeluarkan cairan berbau tak sedap.

“Biasa gak kayak gini, [sekarang] mati terus,” kata warga Mekarsari, Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat ini, akhir Mei lalu.

“Bawang merah [harganya] mahal. Ini nanam 40 kilogram, tapi pada mati dan busuk.”

Perempuan 51 tahun ini bersama suaminya, Warsan, mencabut semua bawang yang baru berusia tiga minggu ini. Taka da hasil apapun.

Sambil menyeka keringat, dia menuang secangkir air putih dari botol plastik dan meneguknya. “Boro-boro hasil, nggak ada. Bibit juga belum, habisin modal,” katanya.

Surmi menanam bawang merah di lahan lima petakan masing-masing seluas 1×20 meter persegi. Dia mesti mengeluarkan ongkos Rp2,2 juta dengan harga per kg bawang Rp55.000. Dia beli bibit bawang merah 40 kilogram.

Tak sampai dua bulan, untuk budidaya bawang merah, dia menghabiskan Rp4,4 juta dalam dua kali tanam tanpa hasil. Itu belum termasuk pupuk dan obat-obatan untuk membasmi hama dan menyuburkan tanaman.

Surmi tak tahu penyebab bawang busuk. Kalau hama macam ulat atau serangga, dia sudah hafal. Penyakit yang menyerang bawangnya tak kasat mata.

Berbagai jenis obat-obatan sudah dicampur dan semprotkan ke tanaman. Dosis racun makin ditingkatkan, dari pupuk subsidi hingga racun yang disarankan teman-temannya, namun, sekali lagi tetap tak mempan.

“Diobat terus. Tapi mati terus [tanamannya].”

Dari pengalaman Surmi menanam, bukan hanya bawang merah yang bernasib demikian, sayuran lain seperti terong, tomat, cabai rawit, kacang juga sama, tanam tumbuh, daun menguning, kemudian layu dan mati.

“Itu cabe juga pada kuning-kuning.” Surmi menunjuk tanaman cabai rawit di dekat kami.

 

Petani di Indramayu, dengan kondisi padi terancam hama. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Warsan mencabut setangkai cabai rawit. Akar kelihatan mengering, daun menguning dan tak berbuah. Ada juga tanaman cabai dengan buah rontok dan busuk.

Surmi baru panen tiga kali tanaman cabai rawit, kini satu per satu tanaman layu dan mati. Penyakit itu seperti menjalar pada tanaman lain yang kelihatan hijau di daun tetapi busuk di buah.

“Biasanya metik 10 kali juga bisa kalau nggak kayak begini.”

“Ini daun pada kering. Nggak ada hamanya. Coba liat baik-baik,” kata Warsan meminta saya mengamati daun dan batang cabai.

Sekitar lima tahun terakhir, tanaman sayuran mereka sering kandas di tengah jalan. Kalau bukan gagal panen seperti bawang, berarti hanya bisa menikmati separuhnya seperti cabai rawit.

“Di jual nggak laku. [Kalau jual] murah.”

Dia menduga, tanaman mulai sakit-sakitan setelah ada pembangkit batubara di sekitar kampung.  “Jadi susah sekarang kelola itu, setelah ada PLTU 1,” kata Surmi.

Suaminya curiga.  “Mungkin debu dari itu ya, bikin tanaman-tanaman pada tak subur.”

Yang mereka maksud adalah PLTU batubara Unit 1 Indramayu,  beroperasi sejak 2011. Pembangkit listrik berkapasitas 3 x 330 atau 990 megawatt (MW) ini berdiri di atas lahan seluas 83 hektar.

Pada Desember 2014, mantan Bupati Indramayu, Irianto M.S. Syafiuddin atau Yance, didakwa menggelapkan Rp4,1 miliar. Uang sejumlah itu dalam proses pembebasan lahan untuk pembangkit listrik ini.

PLTU 1 Indramayu dibangun PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB),  anak usaha PT PLN,  di bawah program jalur cepat (fast track program) tahap I. Pendanaan konstruksi PLTU 1 Indramayu nilai kontrak US$ 562 miliar dari konsorsium bank kontruksi China, konsorsium bank lokal Indonesia dan APLN.

