Mongabay.co.id

Tradisi Gotong Royong, Peran Perempuan dan Perhutanan Sosial di Desa Mesakada Mamasa

 

Meski sistem pertanian telah mengalami modernisasi, yang turut mengubah lanskap sosial dan budaya masyarakat pedesaan, sejumlah tradisi gotong royong dalam bertani masih terjaga di Desa Mesakada, Kecamatan Tanduk Kalua, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Masyarakat Desa Mesakada menyebut tradisi tersebut sebagai arisan tenaga, bentuknya berupa massaro dan mabbulele. Massaro adalah bekerja dengan upah di penanaman dan panen atau buruh tani. Sementara mabulele adalah pengerjaan sawah dari penyemaian hingga penanaman secara bergiliran atau bakubantu.

“Pembersihan sampai penanaman mereka punya mekanisme yang disebut arisan tenaga, kalau ada satu yang menanam mereka gotong royong, terus pindah ke petani lain. Kalau laki-lakinya saat penggarapan, arisan tenaga juga. Kalau ibu-ibu itu pembersihan dan penanaman, jadi ada pembagian peran,” kata Sriyati, Ketua Kelompok Tani Perempuan Lestari, dalam sebuah diskusi di Mamasa, Sulbar, Kamis (10/8/2023).

Pada tradisi mabbulele ini tak ada upah yang diberikan, namun diganti dengan bantuan yang sama saat mereka mengelola lahan, bantuan 4 jam akan diganti dengan 4 jam.

Sementara tradisi massaro dilakukan saat panen, terdapat pembagian upah berupa bagi hasil disebut massima. Jika pemilik sawah memperoleh 4 karung maka tenaga bantu akan mendapatkan 1 karung dibagi rata ke orang-orang yang membantu.

Menurut Sriyati, arisan tenaga ini adalah bagian dari upaya mereka menyiasati keterbatasan modal, karena tak ada biaya untuk membiayai buruh tani sementara lahan sawah yang dikelola cukup luas.

Masyarakat Mesakada sendiri selain bertani sawah, juga berkebun di dalam dan luar kawasan hutan. Mereka menanam kopi, nenas, dan berbagai tanaman sayuran, yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan komsumsi rumah tangga.

Tak banyak yang bisa dijual ke luar desa karena akses yang terbatas, tak ada transportasi lokal dan jalanan yang rusak, apalagi di musim hujan. Pasar terdekat sejauh 7 km, yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki ketika musim hujan.

“Kalaupun ada hasil tanam yang dijual biasanya menunggu pengepul datang dari luar, biasanya untuk tanaman vanili dan kopi. Meski belakangan ini sudah jarang muncul lagi.”

baca : Pemerintah Jerman Biayai Program Perhutanan Sosial di Indonesia. Apa yang Ingin Dicapai?

 

Sriyati sedang petik kopi di kebun yang ada sekitar rumahnya yang berdekatan dengan kawasan hutan. Perempuan di Desa Mesakada memiliki peran penting dalam pertanian di desa ini. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Sriyati, perempuan memiliki peran penting dalam pertanian di Mamasa. Perempuan biasanya berperan ketika pembersihan lahan dan penanaman, sementara peran laki-laki pada penggarapan sawah. Saat panen, peran laki-laki dan perempuan relatif sama, bahkan peran perempuan bisa jadi lebih besar.

“Kalau laki-laki itu kan lebih banyak waktu untuk istirahat, merokok, dll, sementara perempuan hanya istirahat saat waktu makan. Pulang ke rumah semua urusan rumah tangga harus ditangani perempuan,” katanya.

Sayangya, saat pembagian hasil panen, laki-laki biasanya mendapatkan bagian lebih banyak. Kalau laki-laki mendapat upah Rp100 ribu per hari, maka perempuan hanya mendapat Rp75 ribu. “Maunya sih disamakan saja,” katanya.

Dusun Sumarmilan cukup terisolasi dari dunia luar karena letaknya yang jauh ke dalam dan berbatasan dengan kawasan hutan. Untungnya akses akan air bersih terpenuhi sejak masuknya program Pamsimas tahun 2005 silam. Sebelumnya mereka harus mengangkut air dari sumur desa, yang sebagian besar dilakukan perempuan.

Terkait budidaya tanaman vanili, meski bernilai ekonomi tinggi sekitar Rp500 ribu/kg, namun pengerjaannya yang agak rumit serta pasar yang semakin susah. “Penyuluh juga tidak tahu di mana dipasarkan. Ini yang bikin patah semangat,” ujar Sriyati.

Mereka juga tanam nenas dan rumput yang disebut seong. Di awal-awal tanaman ini cukup menjanjikan, namun kemudian terkendala pasar. Sama halnya dengan vanili, mereka tergantung pada pengepul yang masuk ke dalam desa.

