Mongabay.co.id

Ketika Sungai Sagea yang Jernih jadi Keruh

 

 

 

 

Air Sungai Sagea di Desa Sagea dan Kiya  Kecamatan Weda Utara,  Kabupaten Halmahera Tengah,  Maluku Utara, berubah warna tercemar material tanah diduga dari kerukan tambang, medio Agustus lalu. Air sungai nan jernih yang tempat wisata di Goa Bokimoruru  sirna, berganti oranye kecoklatan dan berlumpur.

Dalam sepekan terakhir air keruh  belum juga berkurang. Air pun tak bisa lagi dipakai. Dugaan warga di daerah hulu sungai ada pembukaan lahan hingga menyebabkan air keruh saat  banjir meski   hujan dengan intensitas rendah.

“Sampai  Sabtu (19 Agustus) air  masih keruh meski sudah ada  sedikit  perubahan tidak  seperti awal kejadian,” kata Taher Muhdin, warga Sagea yang sehari hari membuka warung di kawasan wisata Bokimoruru.

Bokimoruru adalah destinasi karst di Sagea, Halmahera Tengah yang juga dilintasi Sungai Sagea.

Warga tak pernah melihat Sungai Sagea seperti ini sebelumnya. Walau saat hujan deras, air  keruh tetapi tidak seperti sekarang, berlumpur.

Adlun Fikri,  Juru Bicara Koalisi Save Sagea mengatakan,  cemaran air ini  tambah parah saat  hujan di hulu 14 Agustus lalu.  Sebenarnya,  kata Adlun, sejak akhir Juli  air mulai keruh tetapi dua tiga hari sempat hilang.

Kejadian seperti itu sudah tiga atau empat kali. Puncaknya, Senin  lalu itu, air sudah seperti tanah hasil kerukan tambang.

“Dugaan kita karena ada bukaan lahan di hulu. Berdasarkan pengalaman dan membandingkan air yang keluar dari hulu saat banjir,  sangat berbeda,” katanya.

Perubahan warna air sungai ini karena ada lahan  yang dibongkar di bagian hulu.

 

 

Adlun bilang  2 Agustus lalu air sungai ini sempat keruh kemudian berkurang,  hingga  keruh parah lagi pada 14 Agusutus lalu.

“Saat  itu ada  hujan sedikit  di hulu. Tak lama kemudian  air yang mengalir keluar sudah begitu parah,” katanya.

Dia bilang, di kawasan itu beroperasi beberapa perusahaan tambang. Adlun  curiga operasi tambang ini biang keroknya.

Save Sagea, katanya, belum bisa memastikan perusahaan mana   yang kerukan tambangnya  masuk ke  badan air sungai. Untuk memastikan butuh pengecekan lapangan ke hutan  beberapa kilometer.

 

 

Desak tegakkan hukum

Warga dan Komunitas Save Sagea mendesak Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan Maluku Utara, Balai Wilayah Sungai  (BWS) serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS)  memantau.

“Kita yakin sumber cemarannya bukan banjir biasa.”

Air Sungai Sagea, merupakan sumber air untuk berbagai keperluan sehari-hari warga.  Mereka pun khawatir kalau sungai ini terus alami pencemaran akan rusak dan tak bisa digunakan lagi. Belum lagi, katanya, sungai ini bagian dari bentang karst wisata Bokimoruru.

Air sungai ini, katanya,  juga rencana jadi air kemasan dan isi  ulang BUMDeS Desa Sagea. “Jika air ini sudah tercemar tanah kerukan tambang,  jadi masalah. Tidak hanya  memengaruhi wisata  Goa Bokimoruru,  usaha desa serta sumber air utama warga terancam.”

Takdir Tjan, Camat Weda Utara dihubungi dari Ternate 15 Agustus lalu membenarkan pencemaran sungai itu. Masyarakat Sagea, katanya, prihatin karena air sungai ini sumber kehidupan mereka.

