Mongabay.co.id

Ribuan Desa Kembangkan Energi Air di Jawa Tengah, JETP Perlu Fokus ke Komunitas [3]

 

 

 

 

 

 

 

Jawa Tengah, menyimpan potensi energi besar besar energi terbarukan seperti sumber air sampai 382,32 Mega Watt (MW) dan sudah lebih 2.000 desa mandiri energi antara lain berada di Kabupaten Banyumas. Dengan kondisi geografis di lereng Gunung Slamet, Banyumas memiliki 1.681 mata air dan lima situ (telaga).

Potensi aliran air dan telaga itu cukup baik, lantaran berada di kawasan hutan lindung yang terjaga hingga ketersediaan air melimpah. Banyak aliran sungai mengalir di tebing-tebing curam.

“Kami sedang memasifkan pemanfaatan energi terbarukan di masyarakat perdesaan. Upaya ini merupakan salah satu langkah untuk menekan emisi karbon di Jawa Tengah,” kata Boedyo Dharmawan, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng.

Dinas Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) Banyumas memetakan setidaknya ada tujuh daerah aliran sungai (DAS) yang berpotensi sebagai sumber tenaga listrik, yakni DAS Cihaur Hulu, Tajum, Logawa, Pelus, Serayu Hilir, DAS Ijo, dan DAS Tipar. Ditambah lagi potensi terjunan air di tujuh air terjun lain yang tersebar di Kecamatan Baturraden, Kedungbanteng, dan Cilongok.

Wilayah-wilayah ini berada di lereng Gunung Slamet dan memiliki banyak aliran sungai. Keberadaan mata air dan telaga yang berdebit tinggi itu digunakan sebagian masyarakat untuk keperluan energi listrik, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan jauh dari jaringan listrik PLN seperti di lereng Gunung Slamet.

Dari total 8.562 desa di Jawa Tengah, katanya, sampai Juni 2023 ada 2.421 desa sudah mandiri energi. Pengembangan energi baru terbarukan dengan pemberian bantuan di sejumlah kabupaten/kota, antara lain pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Masyarakat pun dapat menikmati energi ramah lingkungan secara murah, bahkan gratis selama 24 jam penuh.

Meski begitu masih ada proyek PLTMH bantuan dari pemerintah provinsi yang belum berjalan baik dan berkelanjutan, terutama pada pengelolaan dalam pemeliharaan. Pada umumnya, persoalan yang muncul dari pemeliharaan infrastruktur pembangkit energi terbarukan ini berada pada kelembagaan pengelola. Hal ini tentu harus melibatkan berbagai sektor, termasuk partisipasi dan peran aktif masyarakat setempat.

“Upaya keras pada penyiapan pemahaman masyarakat dan kelembagaan ini masih terus kami atasi, termasuk penempatan tenaga pendamping desa mandiri energi,” katanya.

 

Baca juga: Tak Perlu PLN, Warga Lereng Slamet Mandiri Energi dari Sumber Air [1]

Bangunan rumah turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Pesawahan Desa Gununglurah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

 

 

Beli listrik PLTMH

Muhammad Hamzah,  Manager Revenue Insurance dan Mekanisme Niaga, PLN UID Jawa Tengah dan Yogyakarta, dalam webinar “Central Java Solar Day” mengatakan, Pemerintah Jawa Tengah dinilai mampu mewujudkan target penggunaan energi terbarukan sebesar 21,32% pada 2025. Bukan dari pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, melainkan bersumber PLTMH.

“Target Jawa Tengah untuk 21,32% ini bisa tercapai karena banyak didukung PLTMH,” kata Hamzah.

Sejak 2016, pembelian listrik dari PLTMH terus mengalami peningkatan. Data 2016, pembelian listrik dari PLTMH itu 34.000 Mega Watt hour (MWh). Angka ini melonjak signifikan pada 2020 sebesar 122.690 MWh.

Menurut Hamzah, saat ini sudah ada 50 entitas PLTMH yang ingin menjual listrik kepada PLN. Namun, katanya, dalam waktu dekat PLN hanya bisa membeli empat entitas dengan daya 8 Mega Watt (MW).

Adhityo Nugraha Barsei, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, saat ini masih terdapat 19.565 desa di Indonesia belum memiliki akses aliran listrik. Kebutuhan mereka sepatutnya dipenuhi dengan sarana lebih baik, yakni mengedepankan sumber energi bersih dan berkelanjutan.

