Mongabay.co.id

Bertahan dari Dampak Krisis Iklim, Warga Indragiri Hilir Beralih dari Petani ke Nelayan

 

 

 

 

Udang tenggek melompat dalam perahu cepat yang ditumpangi rombongan Kelurahan Sapat, Kecamatan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. “Ini tandanya nelayan cari ikan tak pakai racun lagi,” celetuk Udin, satu dari 10 penumpang. Yang lain mengiyakan.

Tak hanya udang tenggek beri isyarat sungai mulai pulih dari cairan kimia yang membahayakan sumber daya perairan di Kelurahan Sapat, batang maupun tunggul nipah (Nypa fruticans) penuh teritip.

“Waktu marak peracunan ikan, tak ada teritip seperti itu,” kata Arbani, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), Suka Damai.

Hari itu, 15 Juli lalu, kami menyusuri Parit 18 A.  Air mulai berangsur pasang. Karena mesin dimatikan, perlahan, Arbani melajukan perahu dengan sebatang nipah dari atas haluan. Beberapa kali, dia turun ke lumpur untuk mendorong perahu yang kandas.

Kami ingin menemui Andi Masrapi, pengepul hasil tangkap nelayan sungai.  Tiap hari, dia menampung kepiting bakau, udang tenggek, udang galah, ikan, lokan bahkan lidi nipah.

Andi, juga Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sapat.

Rutinitas itu tak pernah absen. Apalagi saat musim tangkapan sedang melimpah. Kala itu tengah musim udang tenggek (Fenneropenaeus merguiensis). Musim kepiting bakau baru melimpah pada November, berlangsung sampai Februari.

Tiap hari, nelayan tetap mencari udang dan kepiting. Mereka bawa dua alat tangkap sekaligus. Ketika air mulai pasang, nelayan lempar jala untuk mendapatkan udang. Setelah air sungai mulai tinggi, nelayan pasang pento, lalu ditinggal sekitar satu malam. Baru dibongkar lagi saat mencari udang keesokan harinya.

“Udang ada saat air kecil. Kepiting posisinya air dalam. Maka, nelayan setelah ngambil udang, mereka pasang penangkap kepiting. Sehari, bisa ambil udang dan kepiting. Kalau pas musim kepiting bakau, bisa menampung sampai satu pikul atau dua pikul sehari. Tergantung musim,” katanya, beberapa waktu lalu.

Adapun udang, sehari, Andi terkadang menampung paling sedikit 30 kilogram. Bahkan, satu orang nelayan mampu menghasilkan 10 kilogram udang tenggek, selama tiga sampai empat jam turun ke sungai. Dalam jala, terkadang juga nyangkut beberapa udang galah.

“Udang itu, asal nelayan mau turun aja dan air pasang bagus, bisa dapat,” katanya.

Harga beli udang perkg  dengan tiga kategori berdasarkan ukuran, kepiting bakau golongan A (berat satu kg) Rp200.000, B (tujuh ons) Rp170.000 dan C (lima ons) Rp130.0000.

Harga udang juga dibedakan antara Rp15.000-Rp 45.000 per kilogram. Nelayan harus memilah terlebih dahulu hasil tangkapnya, sebelum ditimbang. Walau jadi penampung tunggal, Andi tidak semena-mena menetapkan harga hingga tak ada keberatan nelayan.

Biasanya, tiap dua hari sekali, Andi menjual kembali ke pengepul besar atau pasar luar kelurahan dengan perahu cepat sendiri. Udang dan kepiting diantar ke Tembilahan. Kecuali kepiting besar dijual ke Sungai Bela, masih Kecamatan Kuala Indragiri dan Kelurahan Concong Luar, Kecamatan Concong.

 

Teritip terlihat di batang nipah di sungai Parit 18 A. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Abrasi, beralih mata pencarian

Andi, sejatinya petani kelapa. Lima tahun belakangan, dia beralih jadi pengepul udang dan kepiting. Meski saat jadi petani sudah terbiasa dengan bisnis nelayan, sejak kebun kelapa tenggelam alias terkena abrasi.