Dia bilang, cemaran ini diduga dari  aktivitas penambangan dan perlu penelusuran lebih lanjut.

 

Kondisi sungai Sagea yang diambil foto Sabtu 19 Agustus 20203 terlihat masih berwarna kunin. Foto: Taher Muhdin

 

Selain itu, beredar informasi di Sagea ada aktivitas  pengangkutan  ore nikel salah satu perusahaan yang beroperasi di daerah ini  melewati Sungai  Manona, yang berinduk ke Sagea.

“Masyarakat  sangat prihatin karena air Sungai Sagea ini tidak sekadar sumber makan dan minum, tetapi sudah menjadi bagian hidup turun temurun.”
Abubakar  Yasin,  Kepala Bidang Penataan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah, mengaku, sudah turun lapangan dan menemukan perubahan warna air di Sungai Sagea. Dia bilang, kondisi sangat memprihatinkan.  Namun, katanya, untuk memastikan sudah melewati bakumutu  atau  belum,  perlu kajian lebih lanjut.

Dari lumpur yang terbawa terindikasi  merupakan hasil penambangan. “Sangat beda dengan banjir biasa.”

Dia akui,  saat mereka turun lapangan sehari setelah kejadian,  belum bisa  ambil sampel  karena kondisi air perlahan berubah. Saat ini, mereka berusaha memastikan  sumber cemara. “Kami fokus mencari sumbernya.”

Lantas ada berapa perusahaan yang beraktivitas di  kawasan ini?  Soal ini DLH Halteng belum bisa memastikan. Dia berjanji  lakukan pengecekan termasuk melacak peta dan melihat berapa perusahaan yang beroperasi di kawasan itu. Kalau benar ini ada pelanggaran,  DLH akan berkoordinasi dengan Gakum KLHK.

Balai Gakkum LHK Wilayah Maluku Malut dan Papua di Ambon, dihubungi dari Ternate menyatakan, belum menerima laporan dugaan  air sungai yang diduga terkontaminasi aktivitas tambang itu.

Alamsyah SP,  Kepala Seksi Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) menyatakan,  sejauh ini belum ada laporan mereka terima termasuk dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Tengah atau provinsi.

“Kami akan mencari informasi lebih lanjut terkait persoalan ini,” katanya.

 

 

Kondisi dan warna air di sungai Sagea sebelum tercemar. Foto: Save Sagea

 

Wisata terdampak

Hingga 19 Agustus lalu, air Sungai Sagea masih keruh. Taher mengatakan, perubahan warna air sungai yang melewati  Goa Bokimoruru  terjadi sejak 12  Agustus lalu.

“Sangat terdampak karena sumber mata air mengalir sampai ke kampung,” katanya.

Dia bilang ,  air sungai di goa itu keruh ketika hujan deras tetapi kembali jernih dalam sehari.  Yang  terjadi sekarang,  perubahan  warna air berlangsung berhari-hari.

Tak pelak, air keruh, obyek wisata Goa Bokimoruru pun sepi pengunjung. Sejumlah wisatawan datang namun memilih pulang lantaran melihat air sungai keruh.

“Daya tarik gua ini karena air yang jernih kehijauan. Tujuan pengunjung datang  lihat airnya. Yang dipakai pengunjung juga wahana air. Beberapa hari kemarin ada pengunjung datang lihat-lihat sebentar langsung pulang.”

Kondisi ini berdampak pada pedagang di objek wisata itu. Pemasukan mereka juga turun.  “Pendapatan di kedai  kami  biasanya Rp2 juta lebih per hari, kalau sungai normal. Sekarang ini tarada (tidak ada) pemasukan karena tarada pengunjung,” kata Taher.

Sabtu 19  Agustus lalu, meski  air sungai masih keruh, warga terpaksa tetap gelar lomba balap paddle boat. Lomba ini sebagai bagian dari memperingati  Hari Kemerdekaan RI.

