Mongabay.co.id

Tak Perlu PLN, Warga Lereng Slamet Mandiri Energi dari Sumber Air [1]

 

 

 

 

 

Hujan gerimis membasahi Dusun Kalipondok, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, siang itu. Beberapa warga baru saja selesai kerja bakti, menghampiri warung makan Kusmini.  Mereka pesan nasi hangat, lengkap sayur dan lauk.

Jualan di warung Kusmini mungkin tak jauh beda dengan penyedia makanan di tempat yang lain. Bedanya, energi untuk memasak makanan ini dari sumber air. Sumber listrik di warung sekaligus rumah ibu tiga anak ini dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Telaga Pucung. Setiap bulan, dia bayar iuran listrik berkisar Rp50.000-Rp60.000 untuk daya terpasang 900 Watt.

“Daya 900 watt ini cukup untuk menyalakan televisi tabung 29 inchi, lemari es, penanak nasi dan mesin cuci,” katanya, 30 Juli lalu.

Saat ada gangguan sekecil apapun, petugas  dapat menangani dengan cepat, sekalipun tengah malam. Listrik PLTMH juga mengalir 24 jam tanpa ada kekhawatiran pemadaman listrik tiba-tiba. Kalau mau pemadaman juga ada pemberitahuan sebelumnya.

Lain kalau menyambung listrik PLN, pemadaman bisa kapan pun tanpa ada pemberitahuan. Kusmini berharap, PLTMH tetap ada dan PLN tak perlu ada sambungan listrik di Kalipondok.

Pembangkit energi air pun bisa mendorong peningkatan ekonomi warga. Sunarto, perintis PLTMH Telaga Pucung mengatakan, sekitar 80% usaha warga bergantung listrik, bahkan sebagian besar merambah pemasaran online.

Berkat listrik dari pembangkit mikro hidro, dia bisa menjalankan usaha fotokopi, menjual aneka makanan beku dan minuman dingin. Tagihan listrik di rumah dari pemakaian lemari es, freezer dan mesin fotokopi sebulan rata-rata Rp100.000.

“Kami sempat hidup tanpa listrik sama sekali, sekira 1980-an, hanya lampu minyak jadi penerangan malam hari,” kata Sunarto.

 

Instalasi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

Swadaya

Sekitar 1989, masyarakat di tengah kawasan hutan lindung ini memanfaatkan turbin bertenaga dinamo. Satu turbin untuk satu dua rumah dan hanya cukup mengaliri listrik tiga lampu.

Siang hari, aliran listrik dari turbin dimatikan dan dinyalakan kembali sore hari untuk menjaga turbin agar tidak mudah rusak.

Turbin dipasang di sepanjang aliran Sungai Mengaji. Setrum listrik dari turbin ke rumah warga mengalir melalui kabel kecil yang disangga tiang dari bambu. Jarak turbin dengan rumah warga sekitar 1,5-2 kilometer.

Warga membuat turbin secara swadaya, berkisar Rp3 juta-Rp4 juta. Meski turbin bisa bertahan sampai 10 tahun, kendala kincir dari kayu mudah rapuh. Setiap dua tahun sekali, warga harus mengganti kincir lantaran rusak,  biaya sekitar Rp300.000 -Rp400.000.

“Warga tidak lagi memakai turbin, setelah ada bantuan pembangkit listrik tenaga mikrohidro dari TNI pada 2012. Bantuan itu inisiatif salah satu anggota Kodim yang prihatin dengan kondisi warga Kalipondok,” katanya.

Selang satu tahun kemudian, Pemerintah Jawa Tengah melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyempurnakan PLTMH ini. Bantuan PLTMH kedua dari provinsi diresmikan pada 2016, dengan daya 15 Kilowatt (Kw).

“Dulu, bantuan PLTMH dari TNI belum ada kwh meter, jadi biaya pemakaian listrik dipukul rata. Daya listrik terpasang di tiap rumah juga maksimal hanya 450 watt,” kata Sunarto.

Sedangkan PLTMH bantuan provinsi sudah termasuk instalasi listrik dan kwh meter sama seperti sambungan listrik PLN. Daya listrik terpasang bervariasi, mulai 450 VA, 900 VA hingga 1.200 VA. Selain golongan rumah tangga, pelanggan PLTMH ada dari golongan usaha seperti hotel di sekitar obyek wisata air terjun Cipendok. Adapun besaran tarif ditentukan melalui musyawarah antara pengurus PLTMH dan masyarakat.

Zaenal, Ketua PLTMH Telaga Pucung menjelaskan, besaran tarif dibedakan sesuai golongan yakni rumah tangga Rp 500/kWh dan usaha Rp700/kWh. Jumlah pelanggan PLTMH ada 75 rumah, ditambah dua hotel, serta balai rukun tetangga dan masjid yang digratiskan.

Dalam sebulan pendapatan kotor dari iuran listrik warga terkumpul sekitar Rp1,5 juta. Dari pendapatan kotor ini, lima pengurus mendapat honor 10%. Berarti, masing-masing pengurus menerima honor Rp30.000 perbulan, yang biasa diambil akhir tahun.