Indragiri Hilir, sebagai kabupaten dengan hutan mangrove terluas di Riau, tidak lepas dari ancaman kerusakan baik oleh manusia maupun faktor alam. Akibatnya, abrasi di sejumlah wilayah atau intrusi air laut meluluh lantakkan kebun kelapa yang jadi primadona dan sumber ekonomi utama masyarakat. Termasuk Andi,  kini tidak menyisakan satu batang pohon kelapa lagi yang berbuah.

“Untuk minum air kelapa saja susah sekarang,” katanya.

Setelah kebun kelapa hancur, dia tidak ingat lagi berapa luas yang dimilikinya. Dia kerap membeli kebun masyarakat yang memilih pindah dari Parit 18 A. Padahal, dia tahu, lambat laun pohon-pohon kelapa itu tidak berbuah lagi karena terendam air asin.

“Mulai 2017, tidak ke kebun lagi. Pokoknya kalau waktu jaya dulu, kebun masih bagus dan harga kelapa masih tinggi, bisa panen ratusan ton, tiap tiga bulan sekali dengan harga rata-rata Rp2.000. Sekarang, dah fokus ke sini (mengepul udang, ikan dan kepiting),” kata Andi.

Kini, sebagian bekas kebun kelapa Andi dipulihkan dengan tanaman mangrove. Dia berharap air laut tidak makin parah merendam kelapa tersisa. Sebagian lagi jadi area penutupan sungai. Langkah ini dia lakukan demi menjaga sumber daya perikanan sebagai tumpuan hidup masyarakat termasuk dirinya.

Andi punya peran ganda. Selain pengepul, dia juga harus menjaga semangat nelayan mencari nafkah di kampung yang makin sepi karena terdampak perubahan iklim.

Cara itu dia lakukan dengan jemput dan antar nelayan yang kebanyakan tinggal di Tembilahan, pusat pemerintahan Indragiri Hilir. Jarak sekitar setengah jam. Mereka, dulunya petani di Parit 18 A karena tidak punya pekerjaan tetap, mau tidak mau harus kembali ke kampung kelahiran, sekadar mencari ikan. Lagi pula, mereka masih memiliki gubuk sekadar tempat istirahat.

Setidaknya, ada sekitar 10 nelayan yang andi antar jemput untuk melaut. Andi tak memungut biaya. Kalau tidak sempat keluar, dia cukup mengantar nelayan itu ke kuala parit dan menunggu perahu tumpangan melintas di sana. Dia pula yang bayar ongkos.

“Satu dua orang pun tetap aku antar.”

 

 

Andi juga menyiapkan segala perlengkapan nelayan untuk menyusuri sungai mencari rezeki. Dia buatkan perahu. Lengkap dengan jaring, belat, pento atau jala. Sesuai kebutuhan nelayan. Nelayan cukup cicil dari hasil tangkapan.

Semangat itu pula yang membuat nelayan tetap bertahan di tengah krisis iklim menerpa lumbung ekonomi mereka. Andi bahkan akan turun langsung mencari ikan jika tak ada lagi nelayan bertahan di sana.

“Tapi pernah aku tinggalkan. Anak buah suruh balik lagi. Mereka tidak mau jual ikan kecuali sama aku. Lagi pula pengepul lain tak mau antar mereka ke Tembilahan. Kebetulan aku bertahan, lebih enak lagi nelayannya,” kata anak pertama dari enam bersaudara ini.

Kini, hanya tinggal tiga keluarga yang masih menetap penuh di Parit 18 A, termasuk Andi. Sebelumnya, ada 200 lebih rumah tangga. Bahkan ada sekolah dasar dan setingkatnya, madrasah ibtidaiyah. Bangunan posyandu pun tak meninggalkan jejak lagi.