Sisi kiri dan kanan pembangkit listrik ini dikelilingi hamparan ratusan hektar ladang sawah padi dan tanaman sayuran. Hanya dibatasi dinding beton setinggi lima meter lebih antara lahan pertanian dan fasilitas pembangkit.

Jarak tak jauh dari pemukiman warga Desa Sumuradem dan Tegal Taman di Kecamatan Sukra, dan Mekarsari di Kecamatan Patrol, Indramayu.

Semburan asap PLTU ini bisa terlihat begitu dekat dari tiga desa ini. Kepulan asap mengikuti arah angin, menerjang kemana-mana hingga lahan pertanian dan permukiman sekitar terimbas.

Tak hanya sayur mayur, tanaman kelapa sudah tak ada, pisang pun terancam.

 

 

Tanaman bawang gagal panen di Indramayu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

 

Satia, perempuan Mekarsari,  mengenang jauh sebelum PLTU beroperasi. Dia dan perempuan di Mekarsari masih sering membuat ketupat dari daun kelapa. Dulu, pohon kelapa cukup banyak di desanya. Mereka tak kesusahan bila ingin membuat masakan pakai santan kelapa atau ingin minum kelapa muda.

Namun, saat saya datang Mei lalu, tak melihat satupun kelapa  tumbuh di tiga desa itu. Satia bilang, semua kelapa sudah mati terserang penyakit. Untuk memasak, Satia mesti beli parutan kelapa atau santan kemasan di warung atau pasar terdekat.

“Sekarang mau bikin kupat [ketupat] harus beli di pasar. Disini sudah tidak ada pohonnya. Semua pada mati,” kata Satia.

Rodi, suami Satia berkata, sejak tiga tahun PLTU 1 Indramayu beroperasi, tanaman kelapa warga Mekarsari hingga Tegal Taman dan Sumuradem semua ludes. Saat diselidiki, ternyata ada semacam cairan minyak. Mula-mula pelepah kelapa rontok, lama-lama gundul, kemudian batang lapuk.

Kuat dugaan penyakit yang membunuh tanaman kelapa berasal dari limbah beracun PLTU 1 Indramayu. Sebab, kata Rodi, setelah pembangkit listrik ini beroperasi, semua tanaman kelapa perlahan-lahan mati tak tersisa.

“Jadi, kami tidak lagi panen kelapa kayak dulu,” kata Rodi, Ketua Jatayu kepada saya. “Sekarang harus beli kalau mau makan.”

Selain kelapa, pisang juga tengah terancam. Pada lahan pertanian Surmi dan Satia, pisang memang tumbuh, tetapi daun bercak-bercak bolong, menguning dan sebagian lain mati. Buah, kalau dikarbit tak matang. Kalau dibiarkan justru membusuk.

Surmi pernah karbit pisang usuk dan pisang ambon. Dia pikir sudah cukup waktu panen. Surmi lalu memanen beberapa batang pisang dan menitipkan di warung warga. Warga yang beli komplain karena pisang Surmi keras tak bisa dimakan, lalu dia kembalikan.

“Dikembalikan lagi sama saya. Saya ma nggak sengaja, nggak tahu, nggak ngerti kan,” kata Surmi.

Sejak kejadian itu, kata Satia,  sebelum panen, buah mesti diperiksa lebih dahulu, kalau busuk dibuang, kalau normal dibawa pulang dan dijual.

“Ada yang belum berbuah pada mati. Belum tinggi pohon mati, banyak itu,” kata Satia sambil sejumlah tanaman pisang di dekat sawahnya.

Tanaman pisang maupun kelapa, bagi warga Mekarsari, cukup membantu kebutuhan sehari-hari,  untuk konsumsi maupun dijual.

Sekarang, tanaman kelapa musnah, pisang menyusul lenyap dari lahan pertanian. Kalau bertanya pada petani, telunjuk mereka tertuju pada cerobong PLTU Indramayu yang menyemburkan polusi batubara dalam 1×24 jam setiap hari.

