Mongabay.co.id

Belajar Permakultur buat Kehidupan Sehari-hari [2]

 

 

 

 

 

Kebun aneka tanaman herbal terhampar di lahan puluhan are di Desa Peliatan, Ubud, Bali. Ada kedai kecil dengan ragam menu teh dari daun, bunga, dan bagian lain tanaman. Ada juga pabrik pengolahan tanaman jadi teh yang sudah ekspor. Made Tea, namanya.

Kami  berkeliling mengenal berbagai tanaman bahan baku teh di kebunnya. Tanaman berry memberi sambutan selamat datang. Juga olahan buah teh berry. Beberapa buah matang, berwarna hitam. Pengelolanya mempersilakan memetik dan makan langsung. Manis, asam, dan segar berpadu serasi.

Ada pegagan, di Bali dikenal dengan daun piduh. Daun ini bisa jadi pertolongan pertama pada kecelakaan untuk luka terbuka.

Ni Made Roni, perintis Made Tea adalah perempuan yang sebelumnya bekerja di hotel. Dia pernah membalut luka stafnya yang terbuka dan berdarah kena sekop.

Daun pegagang dia kunyah atau dihancurkan, ditambah kunyit untuk menutup luka. Bisa juga diminum perasan daunnya.

Di petak sebelahnya ada daun mint aneka jenis. Ada yang terasa lebih tajam bau dan rasanya, spear mint. Herbal khas dengan kandungan antioksidan dan vitamin ini memang langganan ramuan teh karena mampu menyeimbangkan rasa dan aroma.

Di petak lain ada melati dan jempiring dengan bau semerbak. Bukan tanpa alasan lokasi ini dekat kandang sapi. Untuk mengurangi bau kencing dan kotoran, limbah diolah sebagai pupuk.

Tanaman aromatik lain yang kuat adalah tulsi atau Indian Basil. Terasa berempah. Semua dedaunan bisa dicecap sebagai petualangan rasa.

Ada juga bunga gumitir, daun kenikir, rosella, dan daun alpukat yang bisa jadi herbal penurun tekanan darah tinggi. Begitu banyak tanaman bermanfaat dan bisa diolah. Di tangan Made Roni, ketika sudah diramu dan diujicoba, paket-paket teh ini bernilai tinggi.

Usai berkeliling, dia mengajak ke petualangan lain, yakni, meramu aneka bahan baku yang sudah kering untuk diseduh jadi teh. Misal, calming blue dan brain buster, dua resep Made Tea. Brain booster diracik dari pegagan, mint, dan marigold. Sedangkan healing dari bunga marigold, ratna, serai, dan mawar.

 

Baca juga: Belajar Premakultur buat Kehidupan Sehari-hari [1]

Daun pegagan di kebun Made Tea. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Pengunjung juga dipersilakan meramu sendiri resepnya setelah mengenal manfaat dan aroma semua bahan. Misal, jika sedang batuk, bunga gumitir atau marigold kering cocok untuk mengencerkan dahak. Ditambah aroma lain seperti serai.

Usaha ini dirintis 2015 setelah belasan tahun bekerja di bisnis perhotelan. Sambil bekerja industri hospitality di Eropa, dia mempelajari teh dan distribusinya.

Saat pulang, dia melanjutkan riset untuk mengembangkan berbagai resep. Salah satu racikan healing tea mendapat penghargaan dari lembaga pertanian Prancis.

Usaha Made Tea ini dinilai memenuhi konsep usaha berdampak pada lingkungan dan komunitasnya. Bahan baku juga dipasok komunitas, yakni banjar (komunitas masyarakat tradisional) oleh sejuamlah warga yang mengaktifkan pekarangan rumah atau titik bekas pembuangan sampah.

Usaha ini masuk dalam bagian premakultur. Membangun usaha atau zona produksi adalah zona tiga dalam pelatihan permaculture design course (PDC) yang difasilitasi kolektif BASE Bali pada awal Juli 2023, selama sepekan dalam Festival Wariga.

Seturut dengan zona satu dan dua dalam pembelajaran premakultur, di zona tiga ini merancang dan menjalankan usaha yang berusaha tidak ikut merusak bumi dan masyarakat sekitarnya.

Apa pun jenis usahanya, tak hanya pertanian atau pangan. Komang Sayu, fasilitator kegiatan mengingatkan, perlu merefleksikan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari apakah berdampak buruk pada lingkungan.

“Selain dampak ekonomi, ada dampak sosial dan ekologi yang perlu diukur,” katanya.

