Mongabay.co.id

Konflik Lahan Sawit di Sumatera Barat, Begini Masukan Upaya Penyelesaian

 

 

 

 

Konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit terus terjadi dan berlarut-larut di berbagai daerah termasuk di Sumatera Barat. Walhi Sumatera Barat dan beberapa lembaga melakukan kajian dengan mengambil 25 sampel konflik di kebun sawit dengan beragam dinamika kasus.

Dalam 25 kasus itu,  terlihat banyak tipe konflik antara masyarakat dan perusahaan di kebun sawit ini, seperti penyerobotan lahan, permasalahan skema plasma, perkebunan melanggar peraturan, kompensasi tidak memadai, kondisi ketenagakerjaan dan lain-lain. Kasus kebanyakan terjadi di Pasaman Barat dan Kabupaten Agam.

Beberapa kasus berlarut-larut seperti yang dialami Nagari Simpang Tigo Koto Baru,  Kabupaten Pasaman Barat dengan PT Primatama Mulia Jaya. Kasus dari 1996 masih berlangsung hingga kini.

Riset ini Walhi Sumbar lakukan bersama Universitas Andalas, KITLV Leiden, Universitas Wageningen, Lembaga Gemawan, Perkumpulan Scale Up, Walhi Kalimantan Tengah, Epistema Institute dan HuMa.

Zulkifli,  Legal Consultant Yayasan Ulayat Nagari Indonesia mengatakan,  hak guna usaha dan hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah itu ada syarat materiil perolehannya. Hal itu, katanya, tidak ada yang dipenuhi perusahaan-perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat di Sumatera Barat.

Dia menyebut,  dalam PP 24/1996 perolehan hak atas tanah itu dapat dengan jual beli atau akta jual beli, pelepasan hak tanah oleh negara untuk kepentingan umum, hibah dan tukar guling.

“Kalau kita tinjau perolehan hak atas tanah oleh perkebunan sawit di Sumatera Barat itu tidak merujuk pada ketentuan-ketentuan tadi,” katanya.

Perolehan hak atas tanah oleh perkebunan sawit, katanya, biasa hanya berdasarkan surat penyerahan tanah ulayat oleh ninik mamak pemangku adat. “Ini tidak dikenal dalam UU Agraria sebelum UU Cipta Kerja ada, itu tidak memenuhi syarat materiil atas tanah dan tidak ada dikenal oleh UU.”

Dia menegaskan, HGU perusahaan sawit di Sumbar melanggar syarat materiil perolehan hak atas tanah. “Secara hukum HGU-nya wajib gugur hingga alasan pemulihan hak ulayat dapat dilakukan.”

 

Pembukaan lahan untuk kebun sawit oleh perusahaan kerap  berkonflik dengan masyarakat  adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Susun perda

Konflik muncul dan berlarut karena hak-hak masyarakat adat masih minim pengakuan dan perlindungan. Di Sumbar, pembuatan rancangan peraturan daerah (ranperda) tanah ulayat masih menunggu finalisasi dari Kementerian Dalam Negeri.

Desrio Putra, Tim Pembahas Raperda dari Komisi I DPRD Sumatera Barat, mengatakan, ranperda ini memprioritaskan ulayat nagari, bukan ulayat kaum atau suku.

Menurut dia. untuk kaum dan suku punya banyak perbedaan sesuai adat masing-masing. Kalau ulayat nagari, katanya,  bisa digunakan pelbagai suku di nagari itu.

Dia mengatakan,  dalam ranperda ini memperjelas perjanjian inti plasma dengan memenuhi hak masyarakat adat. Kuncinya,  untuk melindungi hak masyarakat dalam ulayat nagari hingga berdampak positif terhadap ekonomi dan kesejahteraan.

Desrio  mengatakan,  ulayat nagari di Sumatera Barat tersisa 8,4%. Kondisi itulah, katanya, yang menjadi dasar Komisi I DPRD Sumbar menginisiasi ranperda ini.

Ada beberapa bentuk penguasaan tanah ulayat tetapi secara umum terbagi tiga seperti di Nagari Malalo Tigo Jurai,  Tanah Datar ini.

Masnaidi,  perwakilan Masyarakat Adat Nagari Malalo Tigo Jurai Tanah Datar mengatakan,  kepemilikan tanah ulayat mereka terbagi tiga sesuai status.

Dalam hal penguasaan ulayat nagari, katanya, ada tiga tingkat kekerabatan dan memengaruhi batas ulayat. Pertama,  kekerabatan kaum dengan status adat ulayat kaum dan struktur adat tungganai.