 

tanaman cabai warga Indramayu yang rusak. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

 

Tolak PLTU

Surmi,  salah satu perempuan tani yang berdiri di garis depan menolak PLTU. Dia bersama ratusan buruh tani yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) berkali-kali protes agar pembangkit listrik ini ditutup. Termasuk,  setop skema pencampuran (co-firing) biomassa pada PLTU batubara, dan menolak rencana proyek pembangunan PLTU 2 Indramayu.

PLTU 1 Indramayu menerapkan sistem co-firing biomassa sejak 2021. Co-firing biomassa adalah metode pencampuran batubara dengan biomassa dari berbagai bahan baku ‘terbarukan’, seperti pelet kayu, pelet sampah, serbuk gergaji, cangkang sawit, sekam padi dan lain-lain. Di pembangkit listrik Indramayu, mereka pakai serbuk gergaji dan sekam padi.

Oleh PLN, skema co-firing biomassa diklaim dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, emisi gas rumah kaca, dan menurunkan laju kenaikan suhu bumi. Sisi lain, tidak perlu membangun pembangkit listrik baru dengan menggunakan pembangkit yang sudah beroperasi.

Namun, bagi Surmi, meski dicampur dengan serbuk gergaji atau skema co-firing biomassa, debu beracun sisa pembakaran makin pekat dan tetap berisiko.

Belakangan, katanya,  malah memperparah kondisi lingkungan, juga perlahan memutus asa mereka mengolah pangan di sawah dan menyebabkan gagal panen tanaman pertanian beberapa kali.

 

 

Penyakit baru dan gagal panen

Sambil membungkuk dan berjalan mundur, Satia memegang bibit padi pada tangan kirinya dan menanam satu per satu padi ke sawah dengan tangan kanan. Baru beberapa langkah, kaki kirinya terasa terganjal. Dia meraba-raba di dasar tanah dan menemukan dua cangkang keong.

Hari itu dia tidak mengenakan sepatu bot sebagai pelindung. Kalau saja tak hati-hati, kaki bisa terluka.

Satia sudah sering menginjak cangkang keong saat menanam padi tetapi belum pernah kakinya terluka. Temannya yang lain, sering menginjak hingga kaki berdarah.

“Ada teman yang kakinya terluka kalau buru-buru saat nandur [tanam],” kata Satia. Satia sering kumpulkan cangkang keong kalau temukan saat tanam padi.

Satia bilang,  keong emas yang mati banyak cangkang di dasar lahan. Yang masih hidup berkeliaran mengikuti jalur irigasi dari satu tempat ke tempat lain.

Seperti wabah, keong emas menyebar, begitu pula dengan telurnya. Satia dan Rodi sering memungut dan memusnahkan telur keong yang menempel pada pangkal batang dan daun tanaman padi.

Cara-cara alami memusnahkan keong hingga menggunakan pestisida sudah mereka lakukan, namun, bak pepatah, mati satu tumbuh seribu.  Makin banyak racun kimia, bukan berarti hama keong bisa teratasi, justru makin merajalela.

“Namanya keong emas dulu, iya kan. Dulu keong emas, sekarang keong ganas.”

Keong hanya salah satu hama yang menyerang tanaman padi. Belakangan, muncul kupu-kupu putih yang menempel pada pucuk daun hingga sela-sela bibit padi.

Menurut Surmi, kupu-kupu putih ini baru terlihat setahun terakhir, sebelumnya tidak pernah ada. Satia dan petani lain membenarkan.

 

Pisang di Indramayu, juga mulai rusak. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Dulmuin, warga Mekarsari, mengajak saya melihat-lihat bibit padi mereka yang diselimuti telur keong emas dan kupu-kupu putih. Hama ini kami temukan hampir di setiap bibit padi. Ia memakan pinggiran dan ujung daun, menghilangkan sebagian besar jaringan daun, perlahan merusak pelepah.

“Itu banyak sekali. Putih semua. Ada yang sudah mati (kupu-kupu putih), tapi tanaman juga ikut mati,” kata Dulmuin,  menunjuk sejumlah petakan bibit padi di sawah.

