Mongabay.co.id

Ketika Rawa dan Sungai di Sumatera Selatan Mulai Mengering

 

 

Masyarakat yang menetap di lahan basah, khususnya rawa gambut, di Sumatera Selatan, hidupnya bukan hanya mencari ikan, juga memelihara kerbau rawa, dan bersawah padi. Tapi sejak 15 tahun terakhir, setiap kali musim kemarau, mereka menghadapi bencana kekeringan. Apa saja dampaknya?

Selama Bulan Agustus 2023, Mongabay Indonesia mengunjungi sejumlah desa yang berada di wilayah rawa gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Ogan Ilir [OI], Kabupaten Banyuasin, serta di Kabupaten Muaraenim.

Kemarau yang disertai El-Nino sejak Mei 2023 lalu, menyebabkan puluhan ribu hektar rawa yang disebut masyarakat lokal “lebak” di empat kabupaten tersebut mengalami kekeringan.

Lebak adalah kawasan rawa yang tergenang air. Air hujan atau dari luapan sungai. Lebak biasanya berada di sekitar sungai. Sebagian lebak ini menjadi gambut, yang kemudian ditumbuhi pohon [hutan].

Kekeringan rawa gambut yang parah pada saat musim kemarau, diduga disebabkan terus berkurangnya lahan basah di Sumatera Selatan. Dari sekitar tiga juta hektar lahan basah, hampir setengahnya berubah fungsi menjadi perkebunan sawit, HTI [Hutan Tanaman Industri], dan infrastruktur.

“Lebak-lebak di sini sudah kering. Hanya sebagian kecil lebak terdapat kubangan kerbau yang berisi air. Air sungai juga sudah menyusut,” kata Husin, warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI.

Sejak akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2023, jelas Husin, masyarakat menggunakan pompa air untuk membasahi sawahnya. Mereka menyedot air dari sungai, yang disalurkan melalui selang yang panjangnya belasan hingga puluhan meter.

“Satu hektar sawah itu membutuhkan biaya sekitar Rp450 ribu untuk membeli minyak [BBM] mesin pompa air,” kata Husin.

“Jika hujan tidak turun hingga September atau Oktober, persawahan kami dipastikan akan mengering. Gagal panen. Bukan karena tidak mampu membeli minyak mesin pompa, tapi air di sungai sudah tidak ada lagi. Kering. Tidak ada air yang dapat disedot.”

Baca: Memanen Air Atmosfer untuk Hadapi Kekeringan, Seperti Apa?

 

Guna membasahi sawah yang mengering selama kemarau, masyarakat terpaksa menyedot air dari kanal atau sungai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Supriyadi, warga Desa Tapos, yang tergabung dengan kelompok tani yang membuka pesawahan di Desa Pulau Layang menyatakan, “Kelompok kami sudah menghabiskan biaya untuk beli minyak mesin pompa kisaran Rp12 juta untuk membasahi 50 hektar sawah.”

Desa Tapos dan Desa Pulau Layang adalah desa tetangga Desa Bangsal, yang juga tergabung dalam Kecamatan Pampangan.

“Kami berharap tidak gagal panen, meskipun harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyedot air dari sungai. Kami berharap cukup balik modal dari hasil panen. Jangan rugi nian,” kata Supriyadi.

“Mudah-mudahan akhir September atau awal Oktober kami sudah panen,” lanjutnya.

Sementara warga di Kecamatan Sirah Pulau Padang, selain menyedot air dari sungai atau kanal, juga menutup pintu air kanal yang menuju persawahannya.

“Kami terpaksa menutup pintu risan [kanal] ini, agar air di risan tidak mengalir ke sungai, sehingga sawah kami masih dapat dibasahi. Kalau hujan turun, pintu air ini dibuka agar air dari sungai masuk, kemudian ditutup lagi,” kata Arifin, warga Desa Serdang Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten OKI.

Baca: “Hilangnya” Tradisi Kuliner Ikan di Sumatera Selatan

 

Sawah di Desa Pulau Layang, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, mengering selama kemarau, masyarakat terpaksa menyedot air dari kanal atau sungai. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pakan kerbau

“Pakan kerbau di sini terus berkurang. Kalau hujan tidak turun sebulan lagi, rumput-rumput itu habis, tidak ada yang tumbuh. Kerbau-kerbau pasti kelaparan, dan kami terpaksa memberi makan kerbau dengan jerami padi, yang jumlahnya juga terbatas,” kata Maika, warga Desa Bangsal.

Pakan kerbau di Desa Bangsal berupa rumput kumpai [Hymenachine amplexicaulis] dan legum-legum [Legumninose] rawa. Misalnya kumpai minyak, kumpai tembaga, dan kumpai padi.

“Sudah satu bulan, hujan belum turun di desa ini. Padahal hujan satu jam sudah cukup menumbuhkan rumput-rumput di lebak kami,” jelas Maika.

Saat ini tercatat sekitar 400-an individu kerbau rawa di Desa Bangsal. Tercatat tiga kelompok peternak kerbau rawa; Gembala, Harapan Sejahtera, dan Karya Bersama.

Selain di Desa Bangsal, kerbau rawa juga dipelihara sejumlah warga di desa yang masuk Kawasan Hidrologis Gambut [KHG] Sungai Sibumbung-Sungai Batok, yakni Desa Kuro dan Desa Menggeris.

Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] tahun 2022, populasi kerbau rawa di Sumatera Selatan sekitar 27.665. Sementara di Kabupaten OKI sekitar 7.572.

“Tetapi, berdasarkan survei kami ke sejumlah kandang di Kecamatan Pampangan, estimasi saya jumlah riilnya hanya 20-30 persen dari yang dilaporkan,” kata Arfan Abrar, peneliti kerbau rawa dari Universitas Sriwijaya.

Baca: Tahun 2023, Sumatera Selatan Waspada Kebakaran Rawa Gambut

 

Jika kemarau tahun ini berlangsung hingga Oktober, kerbau rawa di Desa Bangsal, Kabupaten OKI, Sumsel, terancam kelaparan, sebab pakannya habis. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kerbau yang dipelihara bukan untuk dijual. “Kerbau ini hanya dimanfaatkan susunya sebagai gula puan. Kalaupun dijual, biasanya kerbau yang kondisi kesehatannya terganggu,” kata Maika.

Gula puan adalah makanan yang terbuat dari susu kerbau yang dicampur gula pasir dan daun pandan. Cara masaknya, campurkan susu, gula, dan daun pandan. Dituangkan ke dalam wajan [kuali] yang sudah dipanaskan. Kemudian aduk rata dan teratur, selama 3-4 jam. Seperti memasak dodol.

Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, hampir setiap wilayah permukiman di sekitar rawa gambut di Kabupaten OKI, OI dan Banyuasin, ditemukan kerbau rawa.

“Dulu daerah kami ini juga banyak kerbau rawa. Tapi jumlahnya terus berkurang. Sekarang tinggal puluhan kerbau. Di sini, kerbau itu hanya diambil susunya, dan dijadikan tenaga untuk pengangkut gerobak. Tapi sekarang, tidak ada lagi gerobak yang ditarik kerbau,” kata Sopian, warga Desa Burai, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir.

Dijelaskan Arfan, “Kerbau rawa sudah dipelihara masyarakat di Sumatera Selatan sejak masa Kesultanan Palembang. Selain digunakan tenaganya untuk mengangkut barang, juga susu puan merupakan makanan mahal, yang hanya dapat dikonsumsi para ningrat atau orang kaya. Sebelum ada gula pasir, pemanis yang digunakan adalah gula aren.”

Jadi, pada saat itu, hampir semua warga yang menetap di sekitar rawa gambut memelihara kerbau, yang selanjutnya menjadi kerbau rawa.

“Selain itu, kotoran kerbau juga memperbaiki kualitas air rawa gambut yang cenderung asam. Kotoran kerbau rawa itu bersifat basah. Di sisi lain, kotoran kerbau ini membuat rawa, kaya dengan makanan ikan. Rawa-rawa akhirnya menjadi habitat beragam jenis ikan,” jelasnya, pertengahan Agustus 2023 lalu.

Baca juga: Melihat Ekosida yang Terjadi di Sumatera Selatan

 

Kemarau yang disertai El-Nino membuat ribuan hektare rawa gambut atau lebak di Sumatera Selatan mengering. Seperti lebak di Desa Burai, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsell ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Krisis pangan

Saat musim kemarau, ketika air di rawa, kanal dan sungai, menyurut, adalah masa panen ikan bagi masyarakat. Sebab, beragam jenis ikan berkumpul di genangan air tersisa.

Masyarakat menangkap ikan, yang disebut melebung, menggunakan berbagai cara, mulai dari tangan [merogoh], jaring, jala, pancing, tangkul hingga pesap.

“Dulu, tidak semua ikan diambil. Ikan yang diambil ukurannya sedang hingga besar. Yang kecil ditinggalkan, sebab saat musim penghujan anak-anak ikan itu akan berkembang. Tapi sekarang semua ikan diambil, termasuk yang ukurannya kecil,” kata Sopian.

“Ironinya, berkurangnya populasi ikan ini membuat masyarakat kian bertambah “rakus” mencari ikan. Misalnya menggunakan setrum aki, dan ikan yang ditangkap dalam ukuran apa pun. Besar dan kecil diambil. Mungkin mereka melakukan itu karena alasan ekonomi atau untuk makan,” ujar Sopian.

Jika kemarau tahun ini berlangsung hingga akhir 2023, diperkirakan masyarakat yang menetap di sekitar rawa gambut akan mengalami krisis ikan. “Tidak ada air, maka tidak ada ikan,” kata Husin.

“Selain beras, ikan merupakan sumber pangan utama di desa kami. Artinya, setiap hari kami mengonsumsi nasi dan ikan. Ikan dikelola beragam jenis masakan. Jadi, yang kami khawatirkan dari dampak kemarau tahun ini bukan hanya kebakaran lahan, tapi krisis pangan,” lanjutnya.

Husin juga berharap, dampak yang dirasakan masyarakat yang menetap di sekitar rawa gambut pada saat musim kemarau, menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mempertahankan rawa gambut tersisa.

“Misalnya, melarang membuat kebun dan menimbun rawa gambut. Kalau rawa gambut terus dihabisi, dipastikan akan banyak orang kelaparan hingga meninggal dunia saat musim kemarau,” tandasnya.

 

Exit mobile version