Model pengembangan energi bersih berbasis desa dapat diperbanyak di berbagai wilayah, guna meningkatkan kapasitas energi bersih nasional dan akses masyarakat terhadap energi.

“Dalam perencanaan pengembangan energi bersih berbasis warga ataupun komunitas, pemerintah desa dapat menjadi pangkalnya. Pemerintah desa bisa melibatkan peran warga sebagai pengelola yang bernaung dalam satu badan hukum tertentu,” katanya.

 

Baca juga:  Warga Lereng Slamet Mandiri Energi dari Sumber Air [2]

Aliran air Telaga Pucung masuk ke bak penampung PLTMH sebelum melewati penyaring air. Foto: Hartatik

 

Berbasis masyarakat

Senada diungkapkan Tri Mumpuni, anggota Dewan Pengarah BRIN, yang 30 tahun aktif membangun desa bersama suaminya, Iskandar Budisaroso melalui PLTMH. Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) ini mengatakan, instalasi PLMTH tidak sulit. Prinsipnya dengan memanfaatkan debit air untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan energi mekanik. Selanjutnya, energi mekanik ini menggerakkan generator dan menghasilkan listrik.

Hanya ada beberapa syarat fisik yang diperlukan untuk membangun PLTMH, yaitu harus dibangun di daerah yang memiliki ketersediaan aliran air yang konstan dalam ukuran debit tertentu. Ukuran debit air akan menentukan besarnya energi yang mampu dihasilkan.

Lalu, katanya, rangkaian PLTMH membutuhkan turbin untuk memutar kumparan dinamo listrik. Dinamo untuk mengubah energi yang dihasilkan oleh putaran turbin menjadi listrik dan jaringan listrik untuk menyalurkan listrik dari instalasi PLTMH ke pengguna.

Dibandingkan dengan sumber-sumber energi lain, pembangkit listrik mikro hidro merupakan sumber energi yang secara ekonomis sangat efisien dan mudah perawatannya. Namun,  kata Tri, keberlanjutan PLTMH bergantung dari partisipasi dan penguasaan masyarakat terhadap teknologi.

“Kalau masyarakat sudah paham maka tidak lagi perlu PLN.”

Prinsip itulah yang dipegang Puni, hingga mampu membangun 82 PLTMH di Indonesia sejak 1997 di desa-desa terpencil, tanpa melibatkan peran pemerintah.

Peraih Ashden Award 2012 ini mengatakan, tidak bekerja sendirian dalam membangun pembangkit listrik yang memanfaatkan aliran sungai. Dia melibatkan kepala desa dan masyarakat dengan membuat organisasi atau komunitas yang nantinya akan belajar bersama membangun turbin listrik, serta merawatnya.

Menurut Puni, sebenarnya setiap desa memiliki potensi sumber daya alam yang unik untuk pembangkit energi listrik. Salah satu potensi besar yang dimiliki Indonesia adalah air. Hanya, katanya, besaran potensi kelistrikan dari air ini belum dikelola maksimal.

“PLTMH merupakan salah satu alternatif solusi yang dapat menembus keterbatasan akses transportasi, teknologi, hingga biaya.”

Di beberapa daerah, sudah ada PLTMH yang ongrid dengan PLN.

“Bahkan lembaga kami pertama di Indonesia yang meng-on gridkan PLTMH, lalu diadopsi PBB di negara-negara ASEAN dan Afrika untuk mendatangkan pendapatan bagi masyarakat,” kata Puni.

 

 

Pipa penyalur arus air Telaga Pucung untuk menggerakkan turbin PLTMH di Dusun Kalipucung Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

PLTMH, katanya,  tidak menggunakan bahan bakar minyak sama sekali, hingga tidak ada gas buang yang dihasilkan dari penggunaan teknologi ini. Penerapan pembangkit listrik mikro hidro merupakan upaya positif sebagai salah satu upaya emisi gas rumah kaca di sektor energi dengan fokus energi terbarukan.

Emisi gas rumah kaca merupakan salah satu pemicu peningkatan suhu bumi yang menyebabkan pemanasan global dan berakibat pada perubahan iklim. Dengan pengembangan PLTMH, katanya,  berdampak positif pada lingkungan dan sejalan dengan kebijakan pembangunan rendah karbon.

