Mongabay.co.id

Perubahan Iklim Picu Fenomena Pernikahan Anak di Pesisir Utara Jakarta

 

 

Sekitar pukul sembilan pagi, sekelompok perempuan berkumpul untuk menanti saat kapal nelayan merapat ke daratan dari melaut. Kapal-kapal tersebut membawa hasil tangkapan berupa ikan, kerang dan sumber daya laut lainnya yang bisa menjadi sumber pekerjaan bagi para perempuan di pesisir Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Satu dua kapal merapat, mereka membantu menurunkan hasil tangkapan, salah satunya kerang. 

Sehari-hari, Janah dan Jaroh, dua perempuan muda di pesisir Jakarta ini menggantungkan hidup dari mengupas kerang. Doa mereka tiap hari agar cuaca selalu baik, hasil tangkapan banyak sehingga dia bisa bekerja dan bisa mendapatkan penghasilan. Pekerjaan ini sudah digeluti sejak masih usia sekolah, mengikuti jejak sang ibu. Situasi sama terulang lagi, Janah dan Jaroh harus membawa anaknya bekerja mengupas kerang dari pagi hingga petang. 

Janah dan Jaroh, merupakan kakak beradik yang menikah saat berusia 16 tahun. Tepat saat mereka menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Kini keduanya masing-masing berusia 23 dan 20 tahun. 

“Ya habis mau ngapain lagi kalau gak nikah? Kasihan orang tua kalau harus terus ngebiayain,” ujar Janah, warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Baginya, menikah menjadi alasan untuk bisa membantu perekonomian keluarga.

Mayoritas perempuan di pesisir Kalibaru bekerja sebagai pengupas kerang dan berdagang di pasar. Meskipun pekerjaan ini tampak sederhana, tak sedikit risiko bisa dihadapi. Cedera karena tertusuk karang saat mengupas kerang sering terjadi, bahkan kadang menimbulkan infeksi. Para pekerja hanya mengandalkan sarung tangan sederhana yang diberikan puskesmas serta air garam untuk merawat luka. 

 

Sejumlah buruh mengeringkan ikan dan udang di Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

“Kalau cedera ya tetap melanjutkan pekerjaan. Mau gimana lagi,” ujar Jannah. Jika bekerja dari pagi hingga petang, Janah dan Juroh mendapatkan upah berkisar Rp15.000-Rp36.000. 

Upah ini juga sangat tergantung pada tangkapan laut yang dibawa kapal nelayan. Jika cuaca baik, dia bisa mendapatkan upah yang lumayan. Sebaliknya jika cuaca tak menentu, dia harus mencari pekerjaan tambahan seperti pergi ke pasar untuk membantu berjualan atau membersihkan ikan. Himpitan ekonomi karena keterbatasan kesempatan bekerja membuat pernikahan dini menjadi sebagai strategi kelangsungan ekonomi keluarga rumah tangga miskin.

Baca juga: Buruh Pengangkut Ikan Sandarkan Penghasilan dari Nelayan

 

Dampak perubahan iklim terhadap kekerasan berbasis gender

Riset terbaru dari The Ohio State University menjelaskan bagaimana dampak dari cuaca ekstrem bisa meningkatkan pernikahan anak, dini dan paksa di dunia. Riset ini meninjau 20 studi antara tahun 1990 dan 2022 yang menghubungkan kekeringan, banjir dan kejadian cuaca ekstrem terhadap peningkatan pernikahan anak, pernikahan dini dan pernikahan paksa. Khususnya, di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Fiona Doherty, penulis utama penelitian ini mengatakan cuaca ekstrem tidak memiliki dampak langsung terhadap penikahan anak. “Bencana ini memperburuk masalah ketidaksetaraan gender dan kemiskinan yang sudah ada. Ini menyebabkan keluarga melakukan pernikahan anak sebagai strategi penanggulangan,” ujarnya dalam rilis.

Secara global, diperkirakan satu dari lima anak perempuan menikah sebelum 18 tahun. Bahkan di negara berpenghasilan rendah dan menengah, angkanya mencapai 40%.

Kehidupan Janah dan Jaroh menjadi dua dari banyak cerita lainnya yang menunjukkan hubungan kausalitas penelitian tersebut yang terjadi di Indonesia.

