Mongabay.co.id

Kayu Manis yang Menjadi Andalan Masyarakat Ende

Kayu manis yang juga bisa dimanfaatkan dalam bentuk bubuk. Foto: Pixabay/Public Domain/stevepb

 

 

Jalan aspal berliku dan sedikit menanjak itu, membawa kami ke Desa Tendarea dan Timbazia, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Di sisi kiri dan kanan jalan, tampak tanaman kakao, kemiri, kelapa, cengkih, dan pisang mendominasi.

Siang itu, Rabu [16/8/2023], Mama Sesilia Mi tengah menjemur biji kakao dan cengkih di halaman rumahnya.

“Saya baru panen, hanya dapat satu kilogram. Tidak tahu kenapa, hampir empat tahun ini hasilnya semakin menurun,” ucapnya.

Sementara, tahun 2022 lalu, hasil cengkihnya hanya 20 kg dari 8 pohon.

“Biasanya panen ratusan kilogram dalam setahun dan dijual seharga Rp150 ribu per kilogram,” tuturnya.

Desa Tendarea yang jumlah penduduknya 1.169 jiwa, mayoritas hidup dengan bertani. Warga juga menanam tanaman pangan saat musim hujan, seperti padi ladang dan jagung untuk dikonsumsi.

Baca: Kayu Manis, Apakah Memang Rasanya Manis?

 

Kayu manis memiliki khasiat sebagai obat tradisional sekaligus sebagai rempah. Foto: Pixabay/Public Domain/stevepb

 

Restorasi kayu manis

Kayu manis merupakan pohon lokal yang tumbuh liar di Desa Timbazia dan Tendarea. Namun, selama 20 tahun terakhir, pemanenan eksploitatif mengakibatkan jumlahnya berkurang.

“Kayu manis liar memiliki kemampuan menghemat air,”  ujar Pendiri Kampus Tanpa Dinding, Maria P.W. Beribe kepada Mongabay Indonesia di Desa Tendarea.

Iis, sapaannya, kini kayu manis ditanam di kebun dengan tanaman lain. Fungsinya, memastikan keseimbangan air dan menjaga ekosistem. Program restorasi ini melibatkan perempuan, pemuda, serta petani lokal Desa Tendarea dan Timbazia.

“Secara tradisional, kawasan tersebut juga memiliki makna budaya sebagai hutan adat. Penting melindungi kawasan ini melalui agroforestri, guna memastikan masyarakat lokal mempunyai insentif sekaligus melindunginya,” tuturnya.

Sebanyak 1.125 bibit kayu manis telah dibagikan kepada 119 petani dan setelah dipantau di bulan Mei 2023, sebanyak 90,9% tumbuh baik.

Sementara, sebanyak 1.510 pohon kakao yang dibagiakan dan ditanam pada Februari dan Mei 2023 lalu, menunjukkan tanaman ini sekitar 98,5% tumbuh baik.

Baca: Jejak Sorgum di NTT dan Penanaman kembali oleh Petani

 

Petani dan pendamping Kampus Tanpa Dinding di pembibitan kayu manis Desa Tendarea, Kabupaten Ende, Provinsi NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Fokus agroforestri

Iis menjelaskan, sebanyak 150 petani di Desa Tendarea dan Timbazia dilibatkan. Kegiatan dilakukan dengan menanam berbagai jenis tanaman strata satu sampai strata tiga.

Strata satu diisi tanaman pangan lokal seperti keladi, sorgum dan ubi jalar. Strata dua tanaman perkebunan seperti kakao, pala, dan kopi. Sementara strata tiga ditanami kayu manis, jenis tanaman hutan yang mempunyai nilai ekonomis dan kesehatan tinggi.

“Kami dorong tanaman perkebunan dengan peremajaan kakao. Kami menanam bibit unggul hasil sambung pucuk,” terangnya.

Kampus Tanpa Dinding juga memberikan pelatihan pengolahan produk pascapanen, baik kakao maupun kayu manis. Juga penanaman pohon trambesi, bambu, dan pandan di mata air Ae Bele di Desa Tendarea, yang debitnya menurun akibat penebangan pohon di hutan.

“Kami senang karena mendapatkan dukungan Mosalaki atau ketua adat,” ucapnya.

Baca juga: Hutan Bambu Lestari Dikembangkan di Flores, Apa Manfaatnya?

 

Lahan perkebunan warga Desa Tendarea, Kabupaten Ende, NTT, yang berada di samping permukiman. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dentiana Keo, petani Desa Tendarea, menyebutkan, agroforestri bermanfaat menjaga kelestarian tanaman kayu manis dan kakao.

“Juga, meningkatkan pendapatan petani. Saya juga paham, bagaimana mengatur tata letak lahan agar bisa panen maksimal,” ujarnya.

Lucia Deba, petani lainnya menambahkan, penerapan konsep agroforestri di lahannya dapat menjaga keanekaragaman hayati.

“Kami tidak perlu menebang kayu manis di hutan, tapi kini bisa memanen di kebun. Saya juga dapat mengembangkan kebun dengan lebih baik,” paparnya.

 

Desa Tendarea, Kabupaten Ende, Provinsi NTT, yang berada di lereng bukit. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version