“Yang dibilang transisi energi itu bagaimana kita mengelola dan mencari peluang sebanyak mungkin, agar rakyat mampu menyediakan energi untuk mereka sendiri. Kalau bicara kepentingan oligarki semuanya tidak pernah cukup, semuanya harus besar. Tapi kalau bicara kecil dan jumlahnya jutaan, rakyat bisa menikmati,” katanya.

Data KESDM menunjukkan Indonesia memiliki potensi mini/mikrohidro cukup besar yakni 450 MW. Dari potensi itu hanya sedikit yang sudah dimanfaatkan. Pemanfaatan mikrohidro sebagai energi terbarukan termasuk memberikan kontribusi sebesar 16%  dari pembangkitan listrik nasional.

Hanya saja, persoalan yang sering muncul dalam pengeloaan energi terbarukan oleh komunitas adalah perawatan pembangkit, termasuk pengembangan kapasitas teknik dan menajemen pengelolanya.

Pemerintah sedang Menyusun skema pendanaan program Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20, akhir tahun lalu di Bali.

 

 

Pipa penyalur arus air Telaga Pucung untuk menggerakkan turbin PLTMH di Dusun Kalipucung Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

Adhityani Putri,  Direktur Komunikasi Sekretariat JETP, menegaskan,  dana program JETP  US$20 miliar atau setara Rp300 triliun itu sifatnya pemantik. Karena masih jauh dari kebutuhan sesungguhnya untuk transformasi sistem ketenagalistrikan menyeluruh sekitar Rp700 triliun.

“Termasuk membiayai semua jenis proyek energi terbarukan yang besar sampai dengan basis komunitas. Prinsipnya dana JETP perlu mengalir ke pendekatan- pendekatan yang sifatnya revolusioner atau dapat menstimulasi transisi energi yang lebih cepat,” katanya belum lama ini.

Saat ini,  sekretariat bersama KESDM tengah merampungkan dokumen rencana investasi komprehensif atau comprehensive investment plan (CIP) program pendanaan JETP.

“Akan ada proyek komunitas yang memainkan peran atau memiliki sifat revolusioner. Ini masih dalam proses perumusan CIPP. Kalau bicara energi basis terbarukan dimana dan tipenya apa (didanai), kira-kira yang sifatnya bisa direplikasi. Itu sudah dipertimbangkan, tapi saya belum bisa bicara banyak soal mekanismenya. Apalagi mobilisasi dana JETP baru bisa dilakuan pada tahun ketiga.”

Ahmad Ashov, Koordinator Gerakan Bersihkan Indonesia mengatakan, skema JETP jika diposisikan berbasis proyek maka prinsip berkeadilannya akan sulit dicapai. Namun, transisi energi harus berlandaskan kebijakan yang kuat.

Firdaus Cahyadi, Communication Specialist 350.org Indonesia, menyerukan, semestinya skema JETP mendanai energi terbarukan berbasiskan komunitas. Sebab, tanpa dukungan terhadap energi terbarukan berbasis komunitas, nilai keadilan JETP patut dipertanyakan.

“Nama programnya ada kata keadilan, tapi tidak adil bagi komunitas yang juga telah menginisiasi pengembangan energi terbarukan.”

 

Instalasi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Foto: Hartatik

 

Apalagi, katanya,  banyak komunitas di Indonesia sudah mengembangkan energi terbarukan. Upaya komunitas ini semestinya bisa menjadi pijakan untuk direplikasi dan dimodifikasi di berbagai wilayah tanah air.

Firdaus bilang, pengembangan energi terbarukan berskala besar itu memang penting, berbasiskan komunitas jauh lebih penting. Pengembangan energi terbarukan skala besar, katanya, memiliki risiko sosial dan ekologi yang besar pula.

“Sebaliknya, pengembangan energi terbarukan di tingkat komunitas memiliki risiko sosial dan ekologi yang kecil. “Bahkan,  pengembangan energi terbarukan di tingkat komunitas dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Itu berarti menyejahterakan kehidupan mereka.” (Selesai)

 

 

******

 

*Tulisan ini terselenggara atas kerjasama Mongabay Indonesia dan 350.org. Tulisan awal Hartatik ada di Suara Merdeka

Exit mobile version