Yayasan Rumah KitaB (Kita Bersama), sebuah LSM yang melakukan advokasi dalam perjuangan hak kaum marjinal menyebutkan tidak hanya Kalibaru, wilayah pesisir Jakarta seperti Kamal Muara, Penjaringan dan Marunda memiliki kerentanan kekerasan terhadap gender yang tinggi. Tahun 2017, Yayasan Rumah KitaB melakukan asesmen yang menyebutkan perkawinan anak jamak terjadi di Kelurahan Kalibaru. Selain desakan ekonomi, anak-anak terpaksa menikah karena terjadinya kekerasan seksual. 

Achmat Hilmi, Direktur Kajian Yayasan Rumah KitaB mengatakan setidaknya 10 anak yang menikah karena hamil di luar nikah, delapan diantaranya mengalami trauma. “Ini dalam satu RW, jadi setidaknya ada sekitar 108 kasus terjadi di kelurahan (ada 14 RW dalam Kelurahan Kalibaru),” ujar Achmat kepada Mongabay melalui saluran telepon. 

Bahkan angka ini, kata Achmat bertolak belakang dengan data BPS yang mengatakan perkawinan anak di Jakarta Utara paling rendah nomor 2 di Indonesia atau sekitar 0,2%. Lembaganya menyebutkan banyak perkawinan dini dan anak yang tidak tercatat.

Dia mengatakan krisis lingkungan yang terjadi dengan adanya perluasan pelabuhan membuat ekonomi dan ruang hidup masyarakat semakin terhimpit. “Krisis lingkungan yang terjadi, kualitas air yang sulit, tangkapan yang semakin sedikit, kualitas ikan yang kian buruk dan tidak adanya pendidikan kesehatan reproduksi dan ruang bermain anak yang tidak ada menjadi kompleksitas masalah di Kalibaru.”

Ekonomi, kata Achmat juga menyumbang kerentanan dan risiko tinggi yang menjadi faktor terjadinya pernikahan anak. ”Perlu ada penelitian yang lebih dalam terkait hal ini,” ujarnya.

Baca juga: Cerita Warga Kalibaru dalam Pameran Aksi Muda

 

Seorang anak sedang bermain di sela-sela limbah dan sampah di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara pada April 2018. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2020 juga pernah meneliti hal yang sama. Dalam studinya menunjukkan kasus pernikahan anak cenderung meningkat di situasi krisis karena menjadi sebuah strategi bertahan hidup guna mengurangi tekanan ekonomi keluarga. Studi yang disusun selama dua tahun ini menunjukkan dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan terhadap kekerasan berbasis gender. 

“Studi (IUCN, red) ini menunjukkan kerusakan alam akibat ulah manusia dapat memicu kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sering diabaikan,” kata  Grethel Aguilar, plt. Direktur Jenderal IUCN dalam rilisnya.

Kalibaru, Jakarta bukan satu-satunya tempat di Indonesia di mana anak di bawah umur menikah untuk membantu keluarga yang tertimpa bencana iklim. Bahkan studi IUCN menyebutkan saat musim panas ekstrem, anak-anak perempuan di Ethiopia dan Sudan Selatan juga dijual untuk dinikahkan dengan imbalan hewan ternak. 

UNICEF pun menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat kedelapan dunia dan kedua di Asia Tenggara pernikahan dini atau menikah sebelum 18 tahun. Bahkan, 22 dari 34 provinsi di Indonesia mencatat tingkat pernikahan anak melebihi rata-rata nasional di 2019, yaitu 10,82%. Studi ini menyebutkan ada beberapa faktor pendorong, yakni pendidikan, ekonomi, tempat tinggal dan tradisi. 

 

Budaya patriarki, kerusakan lingkungan dan ekonomi

Tak hanya Janah dan Jaroh, Siti juga sudah menikah saat usia 15 tahun. “Kami tak ada pilihan selain menikah muda dan membantu keluarga. Ibu seringkali kesulitan mencari nafkah setelah ayah meninggal,” kata perempuan 31 tahun ini. 

Di Kalibaru, pernikahan sebelum usia 20 tahun jamak terjadi. Faktor ekonomi, kemiskinan dan terbatasnya pilihan pekerjaan bagi perempuan menjadi pendorong. Tak hanya bekerja, mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik. Semua ini secara mandiri, karena suami-seringkali baru pulang menjelang petang atau malam. “Kalau ngandelin gaji dari suami aja, mana cukup?” ujar Jaroh. 

