Mongabay.co.id

Nasib Orangutan di Indonesia, Rawan jadi Gelandangan kala Habitat Terus Hilang

 

 

 

 

Hidup orangutan di Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja. Habitat terus tergerus, orangutan dibunuh karena dianggap hama hingga diburu untuk diperdagangkan ilegal.  Orangutan pun jadi gelandangan di habitatnya yang sudah berubah, berusaha bertahan hidup dan kerap berhadapan dengan manusia.

Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil, seperti Center of Orangutan Protection (COP), Walhi  Sumatera Utara dan BOSF menyebutkan, kehancuran habitat orangutan Indonesia karena alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit, industri ekstraktif maupun peruntukan lain. Dampaknya,  konflik pun berujung kematian pada satwa ini.

Benvika, Direktur Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mengatakan, 10 sampai 15 bayi orangutan keluar dari kawasan hutan dan diperdagangkan secara ilegal setiap tahun.

Untuk mendapatkan satu bayi atau anakan orangutan di bawah usia tiga tahun, katanya,  berarti jaringan pemburu harus membunuh induk terlebih dahulu. Induk orangutan,  tidak akan melepaskan anaknya saat usia segitu. Jadi, katanya, bisa dihitung ada 10-15 indukan orangutan mati setiap tahun untuk mempertahankan diri dan melindungi anaknya.

Selama hampir 14 tahun terakhir, mereka berhasil membongkar sedikitnya 30-an kasus perdagangan bayi orangutan ilegal, dengan sedikitnya 30 indukan orangutan tewas.

“Ini baru dari satu lembaga saja seperti JAAN, di lembaga-lembaga lain yang juga fokus pada penyelamatan orangutan bisa jadi lebih banyak. Tak bisa dibayangkan orangutan tewas, begitu banyak. Kepunahan orangutan akan terjadi,” katanya. Dalam diskusi daring Yayasan Satya Bumi 19 Agustus lalu.

 

Usianya tak sampai lima tahun tapi anak orangutan sumatera ini sudah dipisahkan oleh induknya yang diduga dibunuh untuk mendapatkannya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sedang tempat-tempat rehabilitasi saat ini, katanya, hanya memperlambat kepunahan itu sendiri.

Kerusakan habitat jadi pertambangan dan perkebunan sawit serta perburuan yang terjadi, katanya,  merupakan masalah klasik.

Di media sosial, katanya,  masih banyak orang memperdagangkan online dengan harga bervariasi.

Selama ini, katanya,  kasus perdagangan orangutan yang berhasil mereka bongkar adalah jenis orangutan Sumatera dan orangutan Kalimantan. Untuk jenis baru, orangutan Tapanuli,  juga bukan tidak mungkin beredar di pasaran gelap karena para kolektor akan menginginkan spesies baru yang hanya ada di ekosistem Batang Toru, ini.

Indira Nurul Komariah,  Asisten Direktur Eksekutif COP mengatakan, habitat yang hancur dan pemeliharaan ilegal cukup menyedihkan. Hutan yang dulu rimbun sekarang sudah tidak ada lagi, berubah jadi tanah lapang dan jalan truk-truk sawit.

“Pakan sudah tak ada lagi, rumah mereka sudah hancur akhirnya orangutan ini jadi gelandangan di habitatnya sendiri karena sudah berubah menjadi perkebunan sawit.”

 

Induk oranutan sumatera menyantap makanan di kawasan TNGL, Bahorok. Induk takkan melepas anaknya dari gendongn jika ada yang mengambil walau nyawa taruhannya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Satwa ini pun akhirnya makan buah sawit atau biasa disebut dengan umbut sawit. Mereka dianggap hama, kemudian perusahaan memburunya.

Eko Prasetyo,  Program Development and Planning Borneo Orangutan Survival Foundation  (BOSF) mengatakan, banyak orangutan masuk pusat rehabilitasi tidak bisa cepat untuk lepas liar ke habitat.

Di tempat mereka,  ada 500 orangutan rehabilitasi, setengah tidak bisa kembali ke alam lagi dan semua korban konflik. Meski demikian, katanya,  selama 10 tahun terakhir ada 500-an orangutan sudah berhasil lepas liar ke habitat setelah menjalani proses-proses pelatihan.