Banyak jenis obat-obatan yang petani gunakan saat merawat tanaman. Mereka dapat subsidi dan beli di toko-toko penjual obat-obatan pertanian.

Dulmuin bilang, kalau pakai obat yang sama terus, hama penyakit sudah kebal. Dia dan petani lain mesti terus mengganti obat-obatan supaya hama bisa mati atau setidaknya berkurang.

Dia contohkan,  hama wereng, paling sering dijumpai pada padi. Wereng, kata Dulmuin, berbahaya dan populasi banyak. Kalau sudah proses menanam padi, yang paling dia khawatir muncul wereng pada daun dan batang padi.

“Tanaman kita bisa gagal panen total kalau muncul wereng, di tambah hama-hama lain,” kata Dulmuin.

“Jadi, harus terus ganti obat-obatan.”

Gagal panen parah pernah dialami petani Mekarsari, Tegal Taman dan Sumuradem pada 2021-2022. Kala itu tak ada hasil yang bisa dijual. Mereka tanam padi, yang tumbuh kerugian.

Hampir sebagian besar tanaman padi terserang hama penyakit. Para petani tak ada yang panen. Padahal, kata Dulmuin, sejak awal, dari pembibitan, menanam hingga perawatan, selalu disirami obat pembasmi hama dan penyakit.

Ramini, petani lain cerita, musim panen kala itu banyak padi yang hasilnya kosong karena terserang penyakit putih dan patah leher. Gejala awalnya seperti bercak merah kecoklatan di daun padi, lama kelamaan terinfeksi pada batang dan membuat padi membusuk hingga patah.

“Panen hasilnya gak bagus ya, gak tau, gak tumbuh padi. Tumbuhnya putih semua. Karena gak panen sih, ya udah, bengong aja, ya, Allah gimana ini,” katanya.

 

 

 

Punya Surmi lebih parah. Lahan 150 bata atau setara 2.100 meter persegi yang dia tanami padi gagal total.

Baru seminggu ditanam, daun memerah dan rontok. Saat dicabut, akar busuk. Kalau tidak gagal, lahan seluas itu biasa hasilkan panen 14 kwintal setara 1,4 ton, kadang-kadang lebih.

“Karena gagal, jadi nanam lagi, traktor lagi. Dua kali modal, dua kali biaya. Biaya tambah lagi. Ditraktor lagi, ditanami lagi, kan biaya lagi. Banyak tuh, mau semua orang (petani lain).”

Ramini bilang, dia bangkrut dan kehabisan ongkos jutaan rupiah saat gagal panen. Dia tidak merinci, tetapi dari hitung-hitungannya, di atas belasan juta.

Sedang Satia harus mengeluarkan sebesar Rp10-12 juta di lahan seluas 70 meter persegi sampai panen. Padahal, sebelum ada PLTU, biaya hanya Rp5 juta.

Bagi perempuan buruh tani seperti Satia, Ramini dan Surmi, gagal panen memperburuk hidup sehari-hari. Mereka mesti banting setir mencari jalan keluar, dari jadi kuli untuk biaya makan dan kebutuhan anak-anak sekolah.

Bila kembali menanam padi, para buruh tani harus perlu modal besar. Dalam situasi terimpit, sebagian besar dari mereka terpaksa meminjam uang di bank atau menggadaikan barang untuk dapat modal awal.

Ramini pernah menggadaikan surat kendaraan motor di salah satu bank untuk dapat modal. Setiap bulan dia mesti bayar setoran Rp30.000 dalam tiga tahun, total Rp9 juta. Setelah melunasi, dia merasa tak sanggup lagi dan beralih meminjam uang kepada bibinya.

“Bibi juga ngerti, padi segitu, gak langsung bayar. Sekarang,  masih punya utang, katanya nanti lagi, gak usah buru-buru bayar. Gak kayak di bank gitu,” ujar Ramini.

Setiap kali panen, Ramini mencicil utang. Bila hasil panen sedikit, dia tidak khawatir kalau belum lunas. Bibinya memahami Ramini hanya petani kecil yang bergantung pada hasil panen dan kuli.