Parit 18 B, sebelahnya, juga makin ditinggalkan warga. Secara administrasi kependudukan, dua parit itu, kini, akhirnya digabung menjadi satu rukun tetangga. Nelayan di parit itu, juga jual ikan ke Andi, termasuk pengepulnya.

Di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang merosot, Andi punya alasan bertahan di Parit 18 A. Dalam proses yang dia jalani, ternyata mengepul hasil tangkapan nelayan lebih ringan ketimbang berkebun kelapa. Dia tidak pikirkan untung rugi dengan model yang diterapkan, dengan tetap tak menetapkan harga semena-mena.

Ahmad Riadi, Lurah Sapat bilang,  setelah berhenti jadi petani, masyarakat beralih jadi nelayan karena sumber daya alam yang tersedia tetap memberi harapan bagi terciptanya ekonomi baru. Termasuk hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan tanpa merusak alam.

Nelayan Parit 18 A baru pulang menjala. Dapat udang hampir lima kilo hanya dalam waktu kurang lebih delapan jam. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Jaga sungai

Gairah nelayan Parit 18 A mencari ikan tidak lepas dari upaya dan jerih payah Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Suka Damai menjaga sungai. Kebanyakan anggota kelompok ini juga nelayan. Arbani, Ketua Pokmaswas, mengatakan,  mereka menetapkan wilayah penjagaan.

Kesepakatan itu sedang berjalan dua tahun antara lain dengan sistem buka dan tutup sungai sepanjang 1,8 kilometer. Ini termasuk sungai besar di Kelurahan Sapat. Dengan begitu, otomatis cabang-cabang sungai kecil juga ikut terlindungi. Wilayah ini dinilai memilik potensi perikanan cukup besar.

Tujuannya untuk menjaga kelestarian sumber daya perairan. Sebab, selama sungai ditutup antara enam sampai tujuh bulan, itu merupakan proses penabungan, pengembangan, penggemukan atau pembibitan secara alami segala jenis biota di dalamnya.

“Apapun jenis ikan dan udang begitu juga kepiting, jadi tumbuh dan besar dengan sendirinya. Karena selama sungai ditutup, nelayan tidak diperkenankan menangkap,” katanya, bulan lalu.

Model ini dipertahankan karena nelayan telah merasakan dampaknya. Tahun lalu, setelah sungai ditutup lebih kurang 10 bulan, tiga nelayan dapat penghasilan Rp5.000.000 hanya dengan memasang 18 belat, satu malam. Panjang tiap belat antara 11-18 depa.

Rata-rata nelayan sungai di Sapat menggunakan belat, selain jaring dan jala. Ia di pasang pada bahu sungai ketika air masih tinggi. Ketika alat tangkap tradisional ini dipasang, kelihatan seperti pagar jaring. Setelah surut atau nampak lumpur, belat diangkat. Ikan bakut, sembilang, baung, udang galah maupun udang tenggek nyangkut di situ.

 

Posko Pokmaswas Suka Damai. Foto: Sureyadi/ Mongabay Indonesia

 

Selama sungai ditutup, bukan berarti orang atau nelayan dilarang melintas. Mereka masih bisa cari ikan dan udang tetapi hanya dengan alat pancing. Sebab itu, Pokmaswas Suka Damai di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sapat, buat lomba pancing buat masyarakat umum.

Kegiatan itu menjadi daya tarik wisata sekaligus menciptakan ekonomi baru. Peserta pancing harus menyewa perahu-perahu nelayan yang telah disiapkan panitia penyelenggara. Ongkos Rp200.000 per sampan, kapasitas empat orang untuk satu jam. Tidak diperkenankan memakai perahu cepat, karena gelombang akan mengganggu ekosistem perairan selama masa penjagaan.

“Tahun lalu, peserta lomba pancing datang dari Jambi. Tahun ini, direncanakan September,” kata Arbani.