Mereka memenuhi kebutuhan pangan, dari sawah, kebun, hutan dan pemeliharaan ikan. Ketika pandemi dua tahun lalu, masyarakat setempat tak begitu terdampak secara pangan, karena semua tersedia, kecuali bahan-bahan dapur seperti garam, minyak dan gula.

Di Desa Mesakada, meski sejumlah tradisi masih bertahan namun tergantung pada persetujuan gereja. “Banyak ritual yang sudah tidak dilakukan, kalau dianggap bertentangan dengan agama maka akan ditinggalkan,” ungkap Sriyati.

Pemangku adat yang mengurus pertanian yang disebut sobbo masih dipertahankan fungsinya namun kini di bawah kendali gereja, bukan lagi adat.

baca juga : Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia

 

Diskusi dengan warga Desa Mesakada untuk mengetahui masyarakat dan aktivitas mereka di kawasan hutan. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Perhutanan sosial

Sejumlah warga Desa Mesakada saat ini berkeinginan untuk mendorong perhutanan sosial melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm). Surono, penggagas kelompok ini mengatakan telah mengidentifikasi terdapat 40 warga yang selama ini beraktivitas di dalam kawasan hutan.

“Mereka telah mengelola hutan sejak lama, warisan turun temurun. Mereka umumnya bertanam kopi, vanili, dan belakangan menanam nenas dan jengkol. Sebagian lahan juga dijadikan sawah tadah hujan.”

Mereka baru mengetahui kalau kawasan yang mereka kelola adalah hutan negara pada tahun 2022 ketika pemerintah memasang patok tapal batas. Selain lahan di kawasan hutan, tak banyak lahan yang bisa dikerjakan sebagai sumber mata pencaharian.

Mereka berharap tetap bisa bertani di kawasan hutan dan mendapat program bantuan dari pemerintah atau pihak lain. Tantangan mereka selama ini ketersediaan pupuk dan pestisida serta pemasarannya.

“Kita berharap jika dapat izin HKm ini semua persoalan itu bisa teratasi,” ungkap Surono.

Sukma Taroniarta, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Madya dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sulawesi, menyatakan pentingnya masyarakat desa untuk mendapatkan legalitas pengelolaan hutan di kawasan hutan negara melalui berbagai skema perhutanan sosial yang ada, termasuk HKm.

“Karena berkebun di kawasan hutan negara sehingga harus legal atau resmi supaya warga tenang bekerja dan tidak dikejar-kejar polhut, meskipun sekarang hal seperti itu sudah tak ada lagi. Sekarang maunya pemerintah agar hutan tetap terjaga dan warga tetap bisa bekerja dan penghidupan bisa lebih bagus,” katanya ketika berdiskusi dengan warga.

Menurutnya, di kawasan hutan memang masih banyak warga yang bertani namun hasilnya tidak maksimal karena kebutuhan bibit dan pupuk terbatas, karena statusnya terhitung ilegal, sehingga pemerintah ataupun pihak lainnya takut untuk memberikan bantuan.

“Kalau sudah resmi nanti bisa dibantu dicarikan penadah hasil bumi dan bantuan-bantuan bibit, kalau sudah legal maka pemerintah tidak ragu untuk kasih bantuan.”

baca juga : Perhutanan Sosial Berbasis Masyarakat atau Negara?

 

Tapal batas wilayah konsesi perusahaan yang kadang beririsan dengan wilayah masyarakat adat dan lokal menjadi potensi konflik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sukmawati berharap rencana pengajuan HKm oleh warga Desa Mesakada bisa berjalan lancar dan segera memperoleh izin, sehingga kawasan hutan yang diajukan bisa segera dikerjakan.

Ia merujuk pengalaman pengajuan dua HKm yaitu di Desa Lombona dan Tanete Batu, yang izinnya tertolak terkendala masalah teknis karena lahannya beririsan dengan wilayah konsesi pemanfaatan lain.

“Kita berharap masyarakat di sini tidak mengalami hambatan seperti itu, dari awal sudah didata memang bagaimana kondisi di bawah. Mudah-mudahan KPH Mamasa Tengah dalam membuat peta usulan dikonsultasikan dengan yang punya data, apakah di situ ada izin atau tidak.”

Awaluddin, Direktur Yayasan Romang Celebes (YRC), menyatakan kehadiran PS menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalah kehutanan di Indonesia.

“Pemerintah memahami adanya ketergantungan masyarakat terhadap hutan sejak dulu, sehingga pemerintah memberikan solusi agar aktivitas di dalamnya tetap legal, dan masyarakat merasa nyaman dalam mengelola kebun atau tanaman-tanaman yang memang berada di dalam kawasan.”

 

 

Exit mobile version