“Setiap bulan kan ada kebutuhan hari-hari, ya dicukup-cukupin aja. Kalau nggak, mesti cari pekerjaan lain, misal, kuli di sawah orang, atau nanam tanaman yang cepat dapat duit tuh,” kata Ramini.

Namun, Andhanto KM, Komunikasi Korporat PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) mengatakan,  gagal panen dan serangan penyakit yang dialami buruh tani di sekitar pembangkit listrik bukan karena dampak dari kehadiran PLTU dan proses co-firing.

Menurut dia, sejak lama musuh petani di sekitar Kecamatan Sukra dan Patrol adalah pola tanam yang kurang baik. Mulai dari penentuan varietas yang dipakai, jadwal tanam, hingga penggunaan pestisida kimia yang berlebihan. Hal ini disebut menyebabkan musuh alami tanaman mati dan hama berkembang pesat.

“Gabungan permasalahan ini menyebabkan ekosistem rusak dan berakibat tanaman rusak sebelum memasuki waktu panen. Belum lagi, seperti tahun 2022,  gagal panen karena hama tikus yang diakibatkan jadwal tanam tidak serempak.”

Dia menerangkan ini dengan mengutip pernyataan beberapa petani di sekitar pembangkit listrik.

 

Petani di Indramayu, diduga terdampak PLTU. hasil pertanian sering rusak bahkan gagal panen. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Ketimpangan di tengah lumbung pangan

Data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Indramayu menyebut,  produksi padi selama 2015-2022 mencapai 13.477.616,04 ton gabah kering panen (gkp). Sementara, hasil produksi musim panen pertama 2022/2023 mencapai 941.520,72 ton dengan luas tanam 127.267 hektar dan luas panen 125.322 hektar.

Dalam rentang delapan tahun ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, produksi padi di Indramayu meningkat dan berada di urutan pertama di Jawa Barat. Urutan kedua dan ketiga penghasil padi terbesar di Jawa Barat adalah Karawang dan Subang.

Tiga kabupaten/kota dengan potensi produksi padi terendah yaitu Kota Depok, Kota Bogor, dan Kota Cimahi.

Hasil kajian Indramayu Lumbung Pangan Nasional (ILPN) 2022 juga menunjukkan,  produksi Indramayu selama lima tahun terakhir berkisar antara 1.672.037 ton gkp pertahun (terendah) dan 1.818.995 ton gkp pertahun. Produksi padi ini disebut sangat tertinggi untuk ukuran nasional dan penghasil padi tertinggi.

Kajian sama menyebutkan, komoditas pangan yang memiliki sebaran wilayah kecamatan di Indramayu paling tinggi rata-rata selama lima tahun terakhir (2017-2021) adalah padi, disusul kacang hijau, kedelai, jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Komoditas unggulannya, padi–termasuk padi sawah–, mangga, perikanan, dan peternakan.

Presiden Joko Widodo bahkan mengatakan, Indramayu menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang membantu menyumbang surplus padi nasional 1,3 juta ton.

Selain menjadi lumbung padi tingkat provinsi dan nasional, Indramayu juga dikenal sebagai kota mangga, dan pemasok ikan terbesar di Jawa Barat. Hampir setiap tahun kabupaten ini mendapat penghargaan dan predikat sebagai daerah lumbung pangan nasional dari pemerintah pusat.

Meski berstatus sebagai lumbung pangan, petani dan buruh tani di Indramayu justru berada dalam jerat kemiskinan dan ketimpangan penguasaan lahan yang akut.

Data BPS Indramayu 2015 yang menyebut,  petani (pemilik, pemilik penggarap, dan penggarap/penyewa) sebanyak 380.442 orang dan buruh tani 252.012 orang.

Data berseri 2019-2022 BPS menunjukkan,  kemiskinan di Indramayu berada di posisi kelima teratas dan kesejahteraan jauh di urutan ke 23 dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Surmi, Ramini dan para perempuan di Kecamatan Patrol dan Sukra adalah sekelompok kecil buruh tani yang hidup dalam rantai produksi pangan yang rumit. Mereka tak punya kuasa atas lahan, dan kesulitan proteksi kebutuhan di tengah keterancaman pangan.

