Mongabay.co.id

Silvofishery, Harmoni Vegetasi Hutan Mangrove dan Budidaya Perikanan

Masyarakat sekitar Teluk Kelabat Dalam membudidayakan rumput laut di sekitar Pulau Nanas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang mendapat tekanan akibat aktivitas di darat maupun laut. Kondisi ini diperparah dengan berbagai fenomena alam, efek perubahan iklim seperti banjir dan gelombang tinggi, serta akibat aktivitas manusia.

Pesisir menjadi wilayah sangat penting karena potensinya yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga, perannya sebagai penyedia sumber pangan melalui sektor perikanan dan pertanian.

Namun, pemanfaatan potensi pesisir saat ini cenderung bersifat destruktif dan eksploitatif, sehingga memperparah kerusakan ekosistem pesisir. Untuk itu, diperlukan konsep yang dapat mengharmonisasi pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dengan baik, melalui silvofishery.

 

Masyarakat sekitar Teluk Kelabat Dalam, Kepulauan Bangka Belitung, membudidayakan rumput laut di sekitar Pulau Nanas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Silvofishery atau “wanamina” merupakan kegiatan yang mengkombinasikan penanaman vegetasi hutan dan budidaya perikanan tambak. Konsep ini telah diperkenalkan di Subang, Jawa Barat, sejak 1990-an melalui inisiasi Perhutani.

Silvofishery dapat diaplikasikan pada berbagai jenis lahan dengan memperhatikan vegetasi dan komoditas yang digunakan. Implementasinya pada daerah pesisir, dilakukan melalui pemanfaatan vegetasi mangrove dan berbagai jenis ikan yang tahan pada kondisi air payau.

Begitu juga untuk implementasi pada lahan gambut, jenis vegetasi dan ikan perlu disesuaikan dengan kondisi lahan dan kualitas perairannya.

Konsep silvofishery dianggap sebagai win-win solution yang dapat mengakomodasi tujuan konservasi keanekaragaman hayati, sumber ekonomi masyarakat, serta sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

 

Panen ikan bandeng dari Gresik, Jatim. Bandeng merupakan ikan yang hidup di air payau. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Mangrove

Umumnya, mangrove menjadi vegetasi yang digunakan dalam konsep silvofishery di kawasan pesisir, dikombinasikan dengan udang atau ikan. Vegetasi mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai green belt dan penghalang abrasi air laut, penahan badai/angin yang sarat garam, penyerap polutan di perairan, tempat berkembangbiaknya berbagai jenis ikan, serta sebagai media penyerap karbon (carbon sequestration).

Mangrove menjadi vegetasi yang mampu menyimpan atau menyerap karbon dengan efektivitas 4-5 kali lebih banyak dari hutan terestrial. Semakin besar jumlah, jenis, dan diameter mangrove di tambak, semakin besar cadangan karbonnya.

Dalam suah penelitian disebutkan, dari setiap hektar tambak silvofishery dengan tutupan mangrove 44-80% dapat dihasilkan cadangan karbon sebesar 40-59 ton karbon.

Secara umum, Saraswati menjelaskan 4 model silvofishery yang telah diimplementasikan di wilayah pesisir Indonesia yaitu model tanggul, model parit, model kolam, dan model komplangan/modifikasi yang dapat dilihat pada gambar berikut:

 

Pola implementasi silvofishery. Sumber: Saraswati A, S., dkk. (2016). Laporan akhir kegiatan penyusunan dokumen kajian teknologi hijau konservasi mangrove yang dipadukan dengan kegiatan budidaya perikanan di kelurahan terpilih di wilayah Kota Probolinggo

 

Kunci penerapan silvofishery terletak pada rasio luas lahan untuk area penanaman dan tambak. Penentuan rasio didasarkan pada tujuan penerapan itu sendiri. Untuk tujuan ekonomi, rasio luasan tambak bisa diperbesar sehingga manfaat ekonomi yang dirasakan bisa lebih besar pula. Sedangkan rasio luasan vegetasi mangrove yang lebih besar dapat dilakukan untuk tujuan ekologis seperti peningkatan serapan karbon.

Sebagai contoh, banyak penelitian yang menyatakan rasio antara luas tambak dan mangrove sebesar 60% dan 40%. Namun, tidak ada aturan baku dalam penentuan ukuran tersebut. Paling penting adalah penetapan tujuan serta persiapan matang agar implementasi dapat berjalan berkesinambungan.

Implementasi silvofishery berbasis mangrove juga tidak lepas dari berbagai kendala. Kepemilikan lahan, metode pelaksanaan atau teknik budidaya, dan modal dapat menjadi hambatan. Padahal, prospek pengembangannya cukup tinggi dan akan sangat diminati, terlebih jika manfaat ekonomi yang diperoleh lebih besar.