Ashari Salim, Ketua Panitia Kegiatan mengatakan, meski air sungai keruh tidak bisa ditunda. Agenda yang dimeriahkan warga  dan pengunjung  dari luar desa ini sedianya digelar usai upacara 17 Agustus lalu, hanya karena  banjir lumpur ditunda sampai 19 Agustus.

“Mau bagaimana lagi. Air keruh  tetapi karena sudah diagendakan  ya tetap dilaksanakan,” kata Ashari.

 

Kondisi Sungai Sagea setelah tercemar. Foto: Save Sagea

Keterancaman ekosistem karst

Koalisi Selamatkan Kampung Sagea (SEKA) terus kampanye baik di media sosial maupun  protes di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Mereka menyuarakan kekhawatiran karena Sungai Sageyen  atau dikenal dengan Sungai Sagea, tercemar.

SEKA berkolaborasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI), membuat sejuamlah peta citra satelit guna mengindetifikasikan sumber (inlet) sungai bawah tanah ke Goa Bokimoruru.

Adlun juga Koordinator SEKA mengatakan, perbukitan di Goa Bokimoruru,  merupakan ekosistem karst yang memiliki perkembangan proses karstifikasi yang baik. Di sana ada gua, sungai bawah tanah dan lubang-lubang masuknya air (sinkhole/phonor).

Menurut Aziz Fardhani Jaya,  Speleologi Karst Forest Watch Indonesia (FWI), Goa Bokimoruru, menurut hasil pemetaan tim France 1987-1988, kata Adlun, memiliki panjang lorong sekitar 8,6 kilometer. Di dalamnya ada sistem aliran sungai bawah tanah yang mengalir ke luar goa.

Sungai Sagea, merupakan perwujudan sungai bawah tanah Goa Bokimomuru yang muncul ke permukaan melalui mulut goa. Sungai Sagea, katanya,  memiliki aliran dan debit cukup stabil dalam jangka waktu yang lama, mengindikasikan bahwa sumber aliran Sungai Sagea sebagian besar berasal dari wilayah karst di daerah Bokimoruru.

Dari citra satelit terbaru pada Mei 2023, kata Adlun, mereka menemukan ada pembukaan lahan untuk pembuatan jalan dalam konsesi tambang PT Halmahera Sukses Mineral dan PT Weda Bay Nickel, yang mengarah ke DAS Ake Sagea.

Meski demikian, kata Adlun, perlu penelusuran lebih lanjut penyebab pencemaran Sungai Sagea.  ‘Perlu investigasi mendalam dengan menelusuri aliran sungai Ake Sagea (Legaelol) dan DAS-nya.”

 

Muara Sungai Sagea, kini….Foto: Adlun/Save Sagea

 

Sungai Sagea, kata Aziz,  merupakan perwujudan sungai bawah tanah Goa Bokimoruru yang muncul ke permukaan melalui mulut gua. Sungai Sagea memiliki aliran dan debit cukup stabil dalam jangka waktu lama.

“Mengindikasikan sumber aliran Sungai Sagea sebagian besar dari karst Bokimoruru,” kata peneliti Forest Watch Indonesia yang mendalami isu tata kelola hutan dan lahan di pulau-pulau kecil ini.

Dia merunut peristiwa 15 Agustus 2023 saat Sungai bawah tanah di Sagea mengalami perubahan warna. Aliran Sungai Sagea mendadak keruh seperti tercampur sedimen tanah. Fenomena ini, katanya,  menunjukkan sumber air bawah tanah Goa Bokimoruru terindikasi ada dari daerah non-karst.

“Ciri sungai bawah tanah yang sumber dari daerah non-karst ialah kondisinya mudah berubah (debit, aliran, warna) karena dipengaruhi dengan yang dibawahnya. Dalam konteks jnj material sedimen terbawa dan larut ke sungai hingga menyebabkan warna air keruh.”

