Mongabay.co.id

Api Membakar Lahan di Sumatera Selatan, Penanggulangan Harus Cepat

 

 

Api sudah beguyur membakar lahan di Sumatera Selatan.

“Semua pihak harus waspada,” kata Deddy Permana, Direktur HaKI [Hutan Kita Institut], Selasa [05/09/2023]. Beguyur dalam bahasa Palembang artinya “mulai pelan-pelan”.

Hampir setiap hari dalam sebulan terakhir, beberapa helikopter melakukan water bombing di sejumlah lahan yang terbakar di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Ogan Ilir [OI], Sumatera Selatan. Sementara udara di Palembang, saat ini mulai dipenuhi kabut asap.

Sekitar tiga hektar lahan rawa gambut di Desa Tanjung Seteko, Kecamatan Inderalaya, Kabupaten Ogan Ilir, pada Sabtu [02/09/2023], terbakar. Kebakaran di lokasi tersebut terjadi berulang dalam sebulan ini.

Pertama, terjadi pada Jumat [12/8/2022], dan kedua, pada Minggu [27/08/2023] lalu sekitar 10 hektare lahan terbakar.

Selama terbakar, upaya pemadaman dilakukan Manggala Agni bersama BPBD Ogan Ilir dan TNI/Polri, serta masyarakat. Diduga, kebakaran ini terkait aktivitas perkebunan atau pertanian.

Berdasarkan siaran pers Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan [PKHL], Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, hingga 2 September 2023, tercatat 83 titik panas [hotspot] di Sumatera Selatan. Pada 1-2 September 2023, terpantau 18 titik.

Luas lahan terbakar di Sumatera Selatan periode 1 Januari-31 Juli 2023 sekitar 1.178,50 hektar. Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] paling luas, sekitar 874,9 hektar. Sementara lahan gambut terbakar seluas 310,5 hektar yang berada di Kabupaten OKI. Lokasinya di Desa Serdang dan Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, serta di Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam.

Baca: Ketika Rawa dan Sungai di Sumatera Selatan Mulai Mengering

 

Petugas dari Manggala Agni tengah memadamkan bara api di lahan terbakar di Desa Tanjung Seteko, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Foto: Ahmad Rizki Prabu

 

Berikut sebaran lahan terbakar; Kabupaten Muaraenim [56,7 hektar], Kabupaten Musi Banyuasin [42,1 hektar], Kabupaten Musi Rawas [8 hektar], Kabupaten Musi Rawas Utara [115,9 hektar], Kabupaten Ogan Ilir [36 hektar], Kabupaten Ogan Komering Ilir [874,4 hektar], Kabupaten Ogan Komering Ulu [18,8 hektar], Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan [2,5 hektar], dan Kabupaten PALI [5,4 hektar].

Dibandingkan periode yang sama tahun 2021 dan 2022, kebakaran di Sumatera Selatan mengalami penurunan. Pada 2021 kebakaran lahan seluas 1.298,2 hektar dan tahun 2022 seluas 2.445,6 hektar.

“Luas karhutla tahun 2023 di wilayah Sumatera Selatan masih terdapat akumulasi penurunan sebesar 1.267,12 hektar atau sebanyak 51,8 persen,” tulis siaran pers yang ditandatangani Thomas Nifinluri, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan [PKHL].

Baca: Tahun 2023, Sumatera Selatan Waspada Kebakaran Rawa Gambut

 

Karhutla di Sumatera Selatan diduga dampak dari aktivitas perkebunan dan pertanian. Foto: Ahmad Rizki Prabu

 

Karthutla besar mengancam

Selama dua tahun [2020-2021], Sumatera Selatan dan beberapa daerah lain di Indonesia, bebas dari bencana kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Sebab selama dua tahun itu, terjadi La Nina.

Tapi, kemarau panjang yang disertai El-Nino pada 2023 ini, karhutla kembali mengancam Sumatera Selatan. Bukan tidak mungkin Sumatera Selatan menjadi wilayah karhutla terluas di Indonesia. Sebab, berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia selama Agustus 2023, sebagian besar lahan basah di Sumatera Selatan mengalami kekeringan.

Pada perideo 2015-2019, Sumatera Selatan menjadi provinsi yang mengalami karhutla terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektar. Lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Tengah [956.907,25 hektar], Papua [761.081,12 hektar], Kalimantan Selatan [443.655,03 hektar], Kalimantan Barat [329.998,35 hektar], Riau [250.369,76 hektar], dan Jambi [182.195,51] hektar.

Pada 2015, Sumatera Selatan mengalami karhutla seluas 646.298,80 hektar. Tahun 2018 seluas 16.226, 60 hektar dan 2019 seluas 336.778 hektar.

Foto: Sampah yang Mengotori Anak Sungai Musi

 

Seorang warga Desa Tanjung Seteko, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, turut memandamkan api di lahan yang terbakar. Foto: Ahmad Rizki Prabu.

 

Masalah berulang

Sementara, kualitas udara di Palembang berdasarkan website indeks kualitas udara di iqair, pada Minggu [03/09/2023] sempat dalam kualitas tidak sehat, pada angka 151. Sementara hari ini, indeks kualitas udara mencapai angka 158 dengan polutan PM2.5.

“Keberadaan kualitas udara PM2.5 di Kota Palembang saat ini sudah sempat di angka 150-an yang mengindikasikan tidak sehat. Tentunya, penyebab utama adalah asap dan debu karhutla yang dominan terjadi di wilayah Kabupaten OI dan OKI,” kata Deddy.

Dijelaskan Deddy, karhutla ini sudah berulang terjadi, “Bahkan lokasinya juga mengulang pada tempat yang sama. Melihat kejadian ini, seharusnya sudah dapat dicegah dan diantisipasi sejak dini, apalagi sudah ada peringatan dari BMKG akan hadirnya El-Nino hingga Oktober 2023.”

Pencegahan dan penanggulangan karhutla, diperlukan keseriusan dan kolaborasi semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat hingga ke tapak [desa].

“Dengan kondisi musim kemarau disertai El-Nino, diperlukan sebuah kesiapan yang matang. Baik sarana dan prasarana, pembiayaan operasional, serta menggerakan organisasi sampai ke tingkat tapak,” kata Deddy.

 

Karhutla di Sumatera Selatan berulang kali terjadi. Foto: Ahmad Rizki Prabu

 

HaKI menyatakan, dari 14 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, hanya di Kota Palembang, yang belum ditemukan titik panas [hotspot] dan titik api [firespot].

“Berdasarkan data satelit Terra/Aqua-Modis, Kabupaten OKI dengan jumlah tertinggi hotspot [183] dan firespot [62] di Sumatera Selatan. Secara keseluruhan, ada 314 hotspot dan 93 firespot di Sumatera Selatan,” kata Deddy.

Rinciannya, Kabupaten Muba [47 hotspot, 16 firespot]; Kabupaten Ogan Ilir [16 hotspot, 5 firespot], Kabupaten Musirawas Utara [12 hotspot, 4 firespot], Kabupaten Musirawas [12 hotspot, 2 firespot], Kabupaten Lahat [10 hotspot, 3 firespot], dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur [2 hotspot, 1 firespot].

 

Minimnya sumber air menyebabkan upaya pemandaman karhutla melalui darat tidak optimal. Foto: Ahmad Rizki Prabu

 

Exit mobile version