Mongabay.co.id

Banjir Rob Pekalongan, Bagaimana Mitigasi dan Adaptasinya?

 

 

 

 

Air laut masuk dan menenggelamkan pemukiman lahan pertanian, fasilitas umum ampai tempat usaha dan lain-lain di Pekalongan, Jawa Tengah. Banjir pasang air laut (rob) parah melanda pesisir Pekalongan.  Sebagian warga tertahan, sebagian memilih pindah.

Taryuti, warga di RT 2 RW 5, Kelurahan Bandengan, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, tetap bertahan di rumahnya meskipun berkali-kali tergenang rob. Dia tidak punya pilihan lain.

Dia kini bekerja jadi buruh pabrik, tinggal dengan empat orang keluarga. Lantai rumah berkali-kali ditimbun karena terkena banjir. Dia cicil sedikit demi sedikit bila ada uang. Harga per truk tanah berkisar Rp450.000, belum termasuk ongkos tukang angkut dari truk ke rumah.

Dia ingin pindah rumah ke tempat lebih aman dan nyaman, tetapi keuangan masih belum memungkinkan. Pindah rumah susun pun, dia masih mempertimbangkan biasa sewanya.

“Kalau gak bayar ya gak papa.”

Bukan hanya permukaan air laut yang lain yang membuat pesisir Pekalongan banyak terendam, penurunan permukaan tanah juga jadi penyebab.

Berdasarkan alat pengukur penurunan permukaan tanah yang dipasang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sejak 32 Oktober 2021 di Desa Kandang Panjang, per 18 Juli 2023, permukaan tanah sudah turun lima cm.

“Tapi ini tidak bisa disamaratakan, mungkin ini di sebelah utara tapi kalau di Stadion Hoegeng itu malah lebih dalam. Saya tidak tahu pasti. Banyak orang yang mengatakan karena di sana banyak sumur bor karena warganya, karena banyak hotel,” kata Amat Fauzan, Kepala Kelurahan Kandang Panjang, Pekalongan Utara. Juli lalu.

Di Kandang Panjang, ada tiga alat pengukur penurunan tanah terpasang di lokasi sama secara berjajar. Ada yang kedalaman 16 meter, 60 meter, dan 102 meter.

Kelurahan Kandang Panjang, dulu terkenal dengan perkebunan melati, sebelum kena rob.  Namlun, katanya, ahan-lahan pertanian dan perkebunan sudah tidak ada tersisa, tergenang air.

“Ini nanti jenengan keliling wilayah Kandang Panjang, tidak ada itu satu pun pohon kelapa. Sudah hilang semua,” kata Amat.

Banjir rob terbesar yang diingat Amat pada Desember 2017 dan Mei 2018. Dia kira, rob 2017 sudah paling besar, ternyata pada 2018 tidak kalah tragisnya.

Pembangunan tanggul laut yang selesai 2019 di Kandang Panjang—diprediksi berfungsi selama lima tahun—sudah sampai ambang batas, air sudah ada yang melebihi tanggul, lebih cepat dari prediksi awal.

“Saya punya kampung itu kayak kampung hantu, banyak yang tidak dihuni,” kata Amat, yang tinggal di Perumahan Pesona.

Di perkampungan dengan tiga RT itu awalnya ada sekitar 150 rumah, sekarang tinggal 25 rumah karena tenggelam. Air menggenang sampai ketinggian 1,5 meter.

“Sekitar 90-an, kalau pernah dengar ada kawasan elite tepi pantai, laa itu.” Perumahan  mewah pada era-nya itu sebagian sudah jadi laut.

Mereka sudah melakukan berbagai cara dan berupaya beradaptasi dan mitigasi dengan perubahan iklim. Mereka bekerja sama dengan berbagai instansi, salah satu penanaman mangrove.

 

 

Mangrove yang coba ditanam di Pekalongan. Sebagian besar penanaman mangrove gagal. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Mereka sudah menanam ribuan bibit mangrove dengan berbagai cara tetapi hanya sedikit yang selamat dari hantaman ombak, hanya sekitar 10% yang hidup. Tak mudah bagi mereka hadapi masalah ini.

Mangrove, katanya, bisa jadi solusi jangka panjang.

Untuk solusi jangka pendek, katanya, perbaikan saluran air, pengadaan rumah pompa, dan pembuatan tanggul bisa membantu warga bertahan dalam keadaan ini.

Sejak ada empat rumah pompa dan tanggul laut, Panjang Baru perlahan mulai bisa mengatasi rob. Bila ada hujan lebat dan terjadi genangan besar, bisa cepat diatasi dengan mengaktifkan rumah pompa air. Mesin ada yang mampu menyedot air 300 kubik per detik, ada pula yang 500 kubik per detik.

”Sekitar 90% Panjang Baru itu, kalau tidak salah itu, sudah satu meter di bawah permukaan laut,” kata M Rahman Akbar.

Pada 2022,  terakhir kali terjadi banjir di Panjang Baru, air menggenang sampai satu setengah bulan. Rahman bilang, saking terus  terendam ada warga naik perahu ke kantor desa saat perlu pelayanan.