Janah, Jaroh dan Siti adalah tiga dari banyak perempuan di pesisir utara Jakarta, tepatnya di Kalibaru, Cilincing, yang terpaksa menikah karena alasan ekonomi. Bahkan pernikahan anak yang terjadi ini turut menyumbang dalam deret angka yang tercatat dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data KPPPA dan BKKBN, ada rata-rata kenaikan kasus pernikahan dini pada 2019-2021 meningkat 30% setiap tahunnya.   

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) membenarkan fenomena pernikahan dini di pesisir memang jamak terjadi. “Pandemi COVID-19 dan perubahan iklim makin memperburuk situasinya,” ujarnya. 

Dia menjelaskan di pesisir, pilihan pekerjaan minim dengan kondisi iklim makin tidak menentu membuat para  perempuan tak punya banyak pilihan. Rumah tangga dengan kondisi menengah ke bawah terpaksa menikahkan anak perempuan sebagai bagian dari upaya menjaga kelangsungan ekonomi keluarga. Terutama mereka dari anggota keluarga banyak, anak perempuan dianggap beban bagi orang tua.

Baca juga: Hak Atas Air Terpasung, Beban Perempuan di Tengah Bayang-bayang Tambang

 

Para perempuan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara mengupas kerang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Foto: Maulika Inka / Mongabay Indonesia

 

Selain faktor ekonomi, keterbatasan akses informasi Keluarga Berencana (KB) menjadi tantangan bagi keluarga di pesisir. Budaya banyak anak, banyak rezeki masih dipertahankan. 

Adanya penurunan pendapatan keluarga nelayan, kata Susan juga menyumbang peningkatan kasus pernikahan dini. “Ketika pendapatan keluarga nelayan menurun karena perubahan iklim, mereka cenderung mencari jalan pintas dengan menikahkan anak perempuan mereka di usia  dini,” katanya. 

Permasalahan lain  yang cukup umum ditemui di daerah pesisir adalah seringkali ada anak-anak menghadapi kasus kekerasan seksual dan banyak dipaksa menikahi pelaku kekerasan itu, terlebih mereka masih di bawah umur. Masalah lain yang perlu diperhatikan, katanya, praktik dispensasi umur di pesisir. Usia anak, kata Susan, sengaja dipalsukan agar mereka bisa dinikahkan tanpa melanggar hukum. Dia pun menekankan, pentingnya reformasi kebijakan, termasuk  penegakan hukum atas kasus manipulasi usia anak  dan kekerasan seksual terhadap  anak perempuan nelayan.

“Perubahan kebijakan dan komitmen serius dari berbagai pihak diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini secara holistik.” 

Budaya patriarki turut ambil bagian memperburuk situasi. Susan bilang, perempuan termasuk anak perempuan tidak memiliki ruang dalam pengambilan keputusan. Begitu juga akses terhadap pendidikan, pelatihan dan keterampilan juga masih minim.

Dia mengatakan perlu peningkatan edukasi masyarakat terkait pemahaman pernikahan dini bukan solusi namun malah meningkatkan kerentanan anak perempuan. Dengan adanya ruang untuk pendidikan, ini menjadi sebuah cara bagaimana para anak-anak khususnya perempuan bisa mencapai impiannya. 

“Sebenarnya, saya ingin melanjutkan sekolah, trus bekerja di PT (perusahaan) ataupun pergi ke luar dari sini. Namun, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Saya juga tidak memiliki tabungan, sekarang saya telah berkeluarga,” kata Janah, ketika ditanya harapannya. Jaroh dan Siti pun mengamini. (***)

 

*Maulia Inka Vira Fadilla merupakan alumni kriminologi Universitas Indonesia yang menyukai isu lingkungan hidup. Agustus lalu, Inka mengikuti kegiatan Muda Melangkah yang diinisiasi oleh World Resources Institute Indonesia (WRI). Kalibaru, Cilincing menjadi salah satu lokasi tempat mereka melakukan observasi dampak perubahan iklim yang terjadi di Indonesia.

 

Exit mobile version