Pola penguasaan, katanya,  dikuasai suatu kaum tertentu. Kaum tertentu ini adalah bagian suku tertentu di nagari dan pengaturan pengelolaan atas pesetujuan tungganai sebagai pemimpin kaum.

Kedua,  kekerabatan suku dengan status ulayat suku. Struktur adatnya penghulu suku.

Ketiga, kekerabatan nagari dengan status ulayat nagari, struktur adat penghulu suku di nagari atau penghulu pucuk.

 

Sawit. Ekspansi sawit terus terjadi, hingga menciptakan beragam masalah dari deforestasi, konflik lahan sampai kebakaran. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Upaya penyelesaian?

Kurniawarman,  pakar hukum agraria Universitas Andalas mengatakan,  kondisi tanah ulayat di Sumatera Barat, ada dua. Tanah dengan status masih penuh di tangan masyarakat adat dan ada yang beralih ke tangan investor atau perusahaan secara hukum.

“Tanah ulayat yang masih utuh adalah yang belum diserahkan atau diusahakan atau dimanfaatkan oleh pihak luar, utamanya perusahaan,” kata pria berkacamata ini.

Umumnya,  tanah yang utuh ini belum dimanfaatkan. “Daerah-daerah seperti ini umumnya daerah-daerah marjinal dan tak jadi sasaran investasi atau aktivitas ekonomi kurang tetapi secara fisik juga mungkin kurang subur atau masuk dalam kawasan hutan,” katanya.

Meskipun kondisi seperti itu, kata Kurniawarman, tidak bisa dianggap aman-aman saja.

“Jadi,  kita tidak bisa menganggap aman-aman saja. Yang utuh ni di Sumatera Barat dari hasil inventarisasi indikatif tahun 2021, dikecualikan luasan Mentawai karena isu ulayatnya lebih khas.”

Dia mengatakan,  para pemilik ulayat harus lebih waspada karena pergerakan korporasi yang sudah menghabiskan tanah ulayat di tempat lain, sekarang menyasar lokasi ini.

Untuk itu, perlu pendaftaran tanah ulayat secara komunal untuk meningkatkan keamanan status lahan.

Tanah ulayat yang diupayakan ATR BPN, katanya,  khusus tanah ulayat yang memiliki fungsi publik yakni tanah ulayat nagari, bukan suku. “Kalau suku lebih 80% sudah diamankan oleh kaum dan suku-sukunya. Sedangkan nagari posisi rentan,” katanya.

Untuk tanah yang sudah beralih penguasaan atau sudah terlanjur berkonflik dengan perusahaan, katanya, pemulihan bisa atas perintah putusan hakim.

 

Ilustrasi, Kebun sawit. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat, katanya,  bisa menggugat karena bersengketa. Bisa juga lewat proses non-yudisial seperti melalui pelbagai macam program pemerintah.

Melalui jalur non-yudisial lainnya, kata Kurniawarman,  bisa mekanisme pendelegasian kewenangan hak menguasai negara kepada masyarakat adat. “Jadi dipulihkan bukan untuk dibagi-bagikan ke orang perorang tapi didelegasikan negara pada masyarakat hukum adat,” katanya.

Afrizal, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas mengatakan,  harus mendudukkan definisi tentang pemulihan. “Apa yang dimaksud dengan pemulihan tanah ulayat itu?” katanya.

Bagi Afrizal,  tanah ulayat itu milik komunitas nagari. “Berarti kalau tanah itu dipulihkan jadi milik bersama.”

Negara, katanya,  perlu mendudukkan siapa yang dapat mengelola tanah ulayat. Di Sumbar, misal, kini terjadi persaingan antara Kerapatan Adat Nagari (KAN) dengan Lembaga Adat Nagari (LAN).

“Kalau menurut perda lama pemegang otoritas tanah ulayat nagari adalah KAN dan LAN. Pemanfaatannya pemerintah nagari. Klausul ini berpotensi menyebabkan gesekan antara pemerintah nagari dan KAN.”

Dalam banyak kasus yang dia temukan,  pemerintah nagari banyak mengabaikan KAN karena dari sisi pemanfaatan. “Kalau pemanfaatan KAN tidak berwenang,” katanya.

Dia mengatakan, harus ada klausul lebih jelas ketika tanah ulayat akan dimanfaatkan. Selain itu,  perlu dipikirkan juga bagaimana relasi antara KAN dan pemerintah nagari.

Zulkifli,  mengatakan,  pemulihan hak ulayat itu sesuatu yang mungkin terjadi. Pemulihan, konkretnya ada pengakuan.

 

 

 

********

Exit mobile version