Mongabay.co.id

Pengakuan Wilayah Adat Lambat

 

 

 

 

Pengakuan wilayah adat masih minim terlihat dari dari baru 3,73 juta hektar pengakuan pemerintah daerah dan 221.648 hektar penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Padahal, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sudah meregistrasi dan menyerahkan pemerintah 1.336 peta wilayah adat seluas sekitar 26,9 juta hektar. Untuk hutan adat, masih ada potensi 20,85 juta hektar dari 929 peta yang mereka registrasi.

“Yang ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah baru 13,9% dari yang teregistrasi BRWA. Untuk hutan adat baru 123 surat keputusan penetapan keluar,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA dalam konferensi pers soal status pengakuan wIlayah adat di Indonesia, belum lama ini.

Pemerintah daerah maupun KLHK, katanya,  memiliki masalah masing-masing hingga pengakuan wilayah dan hutan adat lambat. Pada level pemerintah daerah, setidaknya ada dua hal yang jadi hambatan berdasarkan pengalaman BRWA.

Status Registrasi BRWA

 

 

Pertama, kapasitas pemerintah menyelenggarakan proses pangakuan masyarakat adat masih lemah. “Banyak panitia masyarakat adat di di kabupaten, kota atau provinsi tidak cukup pahami prosedur terkait verifikasi masyaradat dan wilayah adat,” katanya.

Kedua, masalah anggaran. Dia bilang, masih sedikit pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya di daerah mereka.

Padahal, dua hal ini dalam catatan Widodo menjadi fundamental untuk percepatan pengakuan masyarakat adat di daerah. Hal lain, katanya, adalah kerangka hukum atau kebijakan dan kelembagaan.

Kerangka hukum ini, katanya, bisa berupa peraturan daerah, atau surat keputusan bupati. Dengan produk hukum ini, katanya,  bisa mendorong BRWA menyiapkan peta-peta wilayah adat di daerah itu untuk disampaikan pada pemerintah.

“Ini lagi-lagi ada di komitmen kepala daerah. Bupati harus duduk bareng dengan DPRD untuk membentuk peraturan daerah soal pengakuan masyarakat adat,” katanya.

 

Orang Tobelo pesisir maupun Tobelo Dalam, protes hutan rusak karena tambang, September 2022. Foto: Christ belseran/ Mongabay Indonesia

 

Setelah produk hukum, juga perlu kelembagaan. Lembaga ini ditugaskan dan dibentuk bupati berdasarkan perda.

Sayangnya, di beberapa daerah, kelembagaan tidak terbentuk padahal sudah ada perda. Padahal, katanya, kelembagaan penting untuk penggerak penyelenggaraan masyarakat adat.

“Di Jayapura,  ada namanya Gugus Tugas Masyarakat Adat. Di Malinau,  ada Badan Pengelola Masyarakat Adat. Di beberapa tempat ada panitia masyarakat hukum adat. Mereka ini penting sebagai motor penggerak pengakuan masyarakat adat.”

Keempat hal itu, katanya, jadi hal penting untuk proses lanjut penetapan hutan adat KLHK berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Kehutanan dan peraturan pemerintah nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan Pasal 234.

Menurut dia, ini juga menjadi keruwetan yang membuat pengakuan hak masyarakat adat tidak mudah.

 

 

 

KLHK harus efisien dan peka

Nora Hidayati, Manajer Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa saat dihubungi Mongabay khusus menyoroti kinerja Tim Terpadu Verifikasi Hutan Adat bentukan KLHK. Menurut dia, tim terpadu harus lebih efisien dalam bekerja hingga ada percepatan pengukuhan hutan adat.

Selama ini, pengukuhan hutan adat oleh KLHK terkendala oleh gerakan tim terpadu yang juga dibatasi anggaran. Mereka, katanya, hanya bisa verifikasi di daerah yang memiliki pengajuan hutan adat kolektif.

“Misalkan sekarang ada usulan tujuh di Aceh. Mereka akan mengutamakan itu dulu, ketimbang yang ada di Kaltim, misal, yang cuma ada satu usulan,” ucap Nora.

