Mongabay.co.id

Petani Eks Transmigran Timor Timur Menanti Kejelasan Lahan dari Kementerian LHK

 

 

 

 

 

 

Para petani Bali eks transmigran di Timor Timur–kini Timor Leste— yang tinggal Sumberklampok, Buleleng, sudah puluhan tahun belum ada kejelasan hak kelola lahan. Lahan tani mereka di kawasan hutan hingga kini belum ada pelepasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pemerintah Buleleng, berjanji menemui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) guna menanyakan surat permohonan pelepasan status kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di lahan garapan mereka itu. Perjuangan mereka mendapatkan kepastian lahan pertanian sudah hampir 24 tahun.

Warga eks transmigran Bali di Timor Timur (Timtim) pun gelar aksi keprihatinan karena penetapan hak lahan masih terkatung-katung. Sekitar 107 keluarga petani kehilangan lahan masing-masing dua hektar saat transmigrasi di Timtim. Mereka dipaksa balik ke Bali pasca jajak pendapat yang memastikan pelepasan Timtim dari Indonesia, pada 1999.

Aksi 30 Agustus lalu bertepatan dengan peristiwa jajak pendapat atau referendum 30 Agustus 1999.  Perempuan dan laki-laki berkumpul di Balai Banjar Adat Bukit Sari, Desa Sumberklampok, Buleleng, sambil membentangkan spanduk protes.

“Jalankan reforma agraria. Tanah untuk rakyat.”

Ada juga spanduk yang menyebut mereka korban jajak pendapat. Warga berencana menggelar protes besar pada 31 Agustus lalu tetapi aksi urung.

 

Diskusi Pj Bupati BUleleng dengan warga eks transmigran. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Ni Made Indrawati, Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Wilayah Bali yang mendampingi warga dalam konflik agraria ini mendapat kabar Bupati Buleleng akan datang ke balai banjar. Usai berkegiatan di lahan konflik agraria lain di Pemuteran, Buleleng, dia cepat meminta warga berkumpul.

Pelantang di balai banjar membantu menginformasikan kabar ini dengan cepat, dalam beberapa menit warga segera berkumpul. Mulai dari anak muda, orang tua, dan lanjut usia. Dua generasi eks transmigran Timtim yang tak lelah menagih janji pemerintah memberi akses lahan.

Ketut Lihadnyana,  Pejabat (Pj) Bupati Buleleng pun tiba di Balai Banjar Adat Bukit Sari sekitar 17.30, didampingi Gede Supriatna, Dandim, Kapolsek Gerokgak, kepala desa atau Perbekel Sumberklampok, juga jajaran lain. Indrawati diminta memulai dialog.

Dia ceritakan, tahapan advokasi akses lahan oleh warga. Pada 2010,  sudah terbentuk panitia khusus penanganan konflik agraria Sumberklampok. Pada 2018, mengirim surat ke Menteri LHK dengan konflik tenurial sejak kembali dari Timtim pada 2019. Oleh pemerintah, eks transmigran ini jadi HPT.

“Awalnya,  saya tidak setuju warga ditempatkan di kawasan hutan, pasti ada konflik berkepanjangan, dan terbukti,” kata Indra.

Koordinasi dengan Pemerintah Buleleng terus dilakukan sampai sepakat kirim surat ke KLHK. Surat pertama tak ditanggapi, lalu surat kedua 27 Desember 2022 dikirim pejabat Pemkab Buleleng, dan sudah Sembilan bulan tak ada tanggapan.

“Apakah pemkab bertanya posisi surat? Dari peraturan, yang mengajukan permohonan hak atas nama masyarakat adalah pemda bisa bupati atau gubernur. Apakah semua diam? Dalam ketentuan harus diwakili kepala daerah,” tanya Indra pada Pj Bupati.

Sebelumnya, pada 10 April 2018, sebanyak 107 keluarga pengungsi eks trasmigran ini sudah menyatakan tidak akan menjual lahan garapan kalau sudah ada pelepasan kawasan hutan.

“Surat itu benar kami menempati tanah kawasan HPT di Desa Sumberklampok, seluas 4 are untuk pemukiman dan pertanian 50 are sejak 2000 sampai sekarang.”

 

Warga eks transmigran menunjukkan sertifikat tanah di Timtim. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Apabila pemerintah memberikan kepastian hukum, katanya,  warga tidak akan memindahtangankan atau menjual kepada pihak lain kecuali pada hak waris sah.