 

Meracik teh herbal di Made Tea. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

***

Perjalanan pembelajaran lain di tahap lanjutan di zonaempat, dengan aktivitas berkaitan dengan wilayah desa, termasuk desa adat.Kelas premakultur  kali ini mengajak melihat bagaimana rintisan usaha harus berkontribusi pada desa.

Salah satu yang bisa diwujudkan adalah berperan dalam pelestarian ruang publik atau ruang terbuka hijau. Panitia PDC-Festival Wariga berkomunikasi dengan desa untuk mengetahui kebutuhan saat ini.

Desa Adat Taman Kaja di Ubud,  merasa makin kesulitan mendapatkan berbagai sarana ritual dari berbagai tanaman yang makin sulit ditemukan.

Karena itulah konsep hutan tanaman ritual atau Taru Pramana perlu dilestarikan. I Made Widana, Bendesa (pimpinan) Adat mengatakan,  bantuan yang sangat dibutuhkan adalah bibit sejumlah tanaman untuk upacara agama.

“Tiap upacara perlu tanaman untuk sesajen. Inilah bentuk keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, antar manusia, dan alam,” katanya.

Sejumlah bibit disumbangkan dan ditanam di area sumber air desa serta rumah warga yang masih memiliki lahan untuk tanaman besar. Misal,  pohon bila, cemara Bali, sokasati, nagasari, kelapa bulan, ancak, dan pala Bali. Inilah sebagian tanaman yang mereka perlukan daun atau buahnya untuk berbagai sarana upacara dan makin sulit dicari.

“Panglingsir (tetua) desa yang paling tahu kebutuhan sesajen selalu keliling mencari sebelum upacara untuk memenuhi kebutuhan banyaknya ritual,” kata Widana.  Dia sendiri tak mengenal bentuk sebagian pohon karena sudah langka.

Sumber air atau beji di dekat sungai dan didampingi sebuah tugu persembahyangan terasa sangat sejuk karena ada berbagai pohon besar dan rumpun bambu. Beberapa bibit pohon ditanam di area yang masih terbuka. Sisanya di beberapa titik desa lain.

Sempadan sungai mulai dibangun, karena kawasan wisata sangat mudah alih fungsi. Pelestarian kebun tanaman untuk ritual makin menguat.

 

Menanam di sumber air Desa Adat Taman Kaja. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Memastikan area penyangga terjaga

Dalam pembelajaran premakultur juga ada  zona perlindungan, level lanjutan atau zona lima. Bagian  ini tak hanya di darat seperti hutan, juga pesisir. Salah satu benteng pelindung di pesisir adalah mangrove.

Kabupaten Jembrana di Bali Barat adalah kawasan pesisir yang terus terancam abrasi. Hutan mangrove menjadi satu solusi mengurangi hantaman gelombang.

Kelompok Tani Hutan (KTH) Wana Amertha hutan mangrove Desa Budeng, Jembrana, berusaha mengembalikan pesisir yang rusak karena tambak.

“Dulu mangrove semua, tapi berubah jadi tambak. Tambak bangkrut, kawasan rusak,” ujar Putu Madiasa, salah seorang pengelola. Dari sekitar 350 hektar hutan mangrove, sekitar 80 hektar jadi tambak.

Ketika berkunjung pada 8 Juli 2023, area ini sudah jadi tempat wisata mangrove Budeng. Pada halaman depan ada warung dengan berbagai olahan menu laut seperti ikan, cumi, kepiting, dan udang. Selain itu,  ada olahan KTH Wana Amertha seperti keripik buah mangrove dan teh daun jeruju, salah satu jenis tanaman semak yang biasa hidup di daerah payau, pesisir, atau rawa.

Warga sekitar mengingat daun ju, sebutan jeruju ini kerap dipakai untuk obat bisul dengan olahan biji serta pemulihan usai tindakan bedah. Sejumlah penelitian menyebut,  ia mengandung khasiat antioksidan dan antiradang. Daun ini berguna mulai dari akar, daun, sampai bunga. Tumbuh subur di area mangrove Budeng. Harga buah mahal.

Madiasa mengingat ketika mulai menanam kembali berbagai jenis mangrove di bekas tambak ini dimulai dari beberapa orang sejak 2007.

Usaha tambak terus menurun karena cemaran meningkat dan munculnya penyakit yang menurunkan hasil. Kepiting juga jauh berkurang di muara dan saluran sungai karena makin sedikitnya mangrove.

Akhirnya pemerintah menjadikan tanah di kawasan ini sebagai tukar guling pembangunan pelabuhan di dekat Teluk Benoa selama 35 tahun. Pada 2018 pemerintah memberikan SK Perhutanan Sosial untuk pengelolaan seluas 25 hektar.