Di satu sisi, rasio lahan mangrove harus dibuat lebih besar untuk tujuan ekologis dan pelestarian mangrove, namun di sisi lain, rasio luasan tambak juga perlu diperbesar untuk meningkatkan keuntungan secara ekonomi. Untuk itu, pilihan jenis komoditas perlu diperhatikan agar kedua tujuan dapat tercapai optimal.

 

Mangrove dengan perakarannya yang melindungi area pesisir pantai. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Rumput laut

Untuk menjawab tantangan kebutuhan ekonomi versus konservasi, penulis mengusulkan penambahan budidaya rumput laut dalam tambak. Rumput laut dapat menjadi alternatif komoditas budidaya dalam implementasi silvofishery.

Rumput laut merupakan jenis makroalga yang memiliki kemampuan menyerap karbon lebih baik dibandingkan hutan terestrial. Juga, berfungsi sebagai filter (penjernih air) sekaligus penghasil oksigen.

Berdasarkan riset Erlania dan I Nyoman Radiarta, disimpulkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma denticulatum memiliki tingkat penyerapan karbon tertinggi yang mencapai 16,08 hingga 68,43 ton C/ha/tahun.

Saat ini, rumput laut juga menjadi komoditas dengan nilai ekonomi tinggi, sehingga menarik untuk dibudidayakan oleh masyarakat. Rumput laut memiliki manfaat sebagai sumber pangan, bahan kosmetik, pakan maupun sebagai bahan dalam pembuatan pupuk organik. Oleh karena itu, budidaya rumput laut dapat menjadi kontributor dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang jumlahnya dapat mencapai 60% dari total masyarakat Indonesia.

Berdasarkan peta jalan pengembangan rumput laut nasional tahun 2018-2021, luas lahan rumput laut yang dibudidayakan secara silvofishery hanya 4,5% dari luas potensi tambak sebesar 2,96 juta hektar. Angka tersebut menunjukan masih tersedianya lahan potensial untuk budidaya rumput laut di Indonesia.

Penerapan teknologi yang sederhana, waktu panen cepat, serta permintaan pasar tinggi diharapkan dapat menjadi dorongan agar budidaya rumput laut dengan konsep silvofishery terus dikembangkan. Dengan begitu, akan mengungkit perekonomian masyarakat pesisir.

 

Tahap penjemuran rumput laut di Kabupaten Indramayu. Foto: Iif Miftahul Ihsan/BRIN

 

Konsep silvofishery dengan menggabungkan mangrove-rumput laut-ikan sudah pernah dilakukan, seperti di Desa Pesantren, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Mangrove ditanam pada bagian pematang tambak, dalam tambak, serta pada saluran air, yang digabungkan dengan budidaya komoditas ikan bandeng (Chanos chanos), kepiting soka/soft shell crab (Scylla sp.), dan rumput laut (Gracilaria sp.). Implementasi ini terbilang cukup berhasil karena didukung aturan dan kebijakan terkait.

Petani dan petambak merasakan manfaat dari peningkatan kualitas lingkungan melalui implementasi konsep tersebut. Mangrove yang terjaga mampu meningkatkan populasi ikan, kepiting, dan udang, serta berdampak pula pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Keberhasilan implementasi konsep silvofishery ini, perlu diinformasikan untuk membentuk persepsi positif di kalangan masyarakat pesisir dan bahkan lebih luas lagi.

 

* Raissa Anjani [Peneliti Pertama], Iif Miftahul Ihsan [Perekayasa Ahli Muda], dan Moch Ikhwanuddin Mawardi [Peneliti Ahli Utama], Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih – BRIN. Tulisan ini opini penulis.

 

Referensi: 

Firdaus, N., Widyaningsih, T. S., & Kuswantoro, D. P. (2014). Pengembangan Silvofishery di Wilayah Pesisir: Studi Komparasi Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur ke-2 UGM Yogyakarta. 178-183.

Harefa, M. S., Nasution, Z., Mulya, M. B., Maksum, A. (2021). Mangrove species diversity and carbon stock in silvofishery ponds in Deli Serdang District, North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas, 23: 655-662.

Nur, S. H. (2002). Pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari untuk tumpangsari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sambu, A. H. (2013). Optimasi pengelolaan tambak wanamina (silvofishery) di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Erlania, Radiarta, I, N.(2015). The use of seaweeds aquaculture for carbon sequestration: a strategy for climate change mitigation. Journal of Geodesy and Geomatics Engineering, 2: 109-115.

 

Exit mobile version