Selain ada toleransi mencari ikan dan udang dengan alat pancing, sungai yang ditutup sebenarnya tidak menyasar seluruhnya. Di Sapat ada sekitar 48 sungai dengan panjang sekitar 16 kilometer. Sistem buka tutup hanya melingkup 10 sungai.

Sungai-sungai yang tidak termasuk wilayah tutupan itu tetap bisa dimanfaatkan nelayan. Meski di awal menuai konflik, mereka mulai memahaminya.

Untuk memastikan wilayah tutupan tetap aman, Pokmaswas Suka Damai dengan 18 anggota kelompok bergiliran patroli rutin, satu bulan sekali. Mereka dilengkapi berbagai peralatan pendukung, seperti teropong, kamera dan buku isian hasil patroli. Mereka juga pakai aplikasi pemetaan. Setidaknya pengambilan titik koordinat.

Adapun alat transportasi memakai pompong salah satu anggota kelompok yang kebagian jadwal patroli, saat itu. Biaya sekali susur sungai Rp1.200.000 untuk bahan bakar, konsumsi hingga pengganti hari kerja.

Yayasan Mitra Insani (YMI) bersama Yayasan Hutan Biru (YHB) dan Blue Venture Indonesia (BVI), turut membiaya operasional patroli Pokmaswas Suka Damai jaga sungai. Tiga lembaga ini merupakan konsorsium dalam program hutan biru terintegrasi. Kegiatannya meliputi, pengelolaan mangrove, perikanan, kesehatan masyarakat dan pengembangan mata pencarian.

 

Papan peringatan pada salah satu sungai yang ditetapkan sebagai wilayah tabungan perikanan. Dilarang menangkap selama masa penutupan. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kelurahan Sapat, satu dari beberapa desa lokasi dampingan di Kecamatan Kuala Indragiri. Selain itu ada Sungai Piyai, Perigi Raja dan Tanjung Melayu. Dua lagi di Kecamatan Mandah, yakni, Pulau Cawan dan Igal.

Jauh sebelumnya, YMI telah membantu nelayan empat desa di Kuala Indragiri memperoleh hak pengelolaan hutan desa pada 11 Desember 2017 dengan luas 7.664 hektar. Hutan desa ini dengan tutupan mangrove.

Sebenarnya, sebelum ada dukungan pendanaan, Arbani dan nelayan lain sudah memulai patroli sungai. Waktu itu, justru belum terbentuk Pokmaswas. Mereka menamakan kelompoknya penjaga sungai dalam disingkat Pesud Anak Batang—merujuk nama biota endemik perairan Indragiri Hilir, salah satunya di Sapat.

Meski wilayah penjagaan hanya terbatas 16 kilometer, tak jarang tim patroli juga menjelajah lebih dari itu. Bagi Pokmaswas Suka Damai, patroli sangat penting. Sebab, sungai di Sapat masih belum terlalu aman dari aktivitas nelayan luar mencari ikan dengan racun.

Kini, makin terbantu karena nelayan lokal—bukan anggota Pokmaswas—sembari cari ikan juga ikut mengawas. Mereka lapor kelompok jika menemukan pelanggaran. “Nelayan dengan kesadaran sendiri ikut menjaga sungai karena juga mencari ikan di sana. Walau tanpa surat tugas,” kata Arbani yang kerap menerima aduan dari nelayan.

Setidaknya, keterlibatan nelayan lokal membuat waktu patroli tidak pernah kosong. Karena nelayan hari-harinya mencari ikan di sungai. Keteribatan ini juga berdampak sosial. Kecemburuan nelayan lokal pada nelayan luar yang biasa wara wiri masuk ke wilayah tangkapan mereka mulai berkurang.

“Masuknya nelayan luar adalah tantangan kita selama pengawasan. Tiap mereka masuk, timbul kecemburuan nelayan dalam. Tapi, ketika kami arahkan batas-batas atau jalur pemasangan belat, perlahan mereka (nelayan luar) mulai mengerti.”