“Bagi pengurus, mengelola PLTMH bukan untuk mencari uang banyak lebih pada pengabdian masyarakat,” ucap Zaenal.

 

Pipa penyalur arus air Telaga Pucung untuk menggerakkan turbin PLTMH di Dusun Kalipucung Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

Dia puas lantaran pendapatan PLTMH selain untuk membiayai operasional, pemeliharaan dan membayar honor petugas ternyata masih bisa untuk sosial masyarakat. Seperti membantu uang duka Rp500.000 -Rp1 juta, jika ada warga meninggal dunia. Ada juga donasi Rp500.000 ketika dusun menggelar peringatan malam tasyakuran HUT RI.

“Prinsipnya, PLTMH tidak sekadar menghasilkan listrik, ada muatan sosial di dalamnya. Masyarakat ikut memiliki dan menjaga PLTMH agar terus bertahan, hingga memberi penghidupan di dusun ini.”

Masyarakat pun bisa mandiri energi sampai kapan pun, hingga tidak perlu listrik negara dengan memaksimalkan potensi air sebagai energi terbarukan, dan  ramah lingkungan.

Agus Sulistyono,  Sekretaris Desa Karangtengah, mengatakan, debit mata air Telaga Pucung tidak pernah mengecil. Bahkan pada musim penghujan seperti saat ini, debitnya lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

“Bulan lalu sampai terjadi banjir, debit air yang masuk ke bak penampung dikurangi. Sebab jika terlalu berlebihan, sedimentasi yang terbawa air bertambah tinggi dan bisa menyumbat mesin (generator),” kata Agus.

 

Aliran air Telaga Pucung masuk ke bak penampung PLTMH sebelum melewati penyaring air. Foto: Hartatik

 

Resapan air

 Menurut Pusat Penelitian Geoteknologi, hutan lindung di Banyumas merupakan kawasan hutan hujan tropis paling terjaga dibanding kabupaten lain yang sama-sama berada di kaki Gunung Slamet. Salah satunya di Desa Karangtengah.

Hutan lindung itu berfungsi memelihara tutupan vegetasi, menjaga stabilitas tanah, dan sebagai daerah resapan air sekaligus pemasok air ke dalam sistem reservoir.

Karyoto, Kepala Desa Karangtengah, mengatakan, ada pertimbangan khusus PLTMH Telaga Pucung dikelola kelompok masyarakat. Selain persoalan honor, peran serta masyarakat dalam pengelolaan lebih menonjol dengan tujuan agar kelangsungan PLTMH terjaga hingga bisa terus beroperasi.

Selain itu,  partisipasi warga untuk menjaga pasokan sumber air PLTMH agar mengalir sepanjang tahun antara lain, menjaga kelestarian hutan sebagai hulu resapan mata air Telaga Pucung.

“Masyarakat sadar terhadap pentingnya peran hutan sebagai pelindung mata air. Secara berkala, mereka juga membersihkan aliran air telaga agar mesin PLTMH tidak mudah rusak.”

Air yang dimanfaatkan menggerakkan turbin PLTMH akan dialirkan kembali menuju ke sungai-sungai di bawahnya seperti Kali Peh, Prukut dan Kali Wadas. Hingga lebih banyak lagi, masyarakat yang bisa memanfaatkan air bersih itu.

Karyoto bilang, tidak ada kendala berarti selama pengoperasian PLTMH. Hanya saatsaja mereka sedang mencari dana untuk membeli alat penangkal petir yang berkualitas bagus. Beberapa kali PLTMH tersambar petir sampai rusak.

“Sejauh ini jika ada kerusakan (PLTMH) masih bisa tertangani, termasuk suku cadang fan belt buatan Jerman yang rusak kita siasati dengan produk lokal. Kami masih mencari dana untuk membeli alat penangkal petir yang dipasang di bawah tanah, harga bisa sampai Rp50 juta,”  kata Karyoto.

Dusun Kalipondok, salah satu daerah yang mampu mempertahankan PLTMH dengan baik hingga kini, lebih dari 10 tahun.  Kalipondok pernah meraih penghargaan sebagai Desa Mandiri Energi tingkat Jateng pada 2020. Atas keberhasilan itu, PLN berniat menyambungkan aliran listrik ke Kalipondok. (Bersambung)

 

Sumber air Telaga Pucung menjadi penggerak generator pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

Tak mau ada PLN

PT PLN mau masuk, warga menolak. Mereka tak ingin pembangkit bersumber air ini  berganti. “PLN sudah tiga kali membujuk kami, terakhir datang pada 2021. Kami tetap menolak PLN masuk ke Kalipondok,” katanya.

Penolakan bukan tanpa alasan agar PLTMH Telaga Pucung tak mangkrak. Dia menilai,  PLTMH ini aset negara hingga harus terus terjaga.

Kalau membolehkan PLN masuk Kalipondok, katanya,  sama saja  membiarkan PLTMH terbengkalai. Padahal, daya listrik yang dihasilkan PLTMH masih berlebih, meskipun semua rumah warga di Kalipondok sudah terjangkau listrik dari energi terbarukan itu.

 

 

******

 

*Tulisan ini terselenggara atas kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org. Tulisan awal Hartatik ada di Suara Merdeka.

 

Exit mobile version