Mongabay.co.id

Penanganan Sampah di Kupang Belum Maksimal, Mengapa?

 

 

Kota Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2019 dan 2022, dinobatkan sebagai salah satu kota sedang terkotor di Indonesia oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], dalam penilaian Adipura.

KLHK menilai, model pengolahan tempat pemrosesan akhir di Kupang, masih menggunakan sistem open dumping dan belum ada penyusunan kebijakan strategi daerah [jakstrada] untuk pengelolaan sampah.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihaan [DLHK] Kupang, jumlah sampah tahun 2022 sebanyak 83 ribu ton. Namun, dari jumlah tersebut, sampah yang mampu diangkut ke tempat pembuangan akhir hanya 58 ribu ton. Sementara sisanya, menjadi timbunan sampah.

Baca: Radith Giantiano, Generasi Muda NTT yang Peduli Perubahan Iklim

 

Sampah yang menumpuk di TPA Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Dok. Walhi NTT

 

Walhi Nusa Tenggara Timur [NTT] saat mengunjungi tempat pemrosesan akhir [TPA] sampah di Kelurahan Alak, Kota Kupang, menemukan persoalan terkait pengelolaan sampah dengan sistem tebuka atau open dumping. Sampah dibuang begitu saja, tanpa ada perlakuan apapun.

“Metode ini sangat mengganggu kesehatan dan kelestarian lingkungan. Termasuk polusi udara yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit bagi warga sekitar,” ujar Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia, Jumat [8/9/2023].

Cara ini juga membuat binatang perantara penyakit, seperti lalat dan tikus, mudah berkembang biak.

“Sementara, bau anyir yang bersumber dari air limbah sampah tercium menyengat. Estetika lingkungan yang buruk akibat tumpukan sampah, terlihat jelas,” sebutnya.

Di TPA Alak, sejumlah perempuan dan anak-anak bertahan hidup dengan menjadi pemulung. Mereka mencari bahan yang bisa dijual kembali ke pengepul daur ulang.

“Mereka rentan mengalami gangguan kesehatan. Ini diakibatkan pencemaran air serta udara dari sampah yang menumpuk,” lanjutnya.

Umbu Wulang mengajak semua komponen masyarakat untuk terlibat menjaga lingkungan, terutama menerapkan kebijakan pengelolaan sampah yang sesuai UU No. 18 Tahun 2008.

“Mengakses udara bersih adalah hak kita semua,” tegasnya.

Baca juga: Perubahan Iklim, Antara Aksi dan Adaptasi Masyarakat NTT

 

Penanganan sampah di TPA Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, belum maksimal. Foto: Walhi NTT

 

Penanganan

Penjabat Wali Kota Kupang, George M. Hadjoh, saat meninjau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu [TPST] Kesiman Kertalangu, Denpasar, Bali mengatakan, Pemerintah Kota Kupang bisa memanfaatkan lahan seluas enam hektar di lokasi TPA Alak untuk membangun TPST.

George mengatakan, nantinya refuse derived fuel [RDF] atau bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar batubara yang dihasilkan dari pengolahan sampah bisa dijual ke PLTU Bolok atau PT Semen Kupang.

“Kedua pabrik ini dalam operasionalnya menggunakan batubara dan lokasi keduanya tidak jauh dari TPA Alak,” ungkapnya, dikutip dari Beranda Warga, edisi 10 Mei 2023.

George meminta Plt. Kadis PUPR Kota Kupang agar segera mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan, serta membangun komunikasi yang intens dengan Kementerian PUPR. Dirinya juga berjanji akan meminta dukungan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT guna membantu mengkomunikasikannya dengan pemerintah pusat.

“Pemerintah akan terus berupaya mengajak semua pihak menangani sampah di Kota Kupang,” pungkasnya.

 

Exit mobile version