Jadi, katanya, tidak heran kalau pengukuhan hutan adat selama ini cenderung lambat. Dalam perkembangan data BRWA saja, penambahan 68.326 hektar hutan adat yang dikukuhkan dalam enam bulan terakhir didapat dari 15 hutan adat di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

“Keterbatasan waktu dan anggaran hanya memungkinkan belasan hutan adat setiap tahun.”

 

 

 

Untuk mengefektifkan kerja tim terpadu,  katanya, perlu penyederhanaan proses untuk kawasan yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah.

Menurut dia, verifikasi teknis yang rumit dan berlarut hanya akan mementahkan pengakuan yang sudah dilakukan pemerintah daerah.

Kan pengakuan itu sudah ada di daerah. Mereka seharusnya percaya terhadap kerja daerah dan menyederhanakan verifikasinya,” kata Nora.

Masalah lain dari penetapan hutan adat lamban adalah tidak ada tenggat dalam peraturan. Berbeda dengan proses perizinan yang memiliki lini waktu jelas untuk setiap prosesnya.

KLHK pun, kata Nora kerap mengesampingkan usulan penetapan hutan adat di derah kalau tidak dikawal. “Tidak ada tenggat di KLHK dan tidak ketahuan berapa lama proses itu berjalan di sana.”

Padahal, kalau KLHK gesit, mereka tidak hanya bisa memproses usulan penetapan hutan adat. juga mendesak daerah yang sudah memiliki perda tetapi tidak memiliki surat keputusan pengakuan masyarakat adat di wilayahnya.

“Karena penetapan kawasan hutan ranah KLHK. Kalau mereka tahu ada daerah yang masih stuck di perda, mereka bisa bunyikan pada pemimpin daerah untuk segera usulkan pengakuan dan pengukuhan kawasan adat,” katanya.

 

Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

Hal itu yang terjadi di Gunung Mas. Dalam konferensi pers, Widodo menyebut tim terpadu bekerjasama dengan Pemerintah Gunung Mas, yang hanya mengandalkan perda walau belum ada pengakuan masyarakat adat dan penetapan wilayah adat.

Dari hasil verifikasi, tim terpadu mengeluarkan dua rekomendasi. Pertama, pengakuan masyarakat adat dan penetapan kawasan adat pada Pemerintah Gunung Mas. Kedua, rekomendasi penetapan hutan adat pada Menteri LHK.

“Ini jadi cara baru untuk percepatan pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya serta hutan adat. Tidak perlu menunggu dulu proses di daerah, ini bisa berjalan berbarengan,” kata Widodo.

 

 

 

Kalah dengan perizinan

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, saat ditemui Mongabay mengkritik kalah cepatnya pengakuan masyarakat adat dengan proses perizinan. Dia menyebut,  regulasi perizinan terus dipermudah tetapi tidak ada penyederhanaan regulasi untuk pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat.

“Ini kan tidak adil. Ada PR [pekerjaan rumah] buat kita di situ,” katanya.

Seharusnya, kata Hariadi, pemerintah bisa jeli melihat kondisi lapangan. Jangan sampai rumitnya pengakuan akan masyarakat adat terus terjadi sementara perizinan di kawasan mereka terus dilakukan pemerintah pusat.

Dalam catatan BRWA, tumpang tindih kawasan adat paling banyak terjadi dengan izin HPH seluas 2,3 juta hektar. HPH yang tumpang tindih ada di Kalimantan.

Kondisi ini, kata Widodo, bisa jadi makin parah dengan akan terbit hak pengelolaan lahan (HPL) di atas tanah ulayat yang diinisiasi Kementerian ATR/BPN. Ia seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Kondisi ini disebut Widodo,  kalau hak menguasai negara masih eksesif.

Padahal,  katanya, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan hak menguasai negara dibatasi hak ulayat. “HPL di atas wilayah adat justru berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun.”

 

Orang Mentawai di Dusun Puro, Siberut Selatan sedang mencari daun-daun obat untuk pengobatan dan ritual adat. Mereka hidup bergantung hutan, tetapi wilayah adat berlum ada pengakuan dan perlindungan dari negara. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version