 

Nelayan Parit 18 A baru pulang menjala ikan dan udang. Mereka tengah memilah hasil tangkapan sebelum ditimbang ke pengepul. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Anti racun sungai

Ikan dan udang melimpah mengundang nelayan luar masuk ke sungai-sungai di Sapat. Juga tak lepas dari larangan penggunaan racun. Nelayan lokal, meski pernah pakai cara terlarang itu selama bertahun-tahun, kini sudah mereka tinggalkan. “Nelayan saya tak ada pakai racun lagi,” kata Andi.

Ibarat kata Arbani, nelayan Sapat, termasuk dirinya, menyebut preman pensiun. Ini juga yang dia sampaikan ke nelayan luar. Kalau mereka berhenti meracun, sungai-sungai akan kaya ikan dan udang hingga tak perlu jauh-jauh masuk wilayah tangkap orang.

Arbani juga mengimbau dengan cara persuasif. Dia surati ketua kelompok nelayan luar yang anggotanya kedapatan masuk wilayah penjagaan dan tangkapan nelayan lokal dengan meracun. Tak jarang, peringatan itu belum dipahami. Kala lengah, tetap saja nelayan luar masuk dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan,  nekat menuangkan racun dalam sungai pada siang hari.

Arbani dan nelayan lokal mendapat banyak pelajaran dari dampak buruk meracun sungai. Paling utama mengenai keberlanjutan alam dan ekonomi. Sekali meracun, meski dapat ikan dan udang puluhan pikul, tetapi tidak terus menerus.

Perhitungannya, nelayan baru dapat biota sungai itu kembali sekitar tiga bulan kemudian. Ular pun ikut mati. Bau busuk pasti tercium sepanjang sungai.

“Artinya, kita menunggu lama lagi. Atau mencari ikan di sungai lain bahkan makin jauh mencarinya,” ucap Arbani.

Beda setelah mereka berhenti meracun. Hasil tangkapan selalu mencukupi kebutuhan harian nelayan. Tak jarang berlebih dan dapat memenuhi kebutuhan sekunder lainnya dalam rumah tangga mereka.

Alasan tak kalah penting nelayan Sapat berhenti meracun sungai adalah masalah gizi buruk dan stunting yang pernah menerpa anak-anak mereka. Angka itu sempat tertinggi di antara desa dan kelurahan di Indragiri Hilir. Bahkan telah menyerang janin perempuan hamil.

Tenaga kesehatan dari Puskesmas sampai turun langsung memeriksa dan mengecek aktivitas terutama bahan-bahan yang dikonsumsi masyarakat. Masalahnya, racun yang dipakai membunuh ikan dan udang di sungai juga dipakai untuk memusnahkan hama pada tanaman bayam, kol, mentimum, lada dan cabai rawit. Alhasil semua terkontaminasi zat kimia berbahaya.

“Saya tau, karena ibu-ibu datang ke rumah minta racun yang saya pakai cari ikan untuk menyirami tanaman mereka. Harusnya anak-anak yang lahir jadi orang pintar. Tapi malah terjadi gizi buruk. Sempat heboh juga kasus itu di sini,” kata Arbani.

Arbani cerita, lorong atau dusun mereka sampai dikenal sebagai penuba. Bahkan ada selebaran di mana-mana terutama pasar berisi imbauan agar jangan beli ikan dan udang dari nelayan Suka Damai.

Pada masa itu, dia sedikit beruntung karena masih dipercaya masyarakat bahwa ikan dan udang hasil tangkapnya masih aman konsumsi, meski jujur pada pembeli bahwa itu hasil meracun. “Saya suruh cuci bersih saja.”

“Sebelum tobat memang susah mencari ikan dan udang secara lestari. Kami tinggalkan barang haram itu. Fokus jaga sungai,” kata Arbani, benar-benar kapok menggunakan cara terlarang itu.

 

 

******

 

Exit mobile version