Warga juga berjanji, tanah untuk lahan pertanian akan digarap secara turun temurun. Selain itu,  mereka berjanji turut menjaga kawasan hutan sekitarnya.

I Nengah Kisid, Ketua Tim Kerja Eks Transmigran Timtim berharap, pemerintah kabupaten tidak hanya memberi janji semata. Sebelumnya Moeldoko, Kepala Staf Presiden juga berjanji menyelesaikan masalah ini.

“Berjanji menyelesaikan, faktanya seperti ini. Sudah 24 tahun ini,” keluhnya.

Lihadnyana,  Pj Bupati Buleleng, mengatakan, akan mengajak KPA Bali dan perwakilan eks transmigran ke Jakarta menemui Menteri LHK. Dia minta disiapkan proposal dan keperluan lain.

“Jika membuat surat permohonan dilampirkan proposal kita siap buatkan. Kami teken. Yakinlah tugas pemerintah agar masyarakat sejahtera. Kalau warga hanya pekarangan, apa yang bisa jadi sumber penghidupan? Pantang berbohong.”

Diskusi dadakan pada sore sampai malam hari ini berlangsung cukup riuh karena warga es transmigran ini sudah lelah dengan ketidakpastian. Warga yang menggantungkan hidup di tanah gersang dan kesulitan akses air ini masih semangat bertani ladang dan beternak.

“Kembali saja ke Timtim? Bes sesai uluk-uluk (terlalu sering dibohongi). Jangan sampai anak cucu saya seperti ini. Saya tertekan sekali, stres, saya tidak mau dibilang minta-minta, ini hak,” kata salah satu warga lanjut usia.

Kehidupan bertani di Timtim saat transmigrasi jauh lebih baik dengan saat ini. Air melimpah, hasil panen padi pun mencukupi. Di Sumberklampok, warga sudah tak bisa menanam padi.

Seluruh pejabat pemkab, KPA Bali, dan perwakilan warga menandatangani berita acara sebagai bukti tertulis hasil diskusi kali ini. Proposal dan surat permohonan akan dibawa langsung Pj Bupati dan tim setelah mendapat jadwal audiensi dengan menteri.

Luh Rasmin, warga eks transmigran semangat membawa sertifikat tanahnya di Timtim atas nama suaminya, alm Ketut Tiles saat bertani di Desa Raimea, Kovalima.Perempuan ini mengingat betapa subur lahan yang berhasil digarap di sana. Kerja keras eks transmigran mengolah semak jadi lahan produktif pangan ini jadi kenangan baik sekaligus buruk karena membawa mereka pada situasi tanpa lahan garapan tanpa sertifikat hak milik saat ini.

 

kawasan hutan yang kering dan sulit air di Sumebrklampok. Sudah kondisi sulit pun hingga kini belum ada kejelasan lahan dari pemerintah. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Persembahyangan

Kesepakatan baru saat diskusi itu membatalkan rencana protes di jalan pada 31 Agustus 2023. Warga mengisi dengan persembahyangan bersama, bertepatan dengan bulan purnama di pagi hari. Puluhan warga berpakaian adat Bali mendatangi pura di balai banjar membawa sarana persembahyangan seperti bunga dan rangkaian buah.

Kisid mengajak warga berdoa agar proses baru ini sungguh memberikan hasil dan akses tanah garapan 50 are, jauh lebih kecil dibanding dua hektar lahan di TimTim dulu bisa segera terealisasi dengan ada keputusan dari KLHK. Saat ini, warga sudah mengantongi SK pelepasan untuk lahan pekarangan.

Surat Bupati Buleleng kepada Menteri LHK soal permohonan audiensi pelepasan kawasan hutan untuk tanah garapan masyarakat pengungsi eks transmigran Timtim di Buleleng.

Kawasan hutan yang disetujui untuk pelepasan buat pemukiman, fasilitas umum, dan fasilitas social berdasarkan persetujuan PPTPKH 7,98 hektar, terdiri dari pemukiman 5,16 hektar, fasum 2,15 hektar, fasos 0,67 hektar. Permohonan tanah garapan sesuai surat bupati 22 Juli 2022 belum diakomodasi.

Setelah persembahyangan, aksi melalui ruang spiritualitas ini, warga kembali rapat, masih berpakaian adat dan duduk lesehan di balai banjar. Mereka berembug apa saja yang perlu dibahas dan disiapkan dalam dokumen baru untuk dibawa ke Menteri LHK.

 

Spanduk protes warga di depan Balai Banjar Bukit Sari, Sumberklampok. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version