Mongabay.co.id

Buku ‘Kehampaan Hak’ Soroti Carut-marut Konflik Perkebunan Sawit di Indonesia

 

Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terkemuka dengan produksi crude palm oil (CPO) mencapai 47 juta ton pada tahun 2020, yang menyumbang 2,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional.

Sayangnya, industri sawit Indonesia diperhadapkan pada berbagai masalah, baik itu lingkungan hidup maupun pelanggaran hak asasi manusia. Konflik antara masyarakat desa dan perusahaan terjadi di berbagai daerah.

Konflik ini kemudian membuka jendela untuk melihat bagaimana negara memperlakukan warganya dan bagaimana warga merespons melalui aksi kolektif untuk membela kepentingan mereka.

Tantangan terberat dalam segala upaya perjuangan ini adalah warga negara sering dihadapkan pada situasi di mana hukum dan undang-undang tidak berjalan efektif di lapangan.

Hal itu terungkap pada diskusi buku berjudul ‘Kehampaan Hak: Masyarakat versus Perusahaan Sawit di Indonesia’ karya Ward Berendschot, Otto Hospes, Ahmad Dhiaulhaq dan Arizal, terbitan Penerbit Obor, yang diselenggarakan oleh Departemen Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin, di aula Syukur Abdullah FISIP Unhas, Makassar, Rabu (23/8/2023).

baca : Buku Potret Industri Sawit, Menanti Keseriusan Pemerintah Benahi Tata Kelola

 

Diskusi buku berjudul ‘Kehampaan Hak: Masyarakat versus Perusahaan Sawit di Indonesia’ menghadirkan dua penulis, Ward Berendschot dan Otto Hospes di aula Syukur Abdullah FISIP Unhas, Makassar, Rabu (23/8/2023). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Ward, salah satu penulis, buku ini adalah hasil riset yang dimulai tahun 2018 bertujuan mencari pola umum kasus sengketa lahan sawit di Indonesia mengacu pada 150 kasus konflik lahan sawit di empat provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat dan Riau. Dalam 20 tahun terakhir tercatat 544 konflik di empat provinsi tersebut.

“Kami bukan ingin menjelek-jelekkan industri sawit ataupun pemerintah. Konflik sawit tidak hanya buruk bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, tapi juga untuk masa depan industri sawit, karena kemudian menyebabkan hambatan produksi sawit dan memperburuk image industri sawit Indonesia,” jelasnya.

Tujuan lain buku ini, mengidentifikasi jalan keluar penyelesaian konflik yang lebih efektif di masa yang akan datang.

Menurut Ward, kehampaan hak bisa dipahami bahwa meski secara de jure masyarakat memiliki hak kewarganegaraan namun secara de facto hak-hak itu tidak terpenuhi.

“Dalam kehampaan hak ini, masyarakat mengalami bahwa undang-undang tidak terlalu relevan. Peraturan secara formal, tertulis, sering tidak dilaksanakan. Perusahaan sering bisa menghindari kewajiban mereka meski telah mendapat putusan tetap dari Mahkamah Agung yang memerintahkan perusahaan mengembalikan lahan warga tak digubris,” jelasnya.

baca juga : Program Amnesti Sawit Ilegal Sarat Kritik. Sejauh Mana Kemajuannya?

 

Buku ‘Kehampaan Hak: Masyarakat versus Perusahaan Sawit di Indonesia’ adalah hasil penelitian sejak 2018 yang bertujuan mencari pola umum kasus sengketa lahan sawit di Indonesia mengacu pada 150 kasus konflik lahan sawit di empat provinsi lokasi penelitian. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Pengalaman ini membuat warga menyadari akan adanya kehampaan hak, sehingga strategi masyarakat tidak lagi menuntut hak mereka berdasar pada undang-undang atau peraturan yang ada, tetapi ke arah negosiasi secara informal.

“Strategi mereka adalah menaikkan posisi tawar untuk ‘merepotkan’ perusahaan dan untuk mendapat dukungan dari pemerintah daerah, supaya akhirnya perusahaan mau negosiasi dan meraih sebuah kesepakatan terkait hal yang sangat pragmatis.”

Tujuan masyarakat pun pada akhirnya bukan lagi merealisasikan hak mereka dan mengembalikan semua lahan yang mereka hilang.

“Masyarakat kemudian hanya mau uang ganti rugi yang sedikit, atau pengembalian beberapa hektare lahan saja. Plasma yang dijanjikan oleh perusahaan juga dianggap tak pas.”

Dikatakan Ward, buku ini menawarkan sejumlah solusi praktis kepada pemerintah bagaimana menyelesaikan konflik-konflik yang ada, seperti harus ada badan mediasi yang baru untuk menyelesaikan konflik dan agar pemerintah lebih tegas dengan perusahaan yang melanggar peraturan dan hukum.

Selain itu, harus ada diskusi politik dan debat publik tentang peran pemerintah Indonesia dalam lahan karena ada sekitar 63% lahan yang dikontrol oleh pemerintah sebagai warisan buruk rezim kolonial Belanda melalui aturan yang disebut domeinverklating.

“Ini bukan pasal yang untuk kemakmuran orang Indonesia saat itu. Warga Indonesia tetap tidak bisa memiliki lahan di dalam kawasan hutan. Tidak ada hak milik di situ.”

Ironisnya, domeinverklating justru kemudian digunakan pemerintah Indonesia untuk memberi izin konsesi kepada perusahaan, meskipun di lahan tersebut terdapat warga yang sudah hidup atau bekerja sejak beberapa generasi.

“Semua calon presiden harusnya membahas ini karena terkait kesejahteraan masyarakat Indonesia,” katanya.

perlu dibaca : Apa Kabar Audit Industri Sawit Indonesia?

 

Petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Kuatnya Oligarki

Menurut Prof. Deddy T. Tikson, pakar administrasi negara dari Unhas, apa yang terjadi dalam seluruh kasus sawit yang dibahas dalam buku ini jika dilihat dari sisi public administration menunjukkan lemahnya negara. Malah negara terlihat tak punya niat untuk membereskan semua permasalahan tersebut.

“Dari sisi public administration, public policy seolah-olah ada. Dikaitkan dengan development regional atau lokal juga tak ada. Padahal konstitusi UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia ini dikuasai oleh negara, nyatanya justru dikuasai swasta,” katanya.

Terkait saran buku ini kepada pemerintah agar menyusun sebuah badan mediasi, Deddy nilai tak akan efektif karena negara pun akan kalah dari perusahaan.

“Karena selama ini, LSM yang galak-galak juga kalah, apalagi kalau hanya badan-badan mediasi bentukan pemerintah. Di sisi lain posisi rakyat juga lemah,” tambahnya.

Menurut Deddy, secara politik, negara saat ini telah dikuasai oleh oligarki yang lebih kuat dibanding masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan bahkan Presiden Soeharto. ‘Penjajahan’ akan tetap berlangsung hingga tahun 2048 apabila sistem politik masih seperti saat ini, di mana oligarki semakin menguat seiring waktu.

“Jadi 2048 kalau oligarki tambah kuat, pengusaha-pengusaha akan tambah kuat, rakyat tambah sengsara. Tahun 2048 nanti bukan masa kejayaan Indonesia, tapi mungkin masa kehancuran.”

Ia menilai sangat sulit menghancurkan oligarki karena sudah sangat mengakar, baik di pusat maupun di daerah.

 

Exit mobile version