Mongabay.co.id

Aksi Sedekah Sampah jadikan Lingkungan Bersih dan Indah

 

 

 

 

Lurah Kedungkandang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur,  secara simbolis menyerahkan paket bantuan dan uang tunai bagi 11 anak yatim, kaum duafa dan petugas kebersihan setempat. Kesebelas orang dan anak yatim menerima. senyum pun mengembang di bibir mereka. Wajah berbahagia berseri-seri, terpancar di roman muka mereka.

Bingkisan dan uang tunai merupakan sumbangan dari warga RW3,  Kelurahan Kedungkandang. Mereka tak mendonasikan uang atau barang, namun sampah kering  seperti kertas, botol plastik, aneka bungkus dan kemasan minuman. Semua dikumpulkan saban Jumat siang oleh 20 relawan Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (Gradasi) Tempat Pemilahan Sampah Berkah (Tempe Sabar).

Warga turut bangga bisa menyantuni anak yatim, kaum dhuafa dan petugas kebersihan dengan barang yang awalnya dianggap tak bernilai alias sampah.  Sekitar 100-an warga RW3 jadi donatur sampah di Gradasi “Tempe Sabar.”

Paket sedekah ini untuk menandai setahun aktivitas kelompok Gradasi “Tempe Sabar.” Tahap pertama trsalur untuk 22 penerima terdiri atas 16 anak yatim, tiga duafa dan tiga petugas angkut sampah.

“Selama setahun terkumpul 3,5 ton sampah,” kata Susiana Ita, Ketua Gradasi “Tempe Sabar.”

 

Pemberian bingkisan kepada anak yatim dari hasil sedekah sampah. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Sebanyak 3.532 kilogram berupa sampah kertas, seng/ besi, alumunium, alat elektronik, botol, pecahan kaca, sol sepatu/sandal dan stereofoam senilai hampir Rp10 juta. Uang yang terkumpul untuk menyantuni anak atim, kaum dhuafa dan petugas kebersihan.

Awalnya warga RT7/RW3 Kelurahan Kedungkandang, Kecamatan Kedungkandang, resah karena sampah plastik atau kemasan aneka kudapan berserakan di jalanan. Lingkungan jadi kotor dan tak teratur.

Sampah model itu tak laku saat ditawarkan ke pengepul barang bekas. Ita pun berkoordinasi dengan sejumlah relawan kader lingkungan. Hasilnya, ada pengumpul barang bekas yang bersedia menerima aneka plastik bekas bungkus makanan, kudapan dan sampo.

Kodisi ini menggerakkan dia untuk melibatkan dasawisma lingkungan di sana. “Kerjasama sama dengan pengepul. Semua laku, kresek bekas, beling (pecahan kaca), sepatu bekas,” katanya.

Lantas warga menyediakan lahan untuk menampung sampah yang terkumpul. Saban Jumat siang, usai salat warga melalui kelompok dasawisma mengumpulkan sampah. Kemudian, sejumlah relawan mendatangi kelompok dasawisma dan menyetor ke rumah pemilahan sampah. Warga meminjamkan lahan seluas 200 meter persegi untuk rumah pemilahan sampah.

“Semoga bisa menggerakkan warga lain,” kata Ita.

 

Sampah-sampah yang disumbangkan warga di Malang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Dia lakukan itu secara mandiri, belum ada bantuan dari pemerintah dan sektor swasta. Ita berharap “virus” ini menyebar dan diikuti kelompok masyarakat lain untuk mendirikan Gradasi.  Dengan cat aitu, katanya, bisa menyumbang atau menyantuni anak yatim dan

dhuafa dengan sampah.

Hadi Prayitno, Ketua RT7/RW3 Kedungkandang mengatakan, dari 115 keluarga, 70% bergabung dalam Gradasi. Mereka tergerak turut membantu menciptakan lingkungan hidup bersih dan sehat karena sampah berkurang dan didonasikan di Gradasi.

“Memilah sampah mulai dari sumbernya. Jadi sampah plastik, kardus, kertas tidak kotor. Dipisahkan dengan sampah rumah tangga,” ujarnya. Selanjutnya, akan dikembangkan pengolahan sampah organik dengan budidaya magot.

 

Memilah sampah hasil sedekah sampah. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

200 Komunitas Gradasi di Malang

Sulaeman Sulang,  Koordinator Forum Gradasi Malang Raya, menjelaskan, gerakan bersedekah dengan sampah sejak setahun lalu. Hingga kini terbentuk 200-an Gradasi di komunitas lingkungan, sekolah, perguruan tinggi, dan gereja dengan melibatkan pegiat lingkungan dan bank sampah, gereja, mesjid.

“Sedekah tak harus uang, kita bisa juga menyumbang sampah,” katanya.