 

Seni instalasi konservasi di Hutan Belajar Yehembang oleh Ketut Susena. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Ritual di hutan lindung

Tengah hari, perjalanan berlanjut. Dari pesisir kemudian naik ke area lebih tinggi menuju hutan lindung. Saat itu, bertepatan dengan ritual penghormatan bagi tanaman umat Hindu di Bali, Tumpek Wariga.  Suara genta dari pemimpin upacara bergema dari dalam sebuah hutan belajar Yehembang Kauh.

Sesajen dari bunga, buah, dan lain-lain terlihat di depan pendeta. Sejumlah warga siap berdoa di antara pepohonan besar. Usai persembahyangan, beberapa perempuan dengan sigap memimpin prosesi menuju sejumlah pohon untuk merapalkan doa dan menyampaikan terima kasih disebut ngatagin.

Tumpek Wariga dihelat 21 hari sebelum Hari Raya Galungan. Untuk konteks pangan, warga berdoa dan menyampaikan harapan pada tanaman yang menghasilkan bunga, buah, dan dedaunan yang dipakai untuk ritual agar tumbuh subur dan hasil panennya untuk sesajen.

Hutan di Jembrana sangat penting bagi Bali, tak hanya sebagai daerah penyangga, juga ekosistem ekologi penting di pulau kecil tujuan wisata ini.

Beberapa tahun terakhir, terjadi banjir bandang di Jembrana. Bahkan pada 2022, banjir bandang membawa ratusan kubik batang pohon dan menimbun sejumlah rumah warga di pesisir. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai penyebabnya.

I Komang Darmawan, Kepala Desa Yehembang Kauh melaporkan melalui video saat bencana terjadi pada Oktober 2022 bahwa desanya terisolasi karena sejumlah infrastruktur hancur. Air bah meluap di sungai hingga terlihat menyatu dengan sempadan serta menutup jalan raya.

Dia bilang akses jalan Yehembang Kauh-Kedisan tertutup karena jembatan 50 meter putus. Jalan raya hotmix baru tertimbun lumpur dan ranting serta balok kayu. Akses listrik juga putus, infrastruktur rusak berat padahal baru dibangun, termasuk senderan sungai baru selesai sudah jebol sekitar 60 meter.

Di hutan belajar Yehembang Kauh juga ritual Tumpek Wariga tak hanya sekadar persembahyangan, juga sejumlah diskusi, program edukasi untuk anak-anak, dan refleksi kesadaran ekologis. Salah satunya dengan Festival Tumpek Wariga oleh BASE Bali, yang menghelat PDC.

Medium penyadaran juga dilakukan melalui seni instalasi. Ketut Susena, seniman lokal menghadirkan seni merespon masalah ekologi yang mengancam hutan ini bertajuk pohon saudara tua. Ia sebuah pohon ficus/bunut besar dililit kain putih kuning.  Kuning bermakna kesuburan sedangkan putih kesucian.

Puluhan warga juga diberikan kain putih kuning untuk diikatkan di pohon apa saja di hutan. Perasaan khusyuk segera menyergap ketika warga mengikatkan kain putih kuning di sejumlah bagian pohon bunut yang kerap disakralkan juga. Sebuah prosesi merayakan konservasi dengan pendekatan baru di desa ini.

Susena, seniman gaek Yehambang ini sudah berpameran malang melintang di sejumlah galeri seni, karyanya dominan tentang respon pada alam semesta.

Tindakan konservasi lain pada Tumpek Wariga di Yehembang adalah membuat seeds bomb atau bom benih. Ini cara menghijaukan kawasan yang sulit terakses seperti tebing, lembah, dan bebukitan.

Komang Sayu memandu pembuatan bom benih ini dengan menggunakan tiga jenis benih yakni benih pohon besar, benih tanaman lantai hutan, dan tanaman menengah.

Kali ini benih yang disebarkan adalah kwanitan, pohon endemik di hutan ini dan asam kranji untuk pohon besar, sirsak untuk tanaman menengah, dan legum untuk tutupan lantai hutan.

Semua benih dimasukkan ke tanah berhumus, dibulatkan sebesar kepalan tangan. Untuk mendistribusikan di hutan terutama lereng yang masih terbuka, bom benih ini harus dilempar sejauh mungkin. Bulatan akan pecah, benih pun menyebar. Saat musim hujan pada Juli yang harusnya kemarau di Bali, benih-benih ini diharapkan bisa mengakar dan kembali merapatkan hutan. (Selesai)

 

Pengelola Wisata Mangrove Budeng di Jembrana. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

*******

 

 

 

 

 

Exit mobile version