Angka itu, katanya, tidak termasuk hitungan satwa yang berkonflik namun tidak masuk ke pusat rehabilitasi dan langsung translokasi ke tempat yang lebih aman. Kalau hitung semua, katanya, bisa ribuan.

Dia bilang, ada hal menyenangkan setelah rehabilitasi orangutan kemudian lepas liar ke alam liar adalah muncul populasi-populasi baru di hutan yang baru.

Selama 10 tahun terakhir, orangutan korban konflik yang berhasil lepas liar dan melahirkan di alam liar, yang  terdata ada 32 bayi.

“Setelah dilepasliarkan, selanjutnya pemantauan dan pengamatan tingkah laku di alam, mencatat dan mengamati serta menjaga dari gangguan yang bisa mengancam.”

Bicara konservasi orangutan, katanya,  tidak lengkap tanpa melibatkan masyarakat lokal karena mereka yang langsung bersentuhan dengan spesies ini. Juga masyarajat lokal  mengakses langsung hutan hingga perlu melibatkan mereka, termasuk dalam dukungan penguatan ekonomi.

“Ini penting agar tekanan terhadap hutan bisa dikurangi. Kalau hanya bicara larangan jangan merusak hutan, jangan membunuh satwa liar tanpa memberikan solusi atau pilihan maka semua sia-sia,” kata Eko seraya bilang, perlu peningkatan kapasitas terutama yang tinggal di sekitar hutan.

 

Orangutan Sumatera di Kabupaten Karo dipelihara ketua organisasi kepemudaan di sana setelah disita dia mati. Foto: Ayat S KaroKaro/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan, untuk estimasi populasi tiga jenis orangutan di Indonesia ini berdasarkan penilaian 2016,  orangutan Tapanuli sekitar 760-an, orangutan Sumatera 13.700-an dan orangutan Kalimantan sebanyak 57.350. “Update data ini diperlukan karena semua lembaga akan merujuk ke situ.”

Eko menyebut, ancaman yang dihadapi orangutan Kalimantan tak jauh beda dari orangutan di Sumatera, seperti. habitat makin sempit karena kebakaran hutan, perubahan lanskap hutan, dan lain-lain.

Alih fungsi hutan jadi perkebunan, tambang, dan konsesi lain antara lain penyebabkan habitat orangutan menyusut signifikan selama beberapa dekade terakhir.

Selain itu, katanya, satwa ini juga menjadi komoditas perdagangan. Manusia, katanya,  menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup orangutan.

Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara bicara soal orangutan Batang Toru. Dia mengatakan, saat ini kurang dari 800 orangutan Tapanuli tersisa dan jumlah diprediksi makin menurun. Sedang pertumbuhan orangutan sangat lambat dengan jarak melahirkan 8-9 tahun. Biasa, orangutan punya anak pertama pada usia 15 tahun.

Ekosistem Batang Toru, katanya, merupakan habitat terakhir mereka terancam deforestasi, pembangunan infrastruktur, pembangkit listrik air, dan industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit dan lain-lain.

 

Sepasang orangutan Kalimantan di Medan Zoo ini hidup tanpa ada pohon dan makanan memadai. Foto: (yat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Andi Muttaqien,  Direktur Eksekutif Satya Bumi menyebut, kondisi ini harus direspons serius mengingat orangutan adalah spesies kunci. Dengan begitu, katanya, keberadaan mereka memiliki dampak signifikan terhadap ekosistem. Hutan hujan tropis, tempat orangutan hidup, adalah penyerap karbon terpenting di planet ini.

“Menyelamatkan orangutan berarti kita menyelamatkan hutan serta melindungi spesies lain yang hidup di habitat yang sama,” kata Andi.

Orangutan, katanya,  punya peran sangat penting terhadap kelestarian hutan. Sayangnya, peran berkebalikan dengan nasibnya. Ancaman kepunahan membayangi tiga spesies orangutan di Indonesia.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan tiga spesies orangutan itu dalam daftar spesies terancam kritis atau critically endangered, berarti satu tahap lagi menuju kepunahan di alam.

Arisa Mukharliza,  Director for The Wildlife Whisperer of Sumatra menyoroti soal penegakan hukuman lemah bagi pelaku kejahatan hingga aksi ilegal terus jalan.


 

 

Exit mobile version