Kalau mengidentifikasi sumber (inlet) sungai bawah tanah, kata peneliti FWI ini, pada citra akan terlihat dua aliran sungai yang masuk dan hilang ke daerah karst di sekitar Bokimoruru,  yaitu Sungai Legaelol dan Sepo.

Kedua sungai merupakan sungai permukaan di daerah non-karst (kalau mengacu peta sebaran batugamping KESDM). Keduanya terletak di bagian barat laut dan utara dari mulut Goa Bokimoruru dan aliran mengarah ke tenggara-Selatan.

Kedua sungai, katanya, patut diduga sebagai sumber (inlet non karst) sungai bawah tanah Goa Bokimoruru.

Save Sagea pun mendesakkan tuntutan dan rekomendasi. Pertama, menuntut penyidikan dan penegakan hukum lingkungan terhadap pihak yang terbukti melakukan pencemaran.

Kedua, menuntut perusahaan yang beroperasi di hulu DAS Sagea untuk menghentikan aktivitas sebelum ada hasil investigasi dari pihak berwenang.

Ketiga, pemerintah harus evaluasi perizinan dan aktivitas pertambangan di hulu DAS Sagea dan karst di Desa Sagea dan Kiya. Keempat, mendorong kebijakan perlindungan karst dan DAS Sagea.  Mengingat, katanya, keduanya punya fungsi ekologis penting.

Selain kampanye melalui media sosial, dukungan untuk protes pertambangan juga dilakukan Save Sagea November 2022 lewat petisi.  Petisi yang berjudul: Segera tetapkan perlindungan Kawasan bentang alam karst Sagea!

Petisi ini langsung ditujukan kepada Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi, dan Abdul Gani Kasuba, dan Gubernur Maluku Utara.

Petisi ini dibuat langsung oleh Aziz Fardhani Jaya,  Speleologi Karst Forest Watch Indonesia (FWI). Dia nilai, penting menjaga dan menyelamatkan karst Goa Bokimoruru.  Hingga kini lebih 5.000 orang tandatangani petisi..

Munadi Kilkoda, anggota DPRD Halmahera Tengah, mengatakan, dari pemantauan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah terindikasi material yang menyebabkan sedimentasi itu mirip dengan yang biasa ditambang.

Hanya, kata Munadi, DPRD maupun DLH belum bisa memastikan sumber masalah pasti, karena belum mengecek sampai ke bagian hulu Goa Bokimaruru.

 

 

Pemuda Sagea melakukan Kampanye penyelamatan sungai dan Goa Bokimoruru dari ancaman pertambangan nikel, sejak lama dan terbukti, sekarang tercemar…Foto: Save Sagea

 

Agus Kastanya, Guru besar Kehutanan Universitas Pattimura, khawatir dengan pembangunan di Maluku Utara. Selain proses sangat berbahaya bagi lingkungan, juga akan mengikis seluruh tutupan lahan hingga terjadi erosi hingga membawa tanah ke sungai dan laut.

Karakteristik DAS di Maluku dan Maluku Utara, katanya,  sangat sempit dan pendek hingga bisa menyebabkan erosi langsung ke sungai dan pesisir serta laut.

“Kalau lihat kondisi warna air di foto-foto sangat luar biasa dan ancaman besar bagi penduduk, masyarakat dan lingkungan. Kalau tidak segera ditanggulangi, malapetaka bagi penduduk setempat dan lingkungannya.”

DLH Maluku Utara, kata mantan Dewan Kehutanan Maluku ini, harus ambil langkah progresif, dibantu akademisi di sana.

Dia berharap,  semua pihak ambil langkah menyelamatkan lingkungan dan masyarakat di Desa Sagea, Halmahera. Dia bilang, harus ada kekuatan masyarakat sipil mendorong pembangunan berkelanjutan di Malut.

“Tawaran untuk buka diskusi kasus sangat penting dan harus dilakukan untuk menolong penduduk setempat dan masyarakat serta lingkungan di Malut,” katanya.

 

 

********

 

 

Exit mobile version