Gradasi Sulaeman mulai di SMKN 6, tempatnya bekerja sebagai staf kepegawaian. Program Gradasi didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Sekretariat Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL).

Sebelumnya,  dia telah mendirikan sistem pembayaran sekolah dengan bank sampah dan pengolahan berbasis komunitas di sekolah.

Kini, 200 Gradasi di Malang bersama-sama dalam Forum Gradasi Malang Raya. Tujuannya, pengelolaan sampah di masing-masing basis komunitas agar gerakan makin luas dan berdampak terhadap kelestarian lingkungan.

“Potensi sampah bernilai ekonomi di Malang cukup besar,” kata Sulaeman.

Hartoni Anwar,  Sekretariat TKN-PSL mengatakan, Gradasi mendapat respon positif masyarakat lintas agama. Gradasi merupakan program TKN-PSL yang rilis 2021, awalnya bergabung enam mesjid.

 

Tim Gradasi datangi rumah warga untuk sambil sampah. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Kini,  sudah berkembang di 127 mesjid, 40 gereja, 102 sekolah dan 98 pesantren, lima universitas, serta lima kantor pemerintah dan komunitas masyarakat bergabung dalam Gradasi.

Hingga kini, tercatat terkumpul lebih dari 183 ton sampah lewat Gradasi. Gerakan terus disebarluaskan ke rumah ibadah lainnya. Gradasi tersebar di seluruh Indonesia. Meliputi Jawa, Bangka Belitung, Gorontalo, Tapanuli, Lombok, Labuan Bajo, dan berbagai wilayah lain.

Sedangkan Universitas Brawijaya memasukkan materi Gradasi dalam kegiatan edukasi lingkungan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa.

“Langkah ini akan makin bertambah usaha kampanye dan sosialisasi mengajak mesjid di seluruh Indonesia bersedekah dengan sampah,” katanya daring.

TKN-PSL turut menyelesaikan masalah sampah dengan mengurangi sampah ke badan perairan yang muara ke laut. Pemerintah Indonesia berkomitmen mengatasi permasalahan sampah plastik di laut. Dalam Peraturan Presiden Nomor 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, target pada 2025 penanganan sampah plastik di laut sebesar 70%. Salah satunya melalui program Gradasi.

Wasto, Kader Lingkungan Kota Malang, mengatakan, jika sampah terus menggunung di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Supit Urang. Bahkan, perekonomian kota terganggu karena sampah yang tak terangkut atau ditangani dengan baik. Juga bisa menimbulkan wabah penyakit yang berbahaya bagi kesehatan.

Setiap hari, sekitar 600 ton sampah dikirim ke TPA Supit Urang.

“Setiap hari rata-rata setiap rumah tangga menghasilkan sampah sekitar 0,5 kilogram.”

Sedangkan TPA Supit Urang digelontor Kementerian Lingkungan Hidup Rp250 miliar untuk penambahan lahan dan pengelolaan sampah. Lahan itu hanya mampu menampung tujuh tahun kedepan.

“Pemerintah Kota Malang telah menutup sejumlah TPA karena penuh. TPA Pandanwangi, TPA Lowokdoro, TPA di belakang Balai Kota. Jangan terulang kembali TPA penuh dan ditutup, lahan di Kota Malang terbatas,” katanya.

 

Memilah sampah sumbangan warga. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, sejumlah terobosan bisa memperpanjang usia TPA dengan mengolah sampah di sumbernya. Seperti mendirikan Bank Sampah Malang (BSM) yang menerapkan metode sistem pinjam uang, membeli sembako, membayar listrik dan mendirikan tempat ibadah dengan sampah.

Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sidik menuturkan KALAU tidak dilakukan pemilahan dan pengolahan sampah, TPA bisa meledak. Sehingga menjadi persoalan hidup warga Kota Malang.

“Sudah saatnya, tidak bertumpu hanya di TPA. Ada model bank sampah dan mengolah sampah yang baik,” katanya secara daring.

Salah satunya, melalui program Gradasi. Solusinya, ujar Ujang, mengurus sampah di sumbernya. Sedangkan selama ini, sumber terbesar di rumah tangga. Ujang mendorong masyarakat memilah sampah di sumbernya. Sampah menjadi nilai pahala dengan beramal dan menyumbangkan ke Gradasi.

“Kunci solusi sampah di rumah tangga harus diselesaikan. Insyaallah Kota Malang akan selamat.”

Kalau ada pemilahan dan pengolahan, katanya, 40% urusan sampah selesai. Sehingga tidak menunggu sampah diangkut ke TPA.  Hasilnya, lingkungan bersih, indah, dan warga sehat.

 

Tim Gradasi di Malang sedang mengumpulkan sampah sedekahan warga. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version