“Kita mah, cuman buruh tani, petani kecil, jadi begini aja kondisi kita, hidup susah,” kata Ramini.

Sehari-hari buruh tani di daerah ‘lumbung pangan’ ini hidup di tengah situasi terhimpit, berhadap-hadapan dengan polusi debu batubara PLTU. Juga, serangan penyakit pada tanaman dan manusia, ditimpali gagal panen bergulir, hingga bakal terusir dari lahan sawah bila rencana proyek PLTU tambah kembali.

Laksmi Adriani Savitri, doktor bidang Kajian Agraria dan Gender Universitas Kassel, Jerman, mengatakan,  ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia sudah akut, terutama ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Dalam konteks di Indramayu, ketimpangan ini makin buruk dengan pembangunan pembangkit listrik batubara.

Kehadiran PLTU 1 Indramayu, kata Laksmi, bukan memperbaiki kondisi akut, justru memperburuk kehidupan buruh tani perempuan memenuhi produksi konsumsi pangan. Buruh tani, katanya,  perempuan merupakan kelompok rentan. Mereka bekerja di dua ranah, produksi dan reproduksi sosial.

Dalam ranah produksi, buruh tani perempuan jadi tulang punggung keluarga dan pemberi nafkah. Saat sama,  juga reproduksi sosial, bertanggung jawab untuk kerja-kerja perawatan keluarga, merawat orangtua, dan terbebani tanggung jawab sosial lain, “yang semua itu tidak terbayar.”

Dalam kondisi terhimpit dengan memikul beban ganda, buruh tani perempuan juga harus merasakan cemaran PLTU batubara terhadap lingkungan dan pertanian, sampai gagal panen.

“Itu semua menjadi lapisan kekerasan yang harus dihadapi buruh tani perempuan (sekitar PLTU),” kata pengajar di Universitas Gadjah Mada ini.

 

PLTU tampak dari kejauhan, yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian warga. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

 

Imbas hak atas pangan dan gizi perempuan yang berada dalam posisi sangat rentan. Rentan, berarti sulit memenuhi hak atas pangan dan gizi karena pendapatan kecil, sisi lain tanggung jawab tidak berkurang.

“Kalau buruh tani perempuan-perempuan ini tidak mampu memenuhi hak atas pangan dan gizi, yang tidak terpenuhi itu bukan hanya dirinya sendiri, juga keluarganya. Konsekuensinya,  kualitas generasi yang makin menurun.”

Wahyudin, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat mengatakan,  polusi PLTU Indramayu mengancam ruang hidup buruh tani. Buruh tani, terutama perempuan, katanya, terancam dengan polusi pembakaran pembangkit listrik.

Bukti-bukti terkait daya rusak debu batubara, selain terhadap kesehatan, juga pada tanaman kelapa yang mati, menyusul pisang sampai panen tanaman sayuran dan padi yang terus berulang.

Dari riset-riset Walhi Jabar, katanya, petani mengeluarkan ongkos lebih besar untuk mengatasi hama. Dia meyakini, hama penyakit yang membuat petani gagal panen karena kerusakan lingkungan dari aktivitas PLTU.

Selain menimbulkan hama-hama baru, katanya, debu batubara–meski telah dicampur dengan biomassa, yang bertebaran jatuh ke tanaman petani cukup mempengaruhi kualitas tanaman.

“Secara ilmiah, meski harus dibuktikan, tetapi kami masih yakin bahwa persoalan itu salah satunya dampak dari aktivitas PLTU,” kata Iwank,  sapaan akrabnya.

Di Indonesia, sulit menemukan riset ilmiah yang meneliti dampak pembangkit listrik batubara terhadap pangan dan pertanian.

Dalam sebuahstudi Mochamad Nasrullah dan Wiku Lulus Widodo dari Pusat Kajian Energi Nuklir menyatakan,  sulfur dioksida (SO2) yang dikeluarkan PLTU jika nilai konsentrasi 19,2 ug m3 bakal membuat tanah di sekitar pembangkit listrik mengalami penurunan kesuburan. Kondisi ini, katanya, akan merugikan bagi tanaman pertanian.