Aparat Kelurahan Panjang Baru membuat cetak biru (blue print) titik-titik rawan dan bagian-bagian yang butuh segera ditangani. Rahman bilang, blue print itu dibuat supaya pembangunan tertata baik.

Fasilitas umum desa, misal,  sebisa mungkin punya lebih satu fungsi, seperti membangun jalan sekaligus tanggul hingga bisa mengefisiensi anggaran. Setelah infrastruktur memadai, genangan air bisa cepat diatasi, dipompa ke laut.

“Mungkin malam banjir, tergenang dalam beberapa jam, paginya ketika kita berangkat kerja, sudah kita bisa lewati.”

Saat infrastruktur belum memadai, di kelurahan itu pernah banjir sampai setinggi dada orang dewasa.

Rahman bilang, di sana juga ada siklus banjir 20 tahunan dengan ketinggian bisa mencapai sekitar dua meter. Dia bilang, pada 2002 pernah banjir setinggi 170 cm, pada 2022 terjadi lagi banjir serupa.

Erfan Maksum, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan, banjir rob di Kota Pekalongan maupun Kabupaten Pekalongan berdampak pada 2.000 lebih keluarga, dengan cakupan luas sekitar 1.400 hektar.

“Di Jawa ini abrasi sudah 262 km. Bayangkan, berapa biaya kalau seandainya kita corrective action di sini,” katanya.

Dia contohkan,  pembangunan tanggul Sayong di Demak, sekaligus berfungsi sebagai jalan tol, biaya menghabiskan Rp10 triliun untuk tanggul sepanjang 10 km.

 

Sungai di Pekalongn, dalam kondisi kotor, tercemar. Air permukaan tercemar, air tanah jadi andalan sumber air. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

Pencemaran air

Air juga masalah di Kota Pekalongan. Sungai-sungai di Pekalongan banyak tercemar, kondisi menghitam, kotor, karena limbah hingga tak bisa buat penuhi keperluan sehari-hari.

Warga kebanyakan pakai air tanah untuk keperluan sehari-hari, karena air sumur dinilai kurang aman konsumsi.

Kota ini terkenal sebagai Kota Batik. Industri batik memerlukan banyak air hingga eksploitasi air tanah terus terjadi, belum lagi untuk perhotelan dan keperluan lain.

Erfan bilang konsumsi air untuk pembuatan satu kain batik luar biasa banyak.

“Dari asosiasi tekstil menyampaikan satu pakaian ini membutuhkan seperti kita konsumsi air tiga tahun. Jadi, satu kain ini sama seperti halnya kita minum tiga tahun atau 2.500 liter untuk menghasilkan satu kain,” katanya saat sambutan dalam pembukaan Pameran Inovasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Pekalongan. Juli lalu.

Satu sisi, kata Erfan, rata-rata suplai air perpipaan dari PDAM di bawah 20%. Pengolahan air baku menjadi air layak itu mahal hingga PDAM tidak mampu. Kalau air tercemar, bisa lebih mahal lagi.

Sedangkan kalau  olah air laut jadi air tawar biaya tidak kalah mahal, sampai Rp30.000-Rp80.000.

“Maka itu, kita mengenal sekarang namanya energy for water. Jadi, makin air tercemar, maka makin mahal. PDAM tidak akan mampu. Kalau PDAM tidak mampu, masyarakat atau industri akan mengambil air tanah,” kata Erfan.

Bila ingin keberlanjutan sumber daya air, perlu konservasi air dengan berbagai cara. Selain itu, untuk industri yang gunakan banyak air bisa mengelola air dengan baik termasuk memperhatikan soal hemat, gunakan lagi dan daur ulang air.

“Kembali lagi yang namanya air harus menjadi bagian sangat penting dalam perubahan iklim.”

Imron Rosyidi, Kepala Bidang Perekonomian, Sumber Daya Alam, Infrastruktur dan Kewilayahan, Badan Perencanaan Daerah, Kota Pekalongan, mengatakan, untuk mengatasi pencemaran air sebenarnya pemerintah kota sudah punya empat instalasi pengolahan limbah (IPAL).

“IPAL ini efektif, jadi sudah rutin diuji, sudah berhasil. Artinya, secara kualitas air sudah memenuhi kriteria dan sudah bisa dibuang ke laut,” katanya.

Yang jadi masalah,  menurut Imron,  adalah kapasitas IPAL itu. Dia bilang, sulit memperhitungkan limbah industri rumahan dan rumah tangga.

 

Penyedotan air banjir rob. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

Adaptasi dan mitigasi?

Dadang Soemantri, Kepala Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, Sekretariat Daerah, Jawa Tengah, bilang, penurunan permukaan tanah bukan sekadar karena ekstraksi air tanah berlebihan, juga pembangunan infrastruktur sangat berat hingga mempercepat penurunan tanah.

Perubahan iklim, katanya,  makin memperparah itu. Untuk menyikapi ini, Dadang bilang perlu adaptasi dan mitigasi.