Riset lain di Bangladesh lebih dari satu dasawarsa lalu menunjukkan,  pembangkit listrik batubara memiliki dampak berbahaya pada pertanian dan ketahanan pangan, keanekaragaman tanaman dan satwa liar. Juga, perikanan, kehidupan penduduk setempat dan topografi daerah itu.

Setelah pabrik beroperasi, perlu pasokan batubara dan bahan di dalamnya, disebut, akan memancarkan bahan kimia berbahaya seperti sulfur, karbon dioksida, kadmium, radium, arsenik, timbal, merkuri, dan nikel.

Gas-gas beracun ini, masih mengutip riset itu menyebut, akan disebarkan angin dan mempengaruhi manusia, pohon, tanah dan ternak.  Tekstur tanah–pasir, lanau dan tanah liat–akan rusak oleh bahan kimia beracun yang dibuang, dan secara ekstensif mengurangi kesuburan dan produksi tanah dari waktu ke waktu.

Proyek pembangkit listrik batubara dinyatakan tidak hanya menghambat dalam pangan dan pertanian, juga membuat rentan terhadap bencana alam dan bencana yang hampir tidak dapat dibayangkan.

“Manfaat proyek ini tidak pernah lebih besar daripada konsekuensinya. Inisiatif ini harus dihentikan dengan biaya berapapun.”

Jadi, kata Iwank, PLTU 1 Indramayu ini harus segera setop. Meski sudah menerapkan co-firing, tetap mempengaruhi lingkungan hidup seperti hasil panen warga hingga berdampak bagi pangan, termasuk pendapatan negara di sektor pangan.

“Kami desak PLTU Indramayu harus dihentikan, karena merugikan semua sektor.”

Menurut Laksmi, negara harus bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa buruh tani di Indramayu. Ketahanan pangan dan lingkungan yang sehat dan layak harus dinikmati buruh tani.

 

Perempuan petani Indramayu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

***

Sejak 2015, Surmi dan para perempuan yang tergabung dalam gerakan Jatayu protes pembangunan PLTU ini. Gerakan makin menguat kala pemerintah berencana membangun PLTU 2 Indramayu kapasitas 1.000 Megawatt, bagian dari target pengembangan 35.000 watt untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa-Bali.

Bagi buruh tani, PLTU 2 Indramayu di lahan pertanian, bukan hanya menghancurkan produktivitas mereka, juga mengancam kelestarian lingkungan dan akan merugikan mereka maupun anak cucu kelak.

Gerakan masif buruh tani di Jatayu berhasil menghentikan pemerintah Jepang menarik mundur dukungan pendanaan PLTU 2 Indramayu.

Langkah ini sebagai respon protes dan respon atas kritik interansional terkait pembangkit listrik batubara yang dinilai jadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Jepang,  sebelumnya berkomitmen mengurangi emisi karbon baik di negara sendiri maupun di negara-negara lain.

“Kalau nggak ada lahan ini, bagaimana tu, warga sini. Mau cari makan dimana? Susah. [Jadi] saya nggak mau. Kami tolak, kami usir. Jangan sampai dibangun (PLTU 2) itu,” kata Surmi.

Dia dan petani perempuan terus menanam, ketimbang tanah jadi pembangkit listrik baru.

Nanam sering rusak, tapi nggak kapok. Daripada didiemin, nggak di tanam, kan. Mungkin kalau saya kapok, diam ya, diambil orang,” katanya.

Ramini juga sama, tak mau lahan pertanian jadi pembangkit listrik. Dari pengalaman saat ini, PLTU 1 saja, dampak nyata mereka rasakan, apalagi kalau tambang yang baru, bisa lebih buruk.

“Yang penting ma (naman) terus aja. Kalau ini mati, ganti lagi. Ini nggak bagus ya ganti lagi. Gitu aja terus.”

 

 

*Liputan ini merupakan fellowship  Trend Asia dalam program “Food vs Energy Fellowship 2023”

 

Telung keong di tanaman padi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version