Berdasarkan sistem informasi data indeks kerentanan perubahan iklim, kata Dadang,  lebih dari 8.000 desa di Jawa Tengah rentan perubahan iklim, tahun ini sudah ada 26 desa meminta air bersih.

“Ketika pengendalian terhadap izin-izin kegiatan industri yang tidak baik, tidak terkontrol, maka produk akhirnya kita akan melihat warna air sungai berubah warna.”

Dadang menegaskan, pembangunan fisik yang menjorok ke laut akan berdampak terhadap daerah sekitar dalam jangkauan lima km.  Bila ingin membangun infrastruktur apapun di sepanjang garis pantai, perlu kajian mendalam dalam menghitung daya dukungnya.

Pemerintah Jawa Tengah, katanya, telah membangun sebanyak 1.500 sumur resapan dan melakukan rehabilitasi hutan dan lahan kritis sejak 2019 seluas 98.782 hektar serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah-wilayah rawan.

Sedangkan, masyarakat secara swadaya telah meningkatkan tutupan vegetasi mangrove hingga 9.700 hektar lewat program kampung iklim.

Selain itu, katanya, di Jawa Tengah ada 19 daerah aliran sungai (DAS) prioritas dari 236 DAS yang harus dipulihkan daya dukungnya.

“Kalau DAS ini bagus, terpelihara baik, dari hulu sampai ke garis pantai mestinya tidak akan terjadi yang seperti hari ini kita lihat,” katanya saat dalam pembukaan Pameran Inovasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Juli lalu.

Sekitar 19 DAS prioritas yang tercantum dalam Keputusan Presiden antara lain, Serayu, Progo, Bogowonto, Comal, Pemali, Jratunseluna, Bengawan Solo, dan sepanjang garis pantai utara 480 km serta garis pantai sepanjang 260 km.

 

Rumah di Pekalongan yang terendam rob. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

Dadang tak menampik kalau Jawa Tengah punya permasalahan lingkungan hidup, seperti kerusakan hutan, longsor, banjir rob, dan lain-lain.

“Karena hutan sudah gundul atau berubah peruntukan penggunaan, dari dulu hutan jati sekarang banyak jagung, banyak tanaman-tanaman yang semusim dan ini sangat berpengaruh sekali.”

Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bilang, pemerintah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca.

Salah satu upaya pemerintah pusat dalam mendorong aksi-aksi itu adalah dengan program kampung iklim.

Program ini, katanya,  sudah 10 tahun berjalan. Saat ini ada hampir 5.000 lokasi kampung iklim, antara lain, delapan di Kota Pekalongan dan lima di Kabupaten Pekalongan.

“Ini salah satu kekuatan Indonesia bila dibandingkan negara lain, partisipasi komunitas, partisipasi seluruh pemangku kepentingan menjadi kata kunci dalam keberhasilan pengendalian perubahan iklim di Indonesia.”

Berbagai target adaptasi dan mitigasi iklim ini, kata Laksmi, bukan sekadar tanggung jawab pemerintah pusat juga pemerintah daerah dan semua elemen masyarakat dengan kapasitas masing-masing.

Soal pendanaan, katanya, ada banyak sumber yang bisa diakses, baik dari lembaga internasional maupun dalam negeri, seperti Adaptation Fund (AF), Green Climate Fund, dan Global Environmental Facilities.

Untuk sumber pendanaan dalam negeri, pemerintah pusat punya Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup bisa diakses pemerintah daerah, kabupaten, atau kota.

Kemitraan bekerja sama dengan Adaptation Fund (lembaga pendanaan internasional) membuat program adaptasi perubahan iklim di Pekalongan sejak 2019-2024.

Program ini secara menyeluruh menggunakan pendekatan 3M (melindungi, mempertahankan, dan melestarikan) yang ditujukan langsung ke delapan kelurahan di Kota Pekalongan.

 

Pembangunan tanggul penahan rob. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Laode Muhammad Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan, mengatakan, lembaga internasional harus ikut menjawab persoalan-persoalan iklim ini karena masalah perubahan iklim adalah masalah global.

Dia bilang, aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus berkelanjutan, tidak bisa berbasis proyek.

Bagi Laode, proses adaptasi iklim tidak mudah, terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi. Masyarakat, katanya,  harus beralih pekerjaan dari yang asalnya petani atau petambak, bukan hal mudah.

Abetnego Tarigan, Deputi II Bidang Pembangunan Manusia, Kantor Staf Presiden bilang,  KSP akan mendorong bahas masalah iklim di Pekalongan dengan lembaga dan kementerian, khusus Bappenas untuk pendekatan yang lebih menyeluruh.

“Ketika punya dampak cukup luas, baik jumlah maupun luasan, secara kewilayahan, penting untuk dipikirkan dalam pendekatan yang lebih holistik dan dalam skala pendekatan nasional,” katanya.

 

 

Rumah warga yang tenggelam karena rob di Pekalongan. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

